Seulas Senyum Untukku

Tak ada rembulan di langit. Hanya suara katak berteriak di balik tanah yang basah. Lelaki itu menyeringai. Wajahnya tak kelihatan. Otot menyembul dari lengan dan dadanya. Tangan itu memegang tanganku. Menariknya ke atas kepalaku. Mengikatnya dengan seutas tali. Aku hanyalah kelinci di depan singa lapar. Mataku berkaca-kaca. Memohon iba. Tangan itu melucuti bajuku, menggerayangi tubuhku. Aku harus melarikan diri. Seketika keberanian muncul di pikiranku. Kutendang pria itu dan segera bangkit. Sekuat tenaga aku berlari. Tak peduli kakiku yang tergores tajamnya kerikil jalanan atau dinginnya bebatuan. Aku berlari menyeberang jalan tanpa kusadari sebuah  sinar putih membutakan mataku sejenak.

 

“Tidaak.” Aku berteriak. Nafasku tersenggal-senggal. Bajuku basah. Kuusap butiran bening di pelipisku. Mimpi itu lagi. Sampai kapan aku harus terus terbayang-bayang masa kelam itu? Kembali kubaringkan diri di ranjang. Mataku panas. Kurasakan ada sungai yang terbentuk di pipi. Tak jauh dariku, sebuah kursi roda menjadi saksi bisu atas kejadian saat itu.

 

***

 

 Penguasa alam menghangatkan pagi dengan sinarnya. Ayam berkokok menyambut pagi. Petani memanggul pacul ke sawah. Pasar sudah ramai dengan suara pedagang. Siswa-siswa mengayuh sepeda ke sekolah. Kendaraan berseliweran di jalan. Beginilah rutinitas pagi di Desa Sumber Tentrem tiap hari.

 

Aku memandang ke luar jendela kamar. Sebuah Bis Mini melintas di jalan. Bis itu mengangkut muda-mudi memakai jas. Sungguh, sebuah pemandangan yang jarang. Bis itu melaju pelan dan berhenti di depan rumahku. Siapa mereka? pikirku. Kulihat seorang pemuda turun dari bis itu. Tingginya kira-kira 178 cm, rambutnya jabrik, dan hidungnya mancung. Kulitnya putih. Tak kusangka Ayahku keluar dan menyambutnya dengan suka cita. Ayahku adalah kepala desa, jadi tidak heran bila banyak orang yang ditemuinya. Jadi dia tamu Ayah? Ya sudahlah, tidak ada hubungannya denganku.

Baca:  Arjuna Si Tukang Pulsa

 

Aku menyisir rambut. Kudengar suara Ayah memanggil. Kuarahkan kursi rodaku ke ruang tamu. Ternyata beliau ingin memperkenalkanku pada mereka. Sejenak pandanganku tertuju pada pemuda yang kulihat tadi. Dia tersenyum. Dasar lelaki, mengapa dia tersenyum? Mentang-mentang ganteng, seenaknya saja menggoda wanita. Pikirku. Aku cemberut dan segera berlalu.

 

***

 

Sejak pertemuan itu, aku jadi sering melihatmu. Ternyata dirimu adalah mahasiswa yang menyelenggarakan program KKN di sini. Sebagai anak dari kepala desa, aku sering melihatmu bertamu di rumahku. Aku bisa merasakan bahwa kau bukanlah orang yang jahat. Bahkan kau peduli padaku.

 

Beberapa hari yang lalu, aku menguping pembicaraanmu dengan Ayah. Kau bertanya tentang keluarga Ayahku, sebagai kepala desa. Barangkali sebagai basa-basi saja, aku tak tahu. Lalu, Ayah bercerita tentang diriku dan trauma yang kualami tepat ketika aku berlalu setelah menyajikan teh untukmu.

 

“Dia putriku satu-satunya. Barangkali, dia seusia denganmu. Sebelumnya, dia adalah gadis yang periang. Dia selalu tersenyum pada semua orang dan bertanya tentang kabar mereka. Sungguh, aku rindu masa-masa itu. Namun, semua berubah sejak kejadian itu. Kejadian yang nyaris merenggut kehormatan putriku. Apalagi dia harus kehilangan kedua kakinya selamanya. Sungguh malang nasib putriku. Andai aku bisa membunuh pria bejat itu, akan kulakukan.” Mata Ayah berkaca-kaca.

 

“Saya ikut berduka atas kondisi yang dialami putri Bapak. Kejadian seperti itu tentu mengguncangkan jiwanya. Saya pikir, trauma itu wajar. Hanya saja, dia harus bangkit untuk meninggalkan masa lalunya. Dia harus kembali untuk menjalani hidupnya dengan lebih baik.” Katamu.

 

Aku memegang dadaku yang tiba-tiba panas. Kata-katamu seperti bara di hatiku. Benar yang kamu katakan. Selama ini, aku hanya menangis dan menyesali takdir yang menimpaku. Aku mengurung diri di kamar, meninggalkan dunia. Aku mengabaikan kasih sayang orang tuaku dan mengabaikan mereka.

 

Semenjak itu, aku berusaha membuka diri. Membantu ibu di dapur atau mengobrol dengan Ayah. Kedua orang tuaku sangat senang melihat perubahanku. Ibu menangis sambil memelukku. Ayah mengundang tetangga untuk mengadakan syukuran. Syukuran untuk menyambut kedatanganku kembali.

 

Tak hanya itu, sikapmu yang hangat telah membantuku untuk melupakan kejadian  buruk itu. Kau memberiku semangat dan nasihat agar aku menjadi kuat. Kau juga tak enggan mendorong kursi rodaku dan membawaku berjalan-jalan. Seperti saat kita pulang dari pasar untuk membeli buah. Aku melihat ada preman dengan postur tubuh yang sangat mirip dengan lelaki jahanam itu. Badanku gemetar. Air mata meleleh ke pipiku. Aku kembali teringat bagaimana kejadian nista itu nyaris merenggut kehormatanku dan memakan kakiku sebagai tumbalnya. Aku terisak. Bahuku terguncang-guncang. Melihatku seperti itu, kamu menarikku ke sebuah tempat duduk di taman. Kau hanya diam sambil menungguiku menghabiskan kantong air mataku.

Baca:  Peristiwa Akhir Sekolah

 

“Kenapa kau menangis?” tanyamu.

 

“Aku melihat lelaki dengan postur tubuh yang mirip dengan lelaki jahanam itu. Aku takut. Aku nyaris diperkosa oleh orang semacam itu. aku bahkan harus kehilangan kedua kakiku.” kataku terisak.

 

Kau menghela nafas,

 

” Lemah sekali dirimu. Kau menangis karena hanya melihat pria yang mirip dengan pemerkosamu? Dengar, pria itu sudah mendapatkan imbalan dengan penjara seumur hidup. Kau tak perlu takut lagi. Ketakutanmu ini hanyalah jeruji yang membatasimu untuk kembali pada kehidupanmu yang sekarang.”

 

“Apa? Mudah sekali kau mengatakan itu padaku. Apa kau tidak tahu bagaimana rasanya saat pria itu melucuti bajuku. Kau tidak merasakannya bukan? Rasanya, aku adalah kelinci yang siap dimangsa. Aku bahkan harus bergantung selamanya pada kursi roda. Aku kehilangan masa muda. Tidak akan ada pria manapun yang mau menikahi wanita dengan disabilitas macam aku. Aku malu dengan tetangga. Aku malu dengan semua orang. Aku malu dengan diriku sendiri” Mataku berkaca-kaca.

 

“Aku paham. Tapi, yang harus kau lakukan sekarang adalah mengubur masa lalu itu dan memulai hidup yang baru. Hilangkanlah rasa rendah diri di hatimu. Mulailah bergaul dengan orang-orang yang mencintaimu. Keluargamu, tetangga, dan teman. Mereka semua merindukan kehadiranmu yang dulu. Aku bersumpah mereka tidak akan menghinamu. Mereka justru mengharapkan dirimu bangkit dan kembali seperti dulu. Aku yakin, mereka akan menghormatimu karena kau berhasil bangkit dari keterpurukan yang bahkan tak sanggup mereka bayangkan. Ingat, kejadian itu bukan salahmu. Dan kau masih suci sampai sekarang.” Katamu dengan sendu.

 

Aku terdiam. Kata-kata itu ibarat air es yang menyiram kemarau gersang di tenggorokan. Kamu benar. Selama ini, aku hanya terkungkung dengan imajinasiku sendiri, Aku mengabaikan kunjungan kerabatku yang menyemangatiku. Aku tak peduli dengan ajakan tetangga untuk hadir di pernikahan atau kegiatan lain. mengapa? Karena aku menganggap mereka hanya mengasihaniku. Memandangku sebelah mata karena aku adalah gadis dengan disabilitas. Namun aku salah. Itu semua adalah wujud dari dukungan mereka untukku.     

 

“Terimakasih.” Beban di pundakku hilang seketika. Nasihatnya telah membuka hatiku. Bibirku menyungging sebuah senyum. Kau pun tersenyum. Manis sekali. Deg, aku terkesima. Jantungku berdegup kencang padahal aku sedang duduk. Ahh, aku tidak tahu. Perasaan macam apa ini. Sungguh, hanya melihat senyummu seperti ini, hatiku sudah berbunga-bunga.

Baca:  ROMANSA DI PINGGIR SUNGAI

 

***

 

Aku membuka kalender. Entah kenapa, hatiku terasa sakit melihat tanggal yang tertera di situ. Sekarang adalah hari terakhir kau di sini. Hari ini, pengabdian KKN-mu sudah usai. Tapi, entah mengapa hatiku terasa sakit. Aku tak mau kau pergi. Aku tak mau kau meninggalkanku sendiri di sini.

 

Memori tentangmu berputar di kepalaku. Serasa ada film yang kulihat di mataku. Kebersamaan yang kita lewati, nasihatmu, dan senyummu. Benar, senyum itu. aku sungguh menyukainya. Terasa tulus dan hangat. Kebekuan dan kegelapan di hatiku terasa hilang. Kegelapan berganti terang. Hatiku berdegup kencang. Lagi? Oh Tuhan, perasaan macam apa ini? Rasanya, aku begitu ingin melihat senyummu kembali. Aku tak ingin kehilangan itu. Aku ingin kau berada di sampingku. Aku tak ingin senyum yang lain. hanya senyummu. Senyum itu menyadarkanku apa artinya kau bagiku. Aku mencintamu dan kau adalah cintaku. Cinta pertama dan terakhirku.

 

Aku tersadar. Benar aku mencintainya. Aku mendengar suara bis di depan rumah. Terdengar suara riuh rendah banyak orang. Ada suara Ayah mengucapkan selamat tinggal. Rombongan KKN itu pamit untuk kembali ke kota. Kau juga akan pergi bukan? Sebuah perasaan yang membuncah di dadaku. Aku harus mengatakan perasannku. Aku harus menemuinya. Semua kata-kata itu berseliweran di kepalaku. Tanpa pikir panjang, segera kuarahkan kursi rodaku ke sana.

 

Kamu mendekatiku. Mengajakku menjauh dari kerumunan itu. Hatiku diiris sembilu. Mungkinkah ini adalah pertemuan terakhirku denganmu?

 

“Aku akan pergi.” katamu.

 

“Aku tahu, hati-hati di jalan.” kataku. Kau tersenyum dan berjalan meninggalkanku. Tunggu, bukan ini yang ingin kukatakan padamu. Bodoh sekali aku.

 

“Tunggu. Sebelum kau pergi, aku ingin kau tahu sesuatu.” Ujarku.

 

“Apa yang ingin kau katakan?”

 

“Selama ini, kaulah yang membangkitkan aku untuk meninggalkan masa laluku. Kau memberiku nasihat dan menyemangatiku. Kau bahkan tak malu bergaul denganku meski dengan keterbatasan kondisiku. Kau juga selalu tersenyum padaku. Tak ada senyum yang membuatku seperti ini sebelumnya. Tak ada senyum lain yang bisa menggantikannya. Sekarang, aku tidak bisa bila kehilangan senyum itu. Jika sekarang kau harus pergi, aku tak bisa mencari senyum yang lain. Senyummu menyadarkanku kalau aku menyukaimu.”

 

Angin berhembus pelan. Rumput menari. Daun kering terbang dengan sayapnya. Kau tersenyum. Senyum yang berhasil mencandui hatiku. Senyum yang menyisakan sejuta kehangatan. Arti senyummu? Hanya aku yang tahu.

 

 

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Bagikan artikel ini
Hilmia Wardani
Hilmia Wardani
Articles: 1

Leave a Reply