Bandung – Belasan tunanetra yang tergabung dalam Tunanetra Menggugat, menggelar aksi jalan kaki menyusuri jalan Pajajaran, Cicendo Kebon Kawung, dan kembali lagi ke Jalan Pajajaran. Para tunanetra tersebut memprotes perlakuan diskriminatif Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak menyediakan templet braile untuk DPRD kota, kabupaten dan provinsi.
Menurut kordinator aksi Yudi, aksi jalan kaki tersebut adalah sebagai sebuah protes terhadap KPU yang tak memperhatikan tunanetra. KPU hanya menyediakan templet braille untuk pemilihan DPD RI dan pemilihan Capres/Cawapres.
“Padahal kami sudah melakukan konfrensi pers sebanyak dua kali, tapi KPU tetap tidak menggubris,” ujar Yudi pada wartawan Republika saat ditemui disela-sela aksi di Jalan Cicendo Bandung, Rabu (3/5).
Menurut Yudi, KPU terkesan tidak memberikan perhatian kepada para tunanetra. Karena sampai saat ini, belum ada komunikasi sedikitpun dengan para tunanetra.
“Jangankan mendatangi kami, komunikasi saja tidak ada,” katanya.
Yudi mengancam, jika aksinya masih tidak digubris, pihaknya akan melakukan aksi yang lebih besar lagi. Selain itu, mereka juga akan menempuh jalur hukum.
“Jika kami masih tidak digubris, kami akan melakukan aksi serupa yang lebih besar lagi,” katanya.
Meski aksi tersebut berjalan dengan damai, tetap mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian. Akibat aksi jalan kaki tersebut terjadi kemacetan cukup parah di beberapa ruas jalan seperti Pajajaran, Cicendo, Pasirkaliki, dan Kebon Kawung.
Perlakuan diskriminatif badan penyelenggara Pemilu ini memang patut disayangkan. Sebab, dengan jumlah partai yang jauh berkurang dibanding Pemilu periode 2009, seyogyanya KPU mengakomodasi templet surat suara untuk anggota DPR dan DPRD. Alasan klasik tak ada anggaran yang cukup tak logis dipergunakan mengingat jumlahnya tak akan sebanding dengan dana 700M untuk saksi dari partai politik yang jadi wacana beberapa saat lalu. Apabila tunanetra masih harus mengalah lagi Pemilu kali ini, semoga para pemimpin mau sadar dari manisnya kekuasaan dan mau menerapkan aturan pembatasan jumlah partai, sehingga tak menyulitkan kelompok yang tak mendapat dukungan anggaran.(DPM)
sumber: Republika Online