Difa terbangun dari tidurnya. Mengerjapkan mata sejenak, lantas ia melirik jam dinding digital kamarnya yang berbentuk bintang. 02.00 am. Ia mendesah pelan. Akhir-akhir ini ia sering terbangun di tengah malam, tah kenapa. Akhir-akhir ini pula rasa tidak enak menggelayuti hatinya tampa sebab. Fikirannya pun kerap kali tidak fokus pada aktifitasnya. Singkatnya ia merasakan ada hal yang tidak beres pada dirinya yang ia sendiri pun tidak tahu apa penyebabnya.
Difa mendesah kembali. Ia ingin kembali ke alam mimpi, ya setidaknya ia ingin mencoba kembali tertidur. Mengatupkan kedua tangan, dan berdoa, memejamkan mata, kemudian ia memiringkan badannya ke kiri. Biasanya cara tersebut berhasil untuk mengembalikannya ke alam bawah sadarnya.
Beberapa menit berlalu. Ya, ia menyerah. Gadis itu kembali membuka matanya. Ia tidak dapat tertidur kembali. Ia gagal, cara yang ia lakukan tidak berhasil. Difa kembali melihat jam dinding melalui ekor matanya. 02.25 am. Masih dini hari. Gadis itu mendesah putus asa untuk yang kesekian kali. Nampaknya ia benar-benar menyerah, lantas ia menyibakkan selimut yang membungkus tubuhnya, bangkit dari posisi tidurnya, lantas sebelah tangannya meraih botol minum merah muda di atas meja kecil samping kasurnya. Meneguknya hingga tandas, lalu Difa turun dari kasurnya dan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Mengambil air wudhu sejenak, kemudian ia melakukan doa malam. Ya, jika ia benar-benar tidak bisa tidur biasanya ia mendirikan salat Tahajud, berdoa pada Sang Pencipta, menceritakan tentang semua hal yang ia rasakan, bercerita dari hati tentang apa yang ia resahkan, dan menghaturkan pujian-pujian indah untuk Sang Maha Kasih tentunya.
10 menit berlalu. Nampaknya ia tengah khusyuk dengan doanya, bersimpuh diatas sajadah berwarna pastel, dan kedua tangannya mengatup di dalam mukena bermotif floral miliknya. Tak lama kemudian tangannya bergerak mengusap wajahnya. Bangkit, merapikan peralatan salatnya. Kemudian ia kembali meringkuk di atas kasur, dan membalut tubuhnya dengan selimut. Ya, setidaknya ia dapat menunggu hingga waktu Subuh dengan posisi seperti itu.
Drrrtt…drrrtt…..
‘My mama don’t like you and she like’s everyone ….. And I never like to admit that I was wrong’
Ponsel pintarnya berdering, melantunkan lagu favoritenya yang ia jadikan ring backtone. Segera sebelah tangannya mengambil benda persegi panjang yang ia letakan di atas meja kecil samping kasur, dan melihat layar ponsel pintarnya untuk mengetahui siapa yang menghubunginya di hari yang hamper pagi ini.
‘Dega Fernando’
Mendadak jantungnya berdebar kencang. Nafasnya sesak. Wajahnya menegang. Sekujur tubuhnya tak dapat digerakan. Gadis itu shok, ralat amat sangat shok. Mengapa? Ada apa ia menghubunginya lagi? Buat apa pria itu meneleponnya lagi? Apa yang pria itu inginkan setelah semua yang pernah ia perbuat? Tuhan, apakah ini alas an dari perasaan yang tidak enak yang gadis itu rasakan akhir-akhir ini?
‘And I’ve been so caught up in my job ….. Didn’t see what’s going on’
Benda tersebut masih berdering. Sepertinya seseorang diseberang sana masih menunggu panggilannya terjawab oleh gadis yang sekarang wajahnya memucat. Apa yang ia harus lakukan? Diamkan saja, atau menekan tombol answer, atau me-rejek panggilan tersebut? Tangannya gemetar. Sepertinya ia tengah dilanda emosi yang hanya ia sendiri yang mengerti.
‘But now I know ….. I’m better sleeping on my own’
“Ha…halo?” hingga akhirnya Difa memutuskan untuk menerima panggilan tersebut dengan terbata. Tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Jika dilihat dengan intens terdapat air mata di sudut matanya.
“Halo?”
Ya, suara itu. Suara yang sangat ia kenal. Suara yang sangat ia rindukan. Suara yang mengisi relung-relung hatinya. Suara yang mampu menyihir hati dan fikirannya. Suara yang mampu memutar balikkan hidupnnya. Suara yang ‘dulu’ menjadi penghantar tidurnya. Suara yang ‘dulu’ mengisi malam harinya. Suara yang ‘dulu’ menguatkan hari-harinya. Suara yang ‘dulu’ mampu membuatnya tenang. Suara yang ‘dulu’ melantunkan kata-kata penuh cinta. Suara yang ‘dulu’ mampu membuatnya menangis hingga tertawa. Suara itu yang ‘dulu’ mampu meladeni rengekannya yang manja. Suara itu, ya, suara yang sangat ia cintai.
“Mas Dega?”
Ya, air mata gadis itu akhirnya tumpah, membasahi pelupuk matanya, dan menganak sungai di pipi dan membasahi bantal dibawah pipinya. Ia menangis, ntah karena apa. Sepertinya hanya ia dan Sang Pencipta yang mengerti.
“Apa kabar? Kok belum tidur?”
Gadis itu terdiam, tidak merespon. Sepertinya ia tengah tenggelam dengan fikirannya.
“Ha.halo?”
“i.iya?” respon Difa terbata. Sebisa mungkin ia menahan isakannya. Ia tak ingin orang yang ia panggil ‘mas Dega’ tersebut mendengar isakannya yang pasti akan menimbulkan pertanyaan yang mungkin tidak sanggup untuk dijawabnnya. “Baik, iya tadi kebangun, hehe,” ia memaksakan senyumannya, “mas Dega apa kabar? Tumben telepon pagi-pagi?”
“Alhamdulillah baik juga. Iya nih, mas Dega kangen sama Difa.”
“K.kangen?” Matanya terbelalak. Terbesit rasa asing yang menelusuk hatinya. Pria ini, merindukan dirinya? Bagaimana bisa? Setelah ia melakukan hal yang mampu membuatnya terpuruk? “Kok bisa?”
Terdengar suara tawa lembut dari seberang sana. “Ya bisa lah, emang Difa gak kangen sama mas Dega?”
Bohong. Bohong kalau ia tidak merindukan pria tersebut. Pasalnya hingga detik ini pun ia masih menyebut nama pria ini di dalam sujudnya, didalam doa-doa yang ia lafaskan pada Tuhannya. Bahkan diam-diam pun ia masih dapat menangis manakala teringat kenangan-kenangan yang telah mereka ciptakan bersama.
“Hahaha…” dan pada akhirnya hanya suara tawa paksa yang mampu ia perdengarkan sebagai respon.
“Yee, malah ketawa.”
“Sekarang kesibukannya apa mas?” mengalihkan pembicaraan, lantas Difa melempar pertanyaan khas ketika ia tengah basabasi pada seseorang.
“Ya, masih kaya biasa. Kuliah, ngajar, sama cari uang sambilan buat makan. Kamu?”
“Sama kok, masih kaya dulu. Kuliah, sama sekarang lagi nyoba ngajar.”
“Oo, ngajar apa?”
“Masih di dunia tarik suara kok mas, ngajar vocal.”
“Wah, kalo gitu mas Dega mau dong diajarin juga?”
Gadis itu mengulam senyuman. Sepertinya ia mulai dapat menguasai dirinya. “Wani piro?”
Dan akhirnya mereka tertawa sekedarnya, sama-sama berusaha mengendalikan perasaannya yang meluap-luap.
Terjadi keheningan sepersikan menit lamanya. Sepertinya masing-masing mereka berusaha memahami satu sama lain, atau mereka tengah menyusun kalimat yang akan ia tujukan pada lawan bicara. Detik demi detik pun berlalu. Salah satu dari mereka belum juga mengeluarkan suara. Difa hanya menatap lampion mungil yang berada diatas meja samping kasur seraya sebelah tangannya memegang ponsel genggamnya untuk tetap di dekat telinganya. Ia pun tak berinisiatif untuk membuka pembicaraan. Ia hanya menikmati pembicaraan walau setiap kata yang keluar dari Dega mampu menguak luka hatinya yang belum sembuh. Yang ada difikirannya saat ini hanya berusaha untuk membangun hubungan baik dengan pria tersebut, tampa melupakan masalalu yang pernah terukir, baik yang indah maupun yang menyakitkan.
“Difa?” Dega memanggil.
“Ya mas?”
“Sama kak James udah jalan sampe mana?”
James. Ya, pria yang akhir-akhir ini menjalin hubungan dekat dengannya, tampa ada status atau hubungan khusus. Memang Difa menyimpan sebersit perasaan pada pria yang 5 tahun lebih tua darinya tersebut, tapi ia tak ingin berharap terlalu banyak. Selain karena kepribadian yang sangat bertolak belakang, ntah kenapa bersanding dengannya adalah hal yang mustahil bagi Difa. Bagaimana tidak? Dengan karisma yang pria itu miliki dan kelihaiannya dalam mengendalikan diri mampu menjerat kaum hawa dari kalangan mana pun. Lagi pula ia masih merasakan trauma dengan Dega. Ya, Dega adalah masalalunya yang mengakhiri kisah cintanya dengan kesakitan dan air mata.
“Difa ga pernah kemana-mana kok sama kak James, ga pernah jalan-jalan juga. Paling Cuma chatting sama telepon aja.” Jawab Difa guyon. Ia tersenyum, menertawakan dirinya atas jawabannya sendiri.
“Iya deh, terserah kamu aja.” Dega menghela nafas, menggoda gadis yang tengah berbicara dengan dirinya diseberang sana. Ya, menjalin hubungan hamper 2 bulan cukup dapat mengenal gadis ini. Kekonyolannya, manjanya, bahkan ia tau kapan harus bicara tegas padanya dan kapan ia harus memanjakan gadis yang 3 tahun lebih muda darinya tersebut.
“Yaa sejauh ini Difa hanya jalanin yang ada aja. Kan kalo jodoh ending-nya nikah, jadi aku ga pernah mau pusing sama hal-hal kaya gitu.” Jelasnya. “Kalo mas Dega sendiri? Gimana sama kak Febby?”
Febby. Ya, nama yang sangat berpengaruh bagi hubungan mereka setahun lalu. Memang, Difa tau, Dega memiliki sahabat yang menaruh hati padanya, dan ia tidak ambil pusing atas hal tersebut. Baginya mencintai dan dicintai siapa pun dan pada siapa pun adalah hak azasi, hak setiap manusia di muka bumi ini. Ia tidak punya hal untuk melarang perempuan-perempuan diluar sana untuk menaruh hati pada mantan kekasihnya tersebut. Difa akui. Dega memiliki fisik yang rupawan serta tubuh yang proposional. Jadi tak heran jika kaum hawa mengidolakan pria tersebut. Bahkan tak satu-dua gadis berusaha untuk mengambil hati pria yang saat ini menjadi lawan bicaranya secara ekspresif. Bagi Difa jika hati Dega tetap untuknya semua akan baik-baik saja.
Dega danDefa. Banyak orang mengatakan pasangan yang serasi. Mereka menjalin hubungan hamper dua bulan lamanya. Hingga Febby masuk dan menghancurkan semua. Tiba-tiba Dega mengirimkan pesan singkat yang menyatakan berakhirnya hubungan mereka secara sepihak. Hal itu yang membuat Difa jatuh tersungkur. Setelahnya ia mencoba menghubungi pria tersebut dan mendapati suara seorang wanita yang menyatakan ia sedang bersama Dega. Ya, gadis itu tau persis wanita itu adalah Febby. Ia pernah bertemu dengan wanita itu sekali, sehari sebelum hari jadinya dengan Dega. Hingga beberapa hari kemudian desas-desus yang mengatakan bahwa Dega menjalin hubungan dengan Febby bermunculan, dan diperkuat dengan foto-foto di akun sosmed keduanya yang kerap kali berpose mesra.
Hal itu cukup membuat Difa merasakan seakan dunianya telah berakhir. Berat badan yang turun drastis, kulit yang memucat, mata merah dan bengkak, serta kantung mata yang menebal mampu membuktikan betapa Difa depresi atas hal tersebut. Memang, ia tetap melakukan aktifitas seperti biasa. Kuliah, bekerja paruh waktu, berkumpul dengan keluarga, tapi kerap kali gadis itu terlihat tidak focus dengan tatapan nanar dan wajah datar. Dan karena hal itulah ia terpaksa harus dipecat dari perusahaan tempat ia mencari uang sambilannya.
“Udah putus.”
“Putus?” Difa meninggikan suaranya, “Kok bisa?” Ia terkejut. Pasalnya dengan kedekatan mereka yang sedemikian rupa, kata ‘putus’ jauh dari perkiraan gadis itu. Bagaimana tidak? Ia tau betul bagaimana perjuangan Febby untuk mendapatkan hati Dega. Menurut Difa, seorang perempuan tidak akan merendahkan dirinya jika perempuan tersebut tidak mencintai dengan sangat sang pria. Dan baginya merebut pasangan orang lain adalah hal rendah yang mampu dilakukan anak manusia.
“Dari dulu kamu tau kan? Aku Cuma anggap Febby sebagai teman, gak bisa lebih dari itu. Tapi dia ga bisa terima itu. Febby minta lebih dari sekedar teman, dan aku coba jalanin. Iya, jalanin aja, tampa ada rasa special, Aku tetep sayang sama Febby sebagai temen. Hingga pada akhirnya Febby melakukan suatu kesalahan yang dia pun akui, dan dari situ aku akhiri semua.” Jelas Dega dengan nada rendah, tapi bukan mengintimidasi. Sepertinya pria tersebut mencoba mengendalikan diri. “Bagi aku, Febby adalah sahabat dekat dan gak akan bisa lebih.”
“Kalo boleh tau, emang kak Febby kenapa sih, sampe mas Dega ga bisa maafin dia?”
Dega terdiam sejenak, memilah-milah kata-kata untuk menjelaskan. “Yaa, yang cukup kamu tau, Febby melakukan hal yang fatal yang emang mengharuskan untuk putus. Terlebih lagi ya emang udah waktunya putus.” Jelas Dega.
Nampaknya Difa tidak puas dengan jawaban yang Dega berikan. Berusaha untuk menerima, lantas ia bertanya, “Tapi orangtua setuju kan?”
“Ehm, kalo ga salah aku pernah cerita deh di awal-awal kita jadian,” Dega terdiam sejenak, memberikan waktu untuk Difa mengingat-ingat, “Kalo orangtua aku Cuma mau Febby jadi temen aja, jangan lebih.”
Difa mengangguk yang tidak akan terlihat oleh Dega. Ya, sekarang ia ingat. Dega pernah menceritakan hal tersebut. Pria itu mengatakan bahwa orangtuanya hanya menginginkan Febby sebagai teman anak laki-lakinya. Sedangkan dari pihak Febby? Pria tersebut tak cerita banyak tentang hal tersebut. Ia hanya bercerita kalau Febby hanya mengenalkan Dega sebagai teman dekat.
Kembali suasana hening yang menggelayut diantara mereka. Hanya desah nafas yang mereka dengar melalui ponsel masing-masing. Mereka mengambil waktu sejenak untuk menenangkan diri, untuk mengendalikan emosi mereka yang hamper tumpah. Mereka mencoba memanfaatkan waktu sepersekian detik tersebut untuk mengerti satu sama lain, mencoba untuk saling memahami.
“Difa?: hingga akhirnya Dega yang mencairkan suasana yang sempat hening.
“Ya mas?” Difa menjawab dengan suara lembutnya.
“Ehm, mas Dega minta maaf, m.maafin mas Dega.”
Difa menangis seketika. Ya, lebih deras dari sebelumnya. Hatinya sakit, seperti teriris sembilu. Semudah itukah? Segampang itukah ia memohon maaf darinya setelah ia melukai hatinya begitu dalam? Memang, ia sudah memberikan penjelasan yang mampu gadis itu mengerti, tapi apakah ia harus percaya dengan semudah itu? Ia terisak, tak mampu menahan rasa yang seolah memotong-motong hatinya hingga beberapa bagian.
“Difa?” Ya, Dega mendengar isakan tersebut. Pria itu tau persis, semua itu ulahnya, semua itu salahnya. Semua itu karena dirinya. Andaikan Difa disisinya saat ini, ia akan merengkuh gadis itu kedalam pelukannya, dan menenangkannya seperti yang ia lakukan dulu untuk menenangkan gadis tersebut. Tapi, apakah masih pantas setelah semua yang ia perbuat? Sungguh teramat sungguh Dega pun tak mengharapkan hal lebih. Bahkan mendapatkan maaf dari Difa sudah cukup baginya. Seandainya, seandainya ia lebih tegas pada Febby dan dirinya sendiri, seandainya ia dapat mempertahankan Difa, seandainya ia tak harus menyakitiDifa, seandainya, seandainya, dan seandainya.
“Ntahlah mas, Difa mau yang terbaik aja. Difa gak tau bisa kasih maaf itu ke mas Dega atau enggak, meski pun bisa dengan mudah Difa kasih.” Jawabnya dengan tangis yang tertahan. Sisi jahatnya keluar. Baginya tak perlu menjaga kata-kata yang keluar untuk menyampaikan isi hatinya. Jika Dega bisa dengan mudah menyakiti dirinya mengapa ia harus berfikir untuk menyakiti pria tersebut? Meski pun sakit yang ia rasakan tidak sebanding dengan apa yang telah pria itu lakukan padanya.
“Ya, mas Dega ngerti.” Hanya kalimat itu yang mampu Dega utarakan. Setiap isakan Difa mampu melukai hatinya. Bagaimana tidak? Walau bagaimana pun rasa itu tetap sama seperti setahun lalu. Hatinya masih merindukan keberadaan gadis tersebut. Ya, konyol memang, mengingat ia yang menyakiti tapi ia pula yang merasa sakit. Ya, Dega masih mencintai Difa, ia masih menyayangi gadis tersebut. Menyesal, ya ia sangat amat menyesal. Andai waktu dapat ia putar kembali, ia tak akan melakukan hal konyol tersebut jika hanya menyakiti gadisnya.
“Mas Dega tau? Setelah semua yang mas Dega kasih ke Difa? Difa gak bisa berhenti sayang sama mas Dega. Hingga detik ini pun Difa masih cinta sama mas Dega. Difa gak pernah bisa gak merasakan hal itu. Kapan sih Difa gak sayang sama mas?”
Terbesit perasaan menyejukan yang menyelusup ke hati Dega. Bagaikan air di gurun pasir, kalimat yang menjadi kejujuran gadis tersebut mampu membuatnya merasakan hal yang tak dapat ia ungkapkan dengan kata-kata. Ia terenyuh, ya iya sangat amat terenyuh.
“Tapi bagi Difa, sayang dan cinta sama mas bagaikan waktu yang berjalan. Pelan dan perlahan, berputar dengan irama yang telah ditentukan, hingga akhirnya menghilang akibat waktu tersebut. Ya, semua punya masa. Suatu saat nanti, ntah kapan, ada masanya ketika sayang dan cinta ini berakhir dengan sendirinya, tampa ada yang terpaksa dan memaksa.”
-_-_-
Masihkah kau punya hati,
Untuk merasakan ini,
Sakit yang aku alami,
Pedih yang ku jalani?
Aku berdiri di sini,
Tuk menunggu dan menanti,
Engkau merasakan sakit,
Lebih dari ini,
Suatu saat nanti.
Song title: Cintaku Untukmu
Song writer: Carinna Amagia
-_-_-
kamu bagus lho menulisnya. Dilanjutkan ya. Makin produktif 🙂