Jakarta, Kartunet.com – Kemajuan teknologi, merupakan sesuatu yang sangat mendukung perkembangan kehidupan penyandang disabilitas, khususnya tunanetra. Perangkat lunak pembaca layar, printer Braille, jam bicara, serta sejumlah peralatan teknologi lainnya, sangat diperlukan tunanetra dalam rangka memfasilitasi kemandirian. Sayangnya, alat-alat tersebut masih sulit diperoleh di Indonesia. Alasan itulah yang kemudian mendorong Suratim Bagaskara untuk membuka toko yang menyediakan berbagai macam alat bantu tunanetra.
Braille Adaptive. Seperti itulah Suratim memberi nama tokonya. Jenis produk yang disediakan beraneka ragam, mulai dari PACMate Omni Aksesibel (Poket PC untuk Tunanetra), Thermometer bicara, Magic for Windows (Program kaca Pembesar), Victor Reader StratusS (Pemutar buku Bicara), PlexTalk (Pemutar / Perekam buku Bicara berformat DAISY) dan lain-lain. Ia menjual barang dagangannya secara online pada website www.brailleadaptive.com. Sejak memulai bisnisnya tahun 2003 silam, hingga saat ini Suratim telah memiliki beberapa cabang toko secara offline. Tidak hanya berjualan di rumahnya di kawasan Bogor, Suratim pun telah memiliki toko cabang di negeri Jiran.
Suratim yang terkesan supel dan ramah saat diwawancara bercerita banyak hal tentang kegiatannya berjualan alat bantu tunanetra. Ia memilih bisnis tersebut karena minat dan hobinya dalam bidang teknologi. Selain itu, ia merasa masih jarang orang Indonesia yang memilih bidang bisnis teknologi aksesibel. “Teknologi untuk tunanetra itu ‘kan masih jarang yang menguasai, jadi karena saya senang dengan teknologi, ya saya jalani aja di situ,” ujar pria yang menjadi tunanetra sejak usia lima tahun tersebut.
“Pelanggannya udah lumayan, dari seluruh Indonesia, bahkan Asia,” ujar Suratim. Organisasi-organisasi tunanetra sudah pasti menjadi pelanggan setianya. Di samping itu, Suratim mengaku bahwa ada beberapa perusahaan swasta yang juga pernah membeli produknya. Individu yang membeli produk Suratim atas nama pribadi pun sudah cukup banyak. Suratim memang satu-satunya pemegang lisensi asli untuk produk-produk teknologi tunanetra di Indonesia. Tidak hanya satu, ia bekerja sama dengan beberapa perusahaan seperti Freedom Siantyfic,Nuance Talks, Nuance Comunication, dan sebagainya. “Awalnya saya banyak bertanya macam-macam tentang product knowledge mereka. Lama kelamaan, perusahaan-perusahaan itu sendiri yang menunjuk saya untuk jadi dealer mereka di Indonesia. Jadi saya sebenarnya nggak apply,” katanya.
Bagaimana Suratim bisa mengenal perusahaan-perusahaan bertaraf internasional tersebut hingga mendapatkan kepercayaan? Rahasianya adalah keaktifan Suratim dalam mengikuti berbagai training teknologi aksesibel yang diadakan di berbagai Negara. Sejak tahun 2004, Suratim telah berkeliling ke Malaysia, Thailand, Vietnam, Amerika, dan lain-lain untuk menimba ilmu teknologi aksesibel. Di sanalah ia mulai mengenal dan dikenal oleh para marketer perusahaan-perusahaan teknologi aksesibel dunia.
Kini, bukan hanya mengikuti training, Suratim pun telah menjadi trainer di bidang IT. Ia kerap kali menerima panggilan dari lembaga-lembaga tertentu untuk memberikan pelatihan di seluruh Indonesia, di antaranya Palu, Medan, dan Nusa Tenggara Timur. Materi yang ia ajarkan misalnya web accessibility, Guiding Web, JAWS scripting, dan lain-lain. Pada akhirnya aktivitas Suratim memberikan pelatihan itu membuat toko Braille Adaptive semakin dikenal tunanetra di seluruh Indonesia.
Banyak pengalaman telah dirasakan anak kedua dari tiga bersaudara itu selama Sembilan tahun mengelola toko Braile Adaptive. Suratim menjual produknya dengan dollar, sehingga ketika kurs dollar terhadap rupiah mengalami perubahan, ia pun harus mengubah harga barangnya. Pada masa awal pengelolaan usahanya, Suratim pernah mengalami kendala akibat hal tersebut. “Waktu itu ‘kan udah deal dengan customer, tiba-tiba aja harga dollar fluktuasinya cepat sekali. Nah, saya ‘kan nggak mungkin lagi merubah kesepakatan harga dengan customer. Jadi ya boleh dibilang agak merugi waktu itu,” kenangnya.
Suratim mengakui, menjual produk teknologi aksesibel di Indonesia merupakan tantangan tersendiri. Selain daya beli masyarakat Indonesia yang masih tergolong rendah, Suratim masih kerap kali menemukan orang-orang yang belum bersedia menggunakan produk asli meski memiliki kemampuan financial yang mencukupi. Suratim pun mencoba memikirkan solusi pada masalah tersebut. “Saya akan terus mengedukasi masyarakat, bahwa mahal atau didaknya suatu produk itu relative. Kalau kita bisa memperoleh benefit yang lebih ketika menggunakan produk asli, kenapa kita tidak memberikan apresiasi untuk perusahaan yang telah menciptakan produk itu untuk kemandirian kita dengan membeli yang asli?” ujar pria kelahiran 19 Mei 41 tahun lalu tersebut.
Hobi Suratim rupanya bukan hanya dalam bidang teknologi. Alumnus jurusan Sastra Inggris Universitas Nasional itu agaknya juga menggandrungi dunia literasi. Ia sempat tergabung sebagai wartawan media Mitra Netra Online, menulis artikel teknologi aksesibel dan puisi pada sebuah majalah, cerpennya pun sempat dimuat pada salah satu media besar nasional. . “Alhamdulillah, dulu saya pernah juga jadi juara II Lomba Puisi yang diadakan oleh Pertuni di tingkat nasional,” cerita Suratim.
Ayah dari tiga orang anak ini menuturkan, meski mengalami pasang surut, bidang usaha yang ia pilih telah dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Menurut Suratim, kemandirian dalam berwirausaha merupakan modal yang baik bagi penyandang disabilitas. Hal pertama yang perlu dilakukan agar dapat hidup mandiri, lanjut suratim, adalah meruntuhkan mental blok. Suratim yang sejak kecil terbiasa bergaul dengan orang nondisabilitas mengakui dirinya tidak mendapatkan hambatan berarti dalam meruntuhkan mental blok-nya. Artinya, lingkungan dan pergaulan memang sangat berpengaruh terhadap keberanian seseorang untuk meninggalkan zona aman. “Mental Blok di kalangan disabilitas itu masih tergolong tinggi. Jadi kalau mau sukses, ya harus bermula dari kemauan dan kekuatan dalam diri sendiri, baru setelah itu didorong oleh factor eks,” tukasnya. (RR)
editor: Herisma Yanti