“Nis, subhanallah banget, film tadi itu bagus banget, inspiratif, dan menarik tentunya” sepanjang jalan pulang tak habis-habisnya aku mengoceh tentang film yang 15 menit lalu kami tonton di dalam bioskop tentunaya. Namun hanya senyuman yang nampak dari bibir mungilnya yang terlihat setiap aku selesai berbicara.
Ku hentikan ceritaku dan mencoba untuk serius dan bertanya” kenapa Nis? Apakah kamu ada masalah? Kemana perginya kecerewetan kamu yang unik itu?” ku lirik ia yang tiba-tiba tertawa dan berkata
”Tidak ada, Syah, aku Cuma lapar belum makan pagi” aku kaget sejenak dan sempat terbengong hingga secara mendadak akupun tertawa dan berkata,
”Walah, ternyata kelaparan ya? kenapa ga bilang dari tadi? ayo kita mampir ke Warung Dasyat depan jalan makan mie ayam kesukaanmu?” Sambil menganyunkan jari telunjuk kanannya mirip adegan Shahrulkhan dalam film india”Kuch kuch ho ta hai” ia berkata,
” Enggalah, aku masak sendiri di kos, kamu tahu itukan?”
Ku lihat wajahnya, sepertinya ada yang disembunyikan dariku.
“Wah iya aku lupa, kalau gitu boleh dong aku ikut makan dikosmu? kita berteman sudah setahun, tetapi sedikitpun aku belum pernah mencicipi masakanmu” mendengar perkataanku sambil membuang bunga kumis kucing yang ia dapatkan di jalan tadi ia berkata sambil senyum
“Jangan sekarang ya, Syah. Kamarku lagi berantakan, aku juga belum ke pasar, jadi kapan-kapan saja” belum sempat ku menanggapi, ia sudah menyodorkan tangannya memberi tanda hendak berpisah, aku pun menyodorkan tanganku berjabat tangan, hal itu biasa kami lakukan ketika berjumpa maupun berpisah agar kami saling memaafkan setiap kesalahan yang sengaja maupun tidak sengaja yang kami buat.
Sambil mengucapkan salam ia pun pergi berjalan menuju kosnya yang kecil itu, tanpa isi yang lengkap hanya tikar berbantal baju yang dibuntel menjadi satu, ironis memang, bagi mereka yang belum mengenalnya tentu akan merasa kasihan, namun aku telah lama mengenalnya, uang beasiswa yang ia dapatkan cukup banyak, 600 ribu perbulan, tabungannya pun lumayan, hampir setiap bulan ia menyisihkan minimal 300ribu, kalau ia mau tentu orang tuanya dapat mengiriminya lagi, namun ia bertekad tidak mau melibatkan keluarganya apalagi orang lain untuk membantunya. Ia juga salah satu orang yang tidak suka dengan kenikmatan-kenikmatan yang berlebihan, ia hanya mau kecukupan, sederhana, dan hidup secara biasa. Unik pikirku, hanya sedikit orang yang berpikiran seperti dia, bahkan aku pun masih sulit menirunya.andai aku seorang pria tentu dia menjadi idamanku pikirku dalam hati.
Akhirnya aku pun berjalan sendiri menuju kosku, 15 menit dari gang kos Nisa, orang lalu lalang, ada yang bersepeda, motoran, bahkan mobilan, anak-anak di lapangan sedang asyik bermain bola, ibu-ibu asyik duduk-duduk berbincang-bincang hal yang tak ku tahu, dan ada kakek tua memakai baju kusut berwarna abu-abu yang sedang memperbaiki atap rumah, bahkan seorang teman ada yang menyapaku sambil menaiki sepeda motor merah, Budi. Tapi, tidak aku tanggapi, pikiranku masih melayang pada sahabatku Nisa, yang ku kenal 1 tahun yang lalu tepatnya waktu ospek.
Gadis desa anak petani biasa yang mendapatkan beasiswa kuliah gratis dari pemerintah tentu tidak aku impikan sebelumnya, itu hal luar biasa yang Allah berikan padaku. Sambil berjalan seorang diri menuju kosku, ku coba mengingat kenangan indah saat pertama mengenalnya.
Ia gadis cantik dan lincah plus mempunyai percaya diri yang tinggi yang pernah aku lihat, dari sekumpulan mahasiswa baru yang bekumpul tanpa memandang SARA, bersama-sama mendengarkan hal-hal, yang jujur aku ragukan kegunaanya, melalui serangkaian acara penyambutan mahasiswa baru dari senior kami.
“Siapa diantara kalian, yan berani maju kedepan dan mencerritakan tentang siapa kalian” itu teriakan dari senior kami, dari barisan tengah deretan ke tiga ku lihat ada yang mengangkat tangan dan berjalan kedepan dengan percaya dirinya, menyambar mix yang tersedia dan mulai memperkenalkan dirinya dimuka umum. Berani sekali pikirku, tapi aku pun tidak terkejut, dan aku yakin teman-teman yang lain berpikiran yang sama denganku tentang dia, mengingat sejak awal memang dia yang paling percaya diri diantara kami.
Namanya Khoerunissa, lahir 18 tahun yang lalu, dan yang mengagetkan ternyata dia satu kota dengaku yaitu Tegal, meski bukan satu kecamatan apalagi satu desa, tapi aku cukup senang mengenalnya, karena sejak awal entah mengapa aku senang melihanya, seolah-olah ia teman akrabku.
Ospek hari terakhir, mati lampu, sedangkan batre Handphone-ku habis, jam di kos pun belum ada, sehingga terpaksa aku datang sedikit pagi, tetapi justru kepagian, terbukti dari heningnya kampus tanpa satupun mahasiswa baru selain aku, hanya terlihat senior yang berkerja keras menyiapkan ospek penutupan hari ini. Untuk menghilangkan kebosananku, aku pun mencari tempat untuk duduk dan mencoba menyalurkan hasrat menulisku, dan ku temukan tempat duduk kosong depan perpustakaan kampus yang mengarah pada lapangan tempat kami duduk berkumpul mendengarkan dan mengikuti serangkaian acara ospek yang membosankan bagiku.
Setelah ku keluarkan buku catatan baruku, menggantikan bukuku yang hilang di bis waktu berangkat dari Tegal ke Jogya kemarin, meski berat memulai dari awal, tetapi tidak ada salahnya. Satu hal yang ku pikirkan untuk mencari tema ceritaku, yaitu kisahku. Ku mulai menggerakkan penaku dalam buku itu, menuangkan kata demi kata menjadi kalimat yang telah ku rangkai di otakku sebelumnya.
Baru selesai satu paragraph aku menulis, terdengar suara lembut dari belakangku sambil menyodorkan sesuatu yang sepertinya aku mengenalnya,
”Syah, bukankah ini bukumu? Aku temukan di bis 7 hari yang lalu, dan aku melihat fotomu juga sehingga aku yakin ini tentunya buku kamu.”ku ambil buku itu dan ku buka-buka isinya ternyata memang benar ini bukuku, senang rasanya hatiku menemukan sesuatu berharga yang sempat hilang.
” Terima kasih Nis, kau tahu buku ini, penting bagiku” ku lirik wajah cantiknya, ia tersenyum dan duduk disampingku sambil berkata,
“Iya, aku tahu, tapi sebelumnya aku minta maaf karena aku membaca isi buku itu, tapi aku rasa aku sedikit banyak mengenal dirimu, dan aku yakin kita bisa jadi teman akrab, apakah kamu mau menjadi temanku?” Jujur mendengar ucapannya hatiku senang sekali, selama ini pun aku dijogja belum mendapatkan teman
“Iya tentu” kami pun saling bercerita, berbagi pengalaman bahkan cerita kami masih berlanjut dalam forum ospek yang seharusnya mendengarkan materi, tapi rasanya seperti sihir, kami benar-benar cocok.
Terdengar suara sirine ambulan membangunkan pikiranku tentang dia tempo dulu, dan aku pun kaget tenyata gang arah kosku terlewat, cukup lelah kakiku berjalan hampr 30 menit dari bioskop ke kos,
“Coba kalau punya kendaraan tentunya tidak selelah ini”pikirku dalam hati ku buka kunci kamarku, kurebahkan badanku, hendak memejamkan mata, tidur sejenak menghapus kelelahan dan kepenatan otakku memikirkan sifat dia yang ku rasa janggal, belum sempat kupejamkan mataku Handphone-ku berdering, terlihat nomor baru memanggil, kuangkat telponya, bertanya siapa, ada apa? setelah beberapa detik tak terdengar suara, tenyata Nisa, belum ku bertanya kenapa nomornya ganti ia berkata,
“ Syah aku ini keterlaluan ya?”
“ Kok bisa?,” kataku.
“ Kau tentu tahu perubahan sikapku setelah melihat film tentang ibu tadikan? Ada beberapa hal yang belum kau tahu Syah, tentang diriku, bahwa semenjak 3 bulan di Jogja aku belum pernah komunikasi dengan keluarga, hatiku sekarang keras seperti batu, kepekaanku dan rasa perduliku terhadap keluarga di rumah seolah hilang, ketika mendengar adikku sakitpun hingga dirawat, tak sedikitpun aku sedih, dan bahkan aku sekarang cenderung angkuh, berdoa padaNyapun tidak, setiap kewajibanNya sebatas aku laksanakan biasa-biasa saja, mungkin ini hukuman dariNya,
handphone-ku hilang tadi, waktu ku tinggal mandi, sekarang aku pinjam handphone Yeni, seolah-olah ini teguranNya, kemarin-kemarin pun hatiku mengalami kegundahan,pikiranku kalut, hatiku tak tenang, seolah-olah hidup tetapi terasa mati, hari ini aku putuskan pulang ke Tegal, berharap di rumah jiwaku yang pergi dapat kembali, aku minta maaf kalau punya salah ya? Doakan aku semoga sampai tujuan, sudah ya? dah Syah, sampai ketemu nanti, aku berlibur seminggu di rumah tolong di ijinkan. Makasih.” Ia menutup telponnya tanpa mengijinkan ku berbicara sedikitpun, tapi sedikitpun aku tak marah dengan sifatnya itu, karena aku mengenalnya, sifatnya itu menunjukan bahwa sedang bingung dan galaunya hatinya. Ku tulis sms pesan singkat ke nomor yang tadi dipakainya menelponku.
“Nis, hati-hati di jalan, kalau memang lebih baik pulang, jangan ragu untuk pulang, jemput senyum dan keceriaanmu di Tegal, kalau sudah ketemu, marahin dia dan ikat dia jangan sampai lepas, jangan biarkan dia pergi lagi, aku ingin melihatnya” setelah tekirim, ku lanjutkan tidur ku yang tertunda.
Editor: Putri Istiqomah Priyatna