Sistem Coblos lebih Aksesibel

Jakarta, Kartunet.com – Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengevaluasi system contreng pada Pemilu sebelumnya, dan akan mengembalikan pada system coblos. Komitmen tersebut disampaikan oleh Ketua KPU Husni Kamil Manik (21-11). Hal tersebut didasarkan pada fakta di Pemilu 2009 dimana jumlah suara tak sah naik menjadi 2 sampai 3 persen.


 


Setali tiga uang, system contreng atau memberikan tanda dengan spidol pada surat suara di Pemilu 2009 juga dinilai tidak cukup aksesibel bagi penyandang disabilitas. Hal tersebut diungkapkan oleh Pusat Pemilihan Umum Akses untuk Penyandang Disabilitas (PPUA Penca) dalam buku pedoman Pemilu yang terbit pada 2011. Sistem memilih yang berubah dari mencoblos menjadi menandai surat suara, tak cukup akses khususnya bagi tunanetra meski sudah ada alat bantu sekalipun.

Baca:  Tips hindari bully untuk penyandang tunanetra perempuan

 


Wijaya (23) seorang tunanetra yang sudah tiga kali mengikuti proses Pemilu juga menyatakan hal yang serupa. Ia lebih memilih system coblos daripada system mencontreng, karena bagi tunanetra hasil coblosan dapat diraba.


 


Bagi pemilih tunanetra, ada alat bantu berupa template Braille yang menunjukkan posisi gambar yang dapat dipilih. Dengan alat tusuk pada system coblos, tunanetra dapat melakukannya dan mengecek hasil pilihannya sendiri. Pada kertas, akan dapat diraba apakah coblosan sudah ada atau belum.


 


Sedangkan apabila mencontreng dengan alat tulis, tunanetra perlu dipastikan oleh orang awas apa betul hasil contrengan sudah ada. Tentu hal tersebut dapat mengurangi azas kerahasiaan yang seharusnya dimiliki juga oleh pemilih tunanetra.


 


Dalam beberapa kasus juga, ada sebagian tunanetra yang bahkan tidak pernah memegang alat tulis seperti spidol atau pulpen. Mereka yang kurang sosialisasi, dapat mengalami kesulitan untuk memberi tanda pada kertas suara. Apabila ingin tetap mempertahankan asaz kerahasiaan, maka risikonya adalah hasil coretan yang tidak sesuai, dan memperbesar peluang suara tidak sah.


 


Kembali digunakannya system coblos ini sudah diterapkan pada Pilkada DKI beberapa waktu yang lalu. Memang, faktanya tak banyak lagi Negara yang pakai system coblos dalam pemungutan suaranya, tapi hal tersebut dirasa masih cukup efisien bagi kondisi Indonesia yang belum merata. “Kendati kembali pada pola yang tradisional namun hal ini dilakukan untuk mengantisipasi suara yang hilang akibat kesalahan yang dilakukan oleh pemilih yang belum paham,” tambah Husni Kamil.


 


Diharapkan system ini dapat konsisten sehingga tetap aksesibel bagi penyandang disabilitas. Sebelum Negara ini mampu untuk menggunakan system elektronik, coblos kertas suara adalah yang paling cocok dan efisien. DPM

Baca:  Istana Masih Pertahankan Tradisi "Santuni" Difabel

Bagikan artikel ini
Dimas Prasetyo Muharam
Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

Articles: 313

Leave a Reply