Mungkin judul di atas terdengar agak “menakutkan” bagi kebanyakan orang. Bagaimana tidak, disabilitas atau istilah dulunya kecacatan, masih sering dipandang sebagai sebuah aib atau bahkan “kutukan”. Ada persepsi di masyarakat yang menganggap bahwa hilangnya fungsi indera atau tubuh seseorang disebabkan oleh dosa-dosa dia. Setidaknya itu yang ada di sinetron-sinetron berbau religi. Tapi bukan hal itu yang akan dibahas. Dosa atau keimanan, bukan jadi hak manusia untuk menilai, melainkan jadi domainnya Tuhan.
Faktanya, tiap orang memang berpeluang mengalami disabilitas. Bukan hanya karena faktor kelahiran, disabilitas juga dapat terjadi ketika anak-anak, remaja, atau dewasa, karena penyakit atau kecelakaan. Menyedihkan ketika kebijakan pemerintah dan sikap masyarakat yang menyisihkan penyandang disabilitas sebagai orang marginal. Pembuatan panti-panti rehabilitasi yang menyebabkan mereka jauh dari keluarga dan juga berlokasi di daerah pinggiran, serta masyarakat yang menganggap bahwa penyandang disabilitas adalahkelompok manusia yang berbeda. Jelas hal tersebut akan membuat seseorang yang mengalami disabilitas di usia dewasa akan sangat merasa terpuruk.
Disabilitas atau kecacatan bukan akhir dari dunia, apabila kita tahu bahwa keterbatasan itu memiliki solusi dan mampu menjalani hidup secara normal dengan semestinya. Pandangan umum yang ada saat ini adalah penyandang disabilitas sebagai orang yang tak berdaya dan patut dikasihani. Padahal jika diberikan kesempatan dan fasilitas yang mendukung aksesibilitas, maka meeka juga dapat berdaya optimal. Misal seorang tunanetra yang kehilangan fungsi penglihatan. Ia dapat kembali membaca dan menulis apabila sudah belajar huruf braille serta mengoperasikan komputer yang dilengkapi program pembaca layar. Begitu pula dengan seorang tunadaksa kaki. Dia dapat kembali bepergian tanpa hambatan dengan motor modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi alat geraknya. Berbagai hal yang lazim dilakukan manusia pada umumnya, dapat pula dikerjakan oleh penyandang disabilitas meski dengan cara yang berbeda. Perbedaan cara ini seyogyanya dipandang sebagai hal yang wajar, sebab tujuannya atau hasil yang dicapai pun sama.
Pemikiran bahwa penyandang disabilitas seperti orang yang berbeda dalam masyarakat kerap kali terjadi dalam pembangunan. Pihak pemerintah sering beralasan bahwa tidak dibuatnya bangunan-bangunan publik aksesibel adalah jumlah penyandang disabilitas yang hampir tidak ada mengakses lokasi tersebut. Padahal jika ingin diluruskan logikanya, bukan tak ada penyandang disabilitas yang memanfaatkan, tapi karena tak adanya akses, maka penyandang disabilitas tidak dapat beraktivitas di sana. Selain itu, prinsip yang seyogyanya dipegang adalah akses untuk memanfaatkanf asilitas publik adalah hak bagi semua orang, termasuk penyandang disabilitas. Sudah ada konsep universal design yang memungkinkan tiap orang secara bersama dapat meanfaatkan sebuah fasilitas dengan penyesuaian-penyesuaian seperlunya. Apabila pemahaman ini tidak didukung oleh aturan yang tegas dan pelaksanaan yang konsisten, maka selamanya penyandang disabilitas akant erus tersisih.
Sikap mendukung ketersediaan akses dan kesempatan serta pemberdayaan penyandang disabilitas selayaknya dapat dilihat sebagai bentuk investasi untuk diri sendiri, teman, keluarga, dan anak cucu kita di masa depan. Jangan menganggap bahwa ada penyandang disabilitas dan non-disabilitas, melainkan penyandang disabilitas dan belum menjadi penyandang disabilitas. Sebab tiap orang memang berpotensi menjadi penyandang disabilitas, entah karena penyakit, kecelakaan, atau usia tua. Ketika saat ini kita membayar pajak atau membantu pengwujudan masa depan penyandang disabilitas yang lebih baik, pandang itu sebagai bentuk investasi yang membuat kita yakin bahwa apabila kondisi itu datang, kita akan tetap menjalani hidup dengan normal meski dengan cara berbeda.(DPM)