Hampir setahun sudah berlalu sejak pecahnya pertempuran separatisme 10 november 1945 di Surabaya. Puluhan ribu pejuang gugur mengorbankan nyawa demi mempertahankan tanah air dari agresi militer Tentara Inggris yang ingin membantu Belanda kembali menguasai Bangsa Indonesia. Surabay a membara hari itu. Tanah memerah basah oleh darah. Asap membumbung. Suara letusan senjata serta ledakan bom terus terdengar bersamaan dengan jatuhnya tubuh-tubuh para pejuang yang tak kenal takut. Sejumlah pesawat tempur, tank dan kendaraan lapis baja disiapkan Inggris untuk membombardir Surabaya. Dengan persenjataan seadanya, para petarung republik yang baru berdiri itu bertahan mati-matian. Kendati kota surabaya digempur habis dari darat, laut dan udara hingga menjadikannya lautan api, perlawanan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang bergabung bersama Laskar Rakyat justru kian sengit. Rakyat Indonesia di Surabaya tak menghiraukan jatuhnya korban. Apabila satu jatuh, yang lain tampil maju ke muka. Onggokan mayat di Barikade menggunung, tetapi rakyat Indonesia datang lagi semakin banyak. Mayat-mayat serta potongan-potongan tubuh manusia bergelimpangan, tergeletak hampir di setiap jengkal tanah. Takbir terus menggema lantang, membakar semangat pertempuran dalam dada-dada para pejuang.
“Merdeka atau mati!” seru mereka saat itu.
Ratusan km dari tanah para pahlawan itu, seorang gadis tampak terisak pilu, terduduk lesu di tepi pembaringannya. Diluapkannya pedih yang bersarang menyesakkan dada. Matanya terpejam. Wajahnya basah oleh air mata. Diingatnya percakapan yang didengarnya sore tadi dari balik dinding ruang tengah rumahnya.
“Sebelumnya mohon maafkan aku Mas Kusno.” terang suara yang terdengar dipenuhi dengan penyesalan itu. “Kedatanganku sore ini ingin membicarakan tentang pembatalan pertunangan antara Putri Mas, Laksmi, dan Putraku, Puguh.” suara itu nampak terhenti sejenak. Disusul dengan helaan nafas panjang yang begitu berat. “Seperti yang telah Mas Kusno ketahui, sebagai anggota militer, Anakku Puguh turut berperang pada saat pertempuran setahun silam di Surabaya. Dan betapa telah kupersiapkan hatiku untuk menerima segala resiko yang mungkin terjadi, namun ketika kabar itu sampai, rasanya remuk redam hatiku Mas.” suara itu kini mulai terdengar serak. “Putraku, Putra kebanggaanku, telah terluka dalam perang dan kini menjadi cacat.” jelas suara yang sarat akan kepedihan itu. “Setahun ini aku dan anakku masih berusaha, berharap semuanya bisa kembali pulih. Namun, sepertinya usaha kami sia-sia Mas.” suara itu kembali menghela nafas panjang. ” Puguh pun tidak ingin membuat Laksmi kembali menunggu dirinya. Puguh mohon maaf atas 3 tahun waktu Laksmi yang terbuang karena menunggunya kembali selama ini.” suara itu nampak tertahan dan terdengar semakin berat. “Dia, merasa malu dan tidak lagi pantas untuk menikahi Laksmi Mas. Dia memutuskan untuk menetap di Surabaya, dan tidak lagi kembali ke desa ini. Sekali lagi, maafkan aku dan anakku Mas. Sampaikan pula maaf kami pada Laksmi.”
Mendengar percakapan sore itu, dengan hati yang remuk redam, Laksmi berlari menuju kamarnya. Isak tangisnya pecah. 3 tahun lamanya sudah dia menunggu pria yang dikasihinya itu kembali. Meski hanya lembar demi lembar surat yang menjadi obat bagi kerinduannya selama ini. Kerinduan yang kian hari kian menyesak di dada. Tak sedikitpun pernah dia berpikir untuk menyerah. Tak sekejappun dia berhenti berharap. Betapa telah digantungkannya seluruh harap dan mimpinya pada pria pujaannya itu. Betapa pahit rasanya kenyataan yang harus diterimanya kini. Dalam isak Laksmi termenung, entah kemalangan seperti apa yang menimpah Puguh, hingga sampai hati Puguh mematahkan mimpi dan harapannya. apakah benar-benar tidak mungkin bagi mereka untuk tetap bersama meski dengan keadaan Puguh saat ini? Timbul secercah harap dalam hatinya. Laksmi memutuskan meminta izin pada orang tuanya agar dibolehkan pergi ke Surabaya menemui Puguh. Namun seperti yang telah diduganya, Bapak dan Ibu, menentang keputusannya itu. Namun Laksmi bersikeras. Kemarahan Bapak serta permohonan ibu tak sedikitpun mampu menggoyahkan keputusannya. Khawatir akan kenekatan Laksmi, dengan berat hati Bapak dan ibu pun akhirnya membolehkan Laksmi pergi dengan ditemani adik lelakinya, Aryo.
***
Dua hari kemudian, ketika hari masih terlalu dini, bahkan langit masihlah tampak gelap, Laksmi yang ditemani Aryo berangkat menaiki Andong menuju Stasiun Kereta Api.
Rerimbunan batang tebu tampak menjulang, menghiasi hampir sepanjang sisi jalan yang mereka lalui. Sesekali angin bertiup, menggoyang batang-batang tebu. Daun-daun yang menjuntai di atasnya melambai, berdesir bergesekan.
Di dalam andong, Laksmi duduk termangu. Di pangkuan, jari-jarinya sibuk memain-mainkan tali tas kain yang dibawanya. Matanya tampak bengkak akibat terlalu lama menangis. Aryo yang duduk di sebelahnya menatap Laksmi prihatin. Sesekali ditepuknya lengan Mbakyunya itu. Namun Laksmi hanya diam. Dia masih tenggelam dalam lamunan. Benaknya melayang, terbayang kenangan-kenangan manis bersama Puguh. Pertemuan pertama mereka yang kikuk di Pematang sawah. Betapa malu-malunya perkenalan pertama mereka di sela-sela rerimbunan batang tebu. Tatapannya yang tajam, suaranya yang lembut, serta perangainya yang santun, membuat Laksmi merasakan sentuhan perasaan asing yang begitu menggelorakan hati untuk pertama kalinya. Laksmi terkesima. Semenjak perkenalan mereka sore itu, kemanapun Laksmi pergi, Laksmi merasa mereka tanpa sengaja jadi sering bertemu. Puguh akan tersenyum, sorot matanya tampak lembut menatapnya. Terkadang Puguh akan menghampiri walau hanya sekedar untuk menyapa. Jika kebetulan tempat yang mereka tuju searah, maka Puguh akan berjalan menemaninya. Pertemuan mereka yang terlalu sering kadang membuat Laksmi merasa bahwa sepertinya Puguh sengaja mengikutinya. Memikirkan hal itu membuat darahnya berdesir, jantungnya berdebar, lalu diam-diam dia akan tertunduk malu, memegangi kedua pipinya yang terasa panas dan tampak mulai memerah. Karena seringnya mereka bertemu, keakraban pun mulai terjalin di antara mereka. Kini Laksmi tahu jika ternyata Puguh 5 tahun lebih tua darinya. Puguh juga baru lulus sekolah di Kota, karenanya dia belum lama kembali ke Desa.
Dua bulan berselang sejak perkenalan mereka, Puguh datang bersama orang tuanya untuk meminang Laksmi. Laksmi terkesiap. Betapa mengejutkan ini baginya. Hatinya bergetar. Kebahagiaan membuncah dalam dadanya.
Orang tua mereka yang rupanya adalah kenalan sekampung serta sudah cukup akrab pun membuat pinangan itu menjadi hal yang sangat menggembirakan bagi kedua keluarga mereka. Kedua belah pihak pun sepakat menunggu hingga tahun depan untuk melangsungkan pernikahan mereka. Menunggu usia Laksmi genap 14 tahun. Namun sayang, sebelum sempat tahun berganti, tersiar kabar tentang terbentuknya organisasi Pembela Tanah Air. Organisasi tersebut dikabarkan tengah mencari para pemuda untuk bergabung sebagai anggota dan akan mendapat pelatihan kemiliteran di bawah Tentara Jepang.
Mendengar hal itu, ternyata membuat banyak para pemuda Desanya yang selama ini bermimpi tentang hidup terbebas dari tekanan penjajah dan merindukan indahnya bangsa yang merdeka pun bangkit. Semangat mereka untuk menjadi bangsa yang mandiri berkobar. Tak ubahnya pemuda Desa yang lain, Puguh yang di dalam dadanya telah terbercik api kebencian kepada para penjajah pun terbakar. Dirasakannya tekanan yang selama ini menimpah keluarga, terutama Bapaknya. Sebagai pemilik perkebunan tebu yang cukup luas di Desanya, Bapak mendapat banyak tekanan dari para Kompeni Belanda. Bapak harus menyediakan banyak dari hasil perkebunannya kepada para Kompeni, sebagai bahan baku pembuatan gula yang akan mereka ekspor ke negeri asal mereka. Bapak juga harus memberikan upeti yang tidak sedikit sebagai syarat jika usahanya ingin tetap lancar.
Dengan tekat kuat yang sudah bulat, Puguh pun meminta izin Bapaknya. Melihat semangat dan tekat yang kuat dalam diri anaknya itu, dengan, sangat berat hati, Bapaknya pun akhirnya mengizinkan. Merekapun segera menyampaikan niat Puguh kepada pihak keluarga Laksmi. Meski enggan, namun Laksmi tidak keberatan untuk menunggu Puguh kembali, hanya saja Ayah Laksmi tampak keberatan dengan hal itu, dia tidak ingin anaknya menunggu terlalu lama dan memutuskan untuk memberi Puguh waktu selama 3 tahun. Sebenarnya mereka berdua bisa saja menikah terlebih dulu sebelum Puguh pergi, namun Puguh menolak, dia tidak sampai hati meninggalkan Laksmi justru setelah mereka menikah. Dalam benaknya ada pikiran, jika mungkin sesuatu yang buruk terjadi padanya, Laksmi masilah seorang gadis yang suci bersih. Namun jika mereka menikah dan sesuatu yang buruk terjadi, alangkah malangnya nasib Laksmi menjadi seorang janda di usianya yang masih sangat belia. Puguh sadar, dirinya cukup egois untuk membiarkan Laksmi menunggu. Namun bagaimana lagi, hatinya tidak kuasa bila harus memutus hubungannya dengan Laksmi.
Seminggu setelah itu, Laksmi dan Puguh pun terpisah. Puguh dan banyak pemuda lain di desanya pergi menuju Markas PETA di Bogor, ratusan km jauhnya dari Desa mereka.
Sebulan kemudian setelah perpisahan mereka, Laksmi mendapat kiriman surat pertamanya dari Puguh. Bergetar kedua tangannya, membuka amplop surat yang diterimanya. Jantungnya berdebar. Hati-hati dibacanya surat itu. Kecemasan dalam hatinya perlahan luruh, mengetahui Puguh dalam keadaan baik. Hatinya terasa manis, membaca bagaimana Puguh merindukannya. Laksmi merasa prihatin saat Puguh menceritakan berbagai macam latihan keras yang dilakukannya dalam kemiliteran. Perasaan bangga dan haru memenuhi hatinya, membaca bagaimana kecintaan Puguh kepada tanah air membuat Puguh bertahan dalam kerasnya setiap latihan yang harus dilakukannya.
Dengan perasaan hangat, haru serta rindu yang berkecamuk dalam dadanya, Laksmi pun membalas surat dari Puguh.
Setiap bulan setelah itu, akan selalu ada surat yang datang untuk Laksmi. Surat yang menjadi penawar rindu yang kian menyesak di dada. Surat tempat dimana dia menambatkan mimpi-mimpi dan harapannya.
***
Siang itu, setelah 6 jam perjalanan dengan kereta, Laksmi dan Aryo pun tiba di Surabaya. Kota yang belum lama ini pecah oleh ratap tangis orang-orang yang kehilangan. Kota yang belum lama ini banjir oleh darah dan air mata para pejuang yang gugur dan terluka. Kota yang belum lama ini pecah oleh jeritan mereka yang kesakitan. Di Kota ini pula Kekasihnya berjuang dan terluka. Membela tanah air yang dicintainya. Mungkinkah di sini pula dia akan kehilangan pria yang amat dikasihinya itu? Mungkinkah hari ini merupakan pertemuan terakhir mereka? Laksmi tampak linglung, menatap keriuhan di sekelilingnya. Suasana stasiun cukup ramai saat itu. Sambil berjalan menepi, Laksmi merogoh tas kain yang dibawanya. Dikeluarkannya secarik kertas yang berisi alamat tempat dimana kini Puguh berada. Susah payah didapatkannya alamat itu dari orang tua Puguh yang rupanya keberatan dengan niatnya hendak menemui Puguh. Mereka tak ingin jika nantinya Laksmi justru akan semakin kecewa setelah melihat keadaan Puguh yang sebenarnya. Laksmi yang hatinya sudah dikuasai tekat dan harapan akan pertemuannya dengan Puguh pun terus memohon dan membujuk mereka. Ayah Puguh yang memang semula dalam hatinya telah dipenuhi rasa kasihan kepada Laksmi pun semakin bertambah iba. Dan dengan berat hati diberitahukanlah alamat dimana tempat Puguh kini tinggal di Surabaya.
Bersama Aryo, Laksmi melangkah menghampiri pengemudi andong yang tengah menunggu penumpang di depan Stasiun. Laksmi meminta diantarkan ke alamat yang tertulis di kertas yang dipegangnya. Pengemudi andong menggeleng, rupanya dia tidak dapat membaca. Laksmi pun menyebutkan alamat yang tertera di kertas. Pengemudi andong mengangguk, kemudian meminta mereka untuk naik.
Setengah jam kemudian, andong yang mereka naiki pun berhenti. Pengemudi andong menunjuk ke sebuah bangunan, sambil menerangkan bahwa di sinilah alamat yang mereka ingin tuju. Setelah membayar ongkos, Laksmi, dan Aryo pun turun. Di depan bangunan tampak dua orang pria yang tengah duduk berbincang. Melihat kedatangan Laksmi dan Aryo, salah seorang dari merekapun datang menghampiri. Dengan agak gugup Laksmi mengutarakan niat kedatangan dirinya yang hendak bertemu Puguh. Mendengar maksud kedatangannya kedua pria itupun dengan ramah mempersilahkan mereka berdua untuk masuk dan duduk menunggu di dalam ruang tunggu. Salah seorang dari pria itupun bergegas masuk ke ruang dalam untuk mengabarkan kedatangan mereka.
Dengan dipenuhi perasaan cemas dan gugup Laksmi pun duduk menunggu. Debar jantungnya terasa bertalu-talu, memukul-mukul keras rongga dadanya. Pikirnya, seperti apakah keadaan puguh saat ia melihatnya nanti? Seburuk apakah keadaanya hingga Puguh merasa tidak lagi pantas untuk menikahinya? Berbagai macam pikiran berkecamuk dalam kepalanya. Di tengah-tengah kecamuk batinnya saat itu, didengarnya langkah-langkah kaki yang mendekat dari arah ruang dalam. Gugup di tatapnya pintu ruang dalam yang perlahan terbuka. Lalu muncullah wajah yang siang malam membayang dipikirannya. Wajah yang nampak kian matang. Tatapannyapun terasa semakin tajam. Dilihatnya sepasang mata tajam itu terkesiap terkejut menatapnya. Sepasang mata itu berubah rumit. Laksmi tercekat, menatap haru pria yang dikasihinya itu. Bergegas diperhatikannya Puguh dari kepala, kedua tangan hingga ujung kaki. Tatapan Laksmi berubah bingung. Benaknya berteriak, tak ada yang berubah dari kekasihnya ini. Bagian mana yang cacat? Semua tampak baik-baik saja!
Puguh membaca kebingungan di mata Laksmi. Benaknya langsung dipenuhi kekalutan. Dia tak pernah menyangka jika Laksmi akan datang ke Surabaya untuk menemuinya. Apa yang harus dikatakannya pada Laksmi? Sanggupkah dia mengatakan yang sebenar -benarnya? Bagaimana tanggapan gadis itu nanti? Resau ditatapnya Laksmi. Gadis belia itu sudah tumbuh menjadi dewasa. Semakin ayu. Kebaya hijau serta kain batik coklat gelap yang dipakainya kontras dengan kulitnya yang kuning langsat. Semakin menonjolkan kecantikannya. Pipinya yang berbentuk daun sirih, hidungnya yang mungil, bibirnya yang tipis, bulu mata yang lentik, hanya saja, mata yang senantiasa dipenuhi cahaya itu kini tampak redup.
“Sepertinya Bapak sudah menyampaikan keputusanku pada Laksmi.” pikir Puguh. “Laksmi tentu sangat sedih. Tapi mau bagaimana lagi?”
Puguh merasa bahwa Tuhan benar-benar tengah menguji tekatnya.
Dengan perasaanya yang resah, Puguh melangkah menghampiri kursi di hadapan Laksmi. Ia duduk, kemudian menuangkan air teh tawar yang tersedia di teko di atas meja di depannya untuk kedua tamunya itu.
“Minumlah.” ujar Puguh.
Aryo yang memang haus pun tanpa sungkan meminum air dalam gelasnya hingga habis. Dengan tangan yang sedikit bergetar, Laksmi menggenggam gelas di depannya. Perlahan diminumnya air dalam gelas itu. Dinginnya air yang mengalir membasahi kerongkongannya yang kering rupanya mampu meredakan sedikit kegelisahan dalam hatinya.
“Bagaimana kabarmu Mas?” lirih Laksmi bertanya. Kepalanya tampak menunduk. Jari-jarinya erat menggenggam tepi kebaya yang dipakainya.
“Aku baik.” jawabnya kelu. “Bagaimana denganmu?” balasnya kemudian. Dalam hati Puguh berulangkali memaki-maki dirinya sendiri. Jelas-jelas dia tahu bagaimana tampak terpukulnya gadis di hadapannya ini atas keputusan yang telah diambilnya. Untuk apa lagi dia bertanya?
“Aku, aku juga baik.” Jawab Laksmi terbata. “Mas, Bapakmu, Bapakmu bilang kau terluka dan, dan menjadi cacat. Benarkah itu Mas?” tanya Laksmi kemudian, masih sambil terbata. Kali ini diberanikannya mengangkat kepala memandang pria di hadapannya. Disaksikannya bagaimana wajah Puguh seketika berubah pucat. Bagaimana sepasang mata yang tajam itu tiba-tiba mengeras. Sekilas dilihatnya kilatan rasa sakit yang coba disembunyikan sepasang mata pria yang selalu dikaguminya itu.
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Laksmi, Puguh pun tak lagi sanggup menyembunyikan kekalutan yang bergejolak dalam kepalanya. Rasa sakit, ketidak berdayaan dan, keputus asaan menenggelamkan benaknya. Tatapannya yang mengeras pun luruh oleh rasa sakit yang tak lagi sanggup ditahannya.
“Laksmi, ikutlah denganku. Akan kujelaskan semuanya padamu.” pintanya, bangkit dari tempatnya duduk. “Aryo, tolong tunggulah sebentar di sini. Ada yang perlu kubicarakan berdua hanya dengan Mbakyumu.” tegas Puguh kepada Aryo. Membuat Aryo yang sebenarnya keberatan pun tak bisa menolak.
Dengan agak bingung Laksmi pun bangkit, melangkah mengikuti kemana arah Puguh berjalan. Puguh membawa Laksmi menuju ke arah ruang dalam. Sambil berjalan, Laksmi pun mulai menyadari keanehan pada cara berjalan pria di depannya. Puguh nampak berjalan dengan cara menyeret kaki sebelah kirinya.
“Kakimu Mas?” sentak Laksmi, sambil tanpa sadar menarik lengan baju pria yang melangkah di depannya itu.
“Nanti aku akan jelaskan semuanya padamu.” jawabnya, sambil melangkah memasuki ruangan di sebelah kirinya.
Di dalam ruangan yang berukuran 2×2 itu nampak meja yang dipenuhi tumpukan-tumpukan kertas, buku-buku serta sebuah mesin tik. Di balik meja terletak kursi yang terbuat dari rotan. Di sisi sebelah kiri dinding, terdapat rak yang dipenuhi buku-buku. Di sebelah rak kembali terdapat sebuah kursi yang juga terbuat dari rotan. Puguh melangkah memindahkan kursi itu menghadap ke arah meja. Iapun mempersilahkan Laksmi untuk duduk. Kemudian ia melangkah memutari meja dan duduk di kursi yang terdapat di sana.
Cukup lama mereka berdua terdiam dalam keheningan, tenggelam dalam kecamuk batin mereka masing-masing. Puguh gamang, dia tampak resah akan menceritakan semuanya dari mana. Dia tak pernah bermaksud untuk menyakiti hati Laksmi. Namun apa yang akan dijelaskannya mungkin akan membuat hati gadis itu sangat terluka. Hatinya tak pernah ingin melepaskan Laksmi untuk pergi dari sisinya. Namun diaapun tak berdaya untuk tetap mempertahankan laksmi hidup bersamanya. Dia tak cukup egois untuk merusak kebahagian gadis itu. Selamanya Laksmi mungkin hanya akan menjadi mimpi dalam sepenggal perjalanan sunyi hidupnya.
“Maafkan aku Laksmi.” lirih Puguh. Suaranya sarat akan penyesalan. “Aku telah mengingkari janjiku padamu.” lanjutnya pedih. “Aku tidak bisa menikah denganmu.” terangnya. Suaranya terdengar semakin lirih. Sepasang matanya yang biasanya tajam, kini nampak redup.
“Tapi kenapa Mas?” sentak Laksmi. “Aku, aku merasa tidak ada yang salah denganmu. Apa karena kakimu? Tapi, tapi aku tidak masalah Mas. Sungguh. Bagiku kau masih tetap sama. Kau masih tetap pria yang kukagumi. Lukamu itu terjadi karena kau berjuang membela tanah airmu. Aku bangga padamu. Janganlah kau berkecil hati Mas.” sanggahnya kemudian.
Saat itu puguh merasa hatinya bak disayat-sayat, kerongkongannya tercekat, sesak rasanya nafas di dada. Bernafas terasa begitu menyakitkan.
“Laksmi, kaki kiriku akan cacat selamanya.” desah Puguh, menghela nafas berat. “Saat pertempuran setahun silam terjadi, pinggul belakang sebelah kiriku tersambar pecahan bom. Sebagian besar tulang panggul dan pahaku remuk. Beruntung aku tidak harus di amputasi.” terang Puguh pedih. “Kenyataan ini amat menyakitkan bagiku Laksmi. Namun ternyata, hal yang amat menyakitkan ini masihlah belum seberapa bagiku, dibandingkan dengan kenyataan pahit berikutnya yang harus kuterima akibat tersambar pecahan bom saat itu. Terlebih bila aku mengingat dirimu.” Sejenak Puguh terdiam. Tubuhnya gemetar, kedua tangannya terkepal, nafasnya mulai terenga, kedua matanya terpejam..
“Laksmi, maafkan aku Laksmi. Aku tidak bisa menikahimu. Aku tidak bisa Laksmi.” rintih Puguh perih. Wajahnya berkerut menahan sakit di hatinya.
“Tapi kenapa Mas?” sergah Laksmi linglung.
Puguh menarik nafas dalam-dalam, dan sejenak bungkam. Matanya yang semula terpejam kini terbuka menatap Laksmi. Tatapannya tampak nanar dan tersiksa. Laksmi merasa nafasnya tercekat.
“Laksmi, jika kita menikah, aku tidak akan mampu memberimu kebahagiaan. Aku tidak manpu Laksmi. Aku tidak mampu memberimu kebahagiaan batin dalam pernikahan. Aku tidak akan mampu, memberimu keturunan. Laksmi, aku tidaklah layak untukmu Laksmi.” setetes air mata nampak jatuh bergulir dari mata yang perlahan meredup itu. Setiap kata menghantam jantungnya sendiri, menyayat luka berdarah, merobek satu demi satu. Rasanya tak tertahankan.
Sunyi sejenak saat Laksmi mencoba mengulangi kata-kata Puguh berkali-kali dalam pikirannya. kedua pandangannya kosong. Benaknya berputar, mengartikan apa yang baru saja didengarnya. Wajahnya sontak memucat. Tangisnyapun sertam merta pecah.
“Mas, Mas Puguh. Ya Allah Mas.” gumamnya dalam isak tangis yang begitu memilukan. Hatinya terasa begitu sakit, rasanya sangat menyakitkan. Betapa pedih Laksmi membayangkan nasib pria yang amat dikasihinya itu. Dadanya terasa begitu sesak. Gelombang kepedihan menghantam, mengancam untuk menenggelamkan jiwanya yang koyak. Laksmi ketakutan, dia ketakutan kehilangan harapan yang selama ini masih dengan erat digenggamnya. Harapan yang selama ini selalu dijadikannya pegangan untuk terus bertahan.
“Mas, aku tidak keberatan menerima.”
“Tidak Laksmi.” potong Puguh, tak bisa menahan senyum pahit. “Kau tidak mengerti apa yang kau katakan. Kau akan menyesal kelak.” tukasnya kemudian. Hatinya sakit menyaksikan harapan yang perlahan runtuh di mata gadis itu. Sepasang mata itu kini menatapnya hampa.
“Mas, tidakkah masih kau mencintaiku Mas?” rintih Laksmi putus asa.
“Semua itu sudah tidak lagi ada artinya Laksmi.” desah Puguh pedih, pandangannya tertunduk. Dia tak mampu menatap mata gadis di hadapannya. “Waktu akan membuatmu lupa akan rasa sakitmu saat ini. Waktu juga akan membuatmu mengerti keputusanku. Pulanglah Laksmi. Sampaikan maafku pada orang tuamu.” lanjut Puguh parau.
***
“Aku mencintaimu Laksmi, sangat mencintaimu. Karenanya aku ikhlas, aku rela melepasmu bahagia bersama orang lain. Aku tak mampu memberimu kebahagiaan dalam cinta, namun aku akan berjuang, untuk kedamaianmu, untuk kedamaian tanah air kita.” ucap Puguh dalam hatinya, memandang pedih kepergian Laksmi sore itu. Setetes air mata jatuh dari sudut matanya. Jatuh membasahi tanah yang masih akan terus diperjuangkannya. Tanah yang sejak kini akan terasa begitu sunyi.
Tuty Syahrani
01 Agustus, 2020
waaahhh…inspiratif, tp sedih
terlalu sedih
Terus semangat berkarya adikku
Terima kasih komentarnya. Terima kasih juga sudah meluangkan waktu untuk membaca ceritaku
Ceritanya bagus,semangat,terus berkarya adikku
Kereeen
Keren.. kali ini ending nya berbeda dari beberapa cerita yang saya baca.. terus berkarya.
Ceritanya keren
Wah cerita nya keren ☺
Sedih banget ceritanya. Bikin baper. Semangat terus berkarya.