Sepasang Sepatu

Siang ini udara begitu panas, matahari menampakkan wujudnya dengan begitu terangerangan pada seluruh belahan dunia. Ditambah polusi udara asap-asap kendaraan yang berhilir mudik dan membuat suasana kota terasa tidak sehat dan sangat bising. Namun semua itu tak membuat halangan pada bocah jangkung manis dan sedikit kucel itu terus melangkah serta mempercepat gerak kakinya, semangatnya terus di dorong hingga ia turun dari jalan raya menuju ke sebuah jembatan yang cukup besar.

“Assalamu’alaikum.” sapanya pada seorang yang berada di dalam rumah itu yang lebih patut disebut dengan ’gubuk bawah jembatan’, suara wanita separuh baya itu pun menyahut tak menampakkan diri

“Bu, Ridho pergi dulu ya…” katanya kemudian dan melesat keluar menuju Ruko Koran ditengah jalan

“Bang mana bagianku?”pintanya pada seorang laki-laki yang berusia sekitar 30-an setelah mengucapkan salam.

“Ini…tumben jam segini dah pulang “katanya mengulungkan tumpukkan Koran.

“Iya Alhamdulillah, Bang. Gurunya sedang rapat jadi muridnya di perbolehkan pulang “

jawab Ridho  sambil menghitung Koran yang di pegangnya

“Luar biasa kamu, Dho. Oh ya itu hanya 25 yang setengahnya ….Emh tadi ada seorang anak yang mungkin seumuran dengan kamu, dia baru tadi kesini dan minta pekerjaan sama Abang…. ya sudah karena Abang kasian padanya, Abang berikan setengah  koran bagianmu itu untuknya …gimana ? kamu tidak marah kan ?” jelas Bang Badri panjang lebar

“Oh ..nggak kok bang aku nggak marah ngapain juga marah? ya sudah aku pergi dulu ya, Bang ” katanya berlari menuju jalan raya yang sudah sangat ramai itu.

 “Ayo….Ibu..bapak …mas-mas.. mbak….adik….semuanya, mari beli Koran…Koran yang dapat mengisi pengetahuan anda…mari…mari….koran…Koran….”

Itulah kalimat yang setiap hari keluar dari mulut Ridho dikeramaian kota itu, meski hanya demikian namun ia menjalaninya dengan ikhlas dan penuh semangat. Sekarang yang ada dalam benaknya hanya satu yang ia inginkan yaitu mempunyai sepatu, selain itu juga ingin meringankan beban orang tuanya.

Baca:  Dua Puluh Satu Cahaya

Ibunya yang hanya menjadi pembuat ‘bakul’ dari anyaman bambu itu, hasilnya tidak seberapa sedangkan Bapaknya yang sebagai pemulung dan gali pasir juga hanya  dapat untuk memenuhi semua kebutuhan sehari-hari itu pun masih sangat menipis, kebutuhan sekolah Ridho pun yang kini sudah menempati bangku SLTP kelas 2 masih menghutang pada sekolahan. Ridho pun menyadari akan sulitnya kebutuhan ekonomi dalam keluarganya, dia pun berpikir tak mau terus-menerus mengalami permasalahan seperti keluarganya saat ini dan dia tidak mau terus menanggungkan bebannya pada kedua orang tuanya .Maka ia juga ikut serta bekerja keras untuk memenuhi segala kebutuhannya yang kini sebagai ‘loker koran’.

Sore tiba, matahari mulai menyembunyikan wujudnya diantara bukit-bukit semesta. Warna oranye alam telah menampak melukiskan kuasa tuhan yang sunguh amat besar. Ridho berjalan lelah menuju emperan sebuah took yang biasa tempat itu digunakannya untuk berteduh. Ia menyeka keringat di dahinya masih dengan 5 koran yang ada ditangannya. Tak jauh dari situ seorang pria tinggi, kurus, berjalan menuju kearah Ridho sambil tersenyum ria.

“Assalamu’alaikum…hai” sapanya tiba-tiba dengan ramah hingga mengagetkan Ridho.

“Eh..oh…astaga……..Wa’alaikum salam, mari……” kata Ridho gugup sambil mempersilakannya duduk.

“Aku Hamdani panggil saja aku Hamdan, kamu Ridho kan ? saya sudah tahu tentang kamu dari cerita Bang Badri tadi…..oh ya saya minta maaf telah mengambil jatah koranmu……….” Katanya dengan menatapku memelas

Sejenak Ridho  terdiam, teringat sesuatu

“Oh Hamdan, tidak apa-apa kok dengan masalah koran itu, saya sangat senang dapat berkenalan denganmu “ujar Ridho mantap

Akhirnya mereka pun terjun dalam banyak pembicaraan, Hamdan sangat terbuka pada Ridho demikian juga sebaliknya. Ternyata dulu dia sekolah lebih tua dari Ridho setahun, entah apa penyebabnya ia meninggalkan sekolah . mereka berdua pun menjadi sahabat, Ridho benar-benar bersyukur telah mendapatkan sahabat seorang Hamdan.

Tidak seperti di sekolah Ridho selalu dijadikan bahan ejekan teman-teman karena dia hanya memakai sandal jepit. dia telah banyak mendapat teguran dari para guru sekolanya , jadi menurut Ridho yang memang kenyataannya nggak ada teman yang nyata di sekolahnya seorang pun, kadang beberapa yang mendekat hanya karena ingin mencontek atau meminta penjelasan pelajaran pada Ridho, itu semua dihadapinya dengan sabar.

Seminggu sudah persahabatan antara Ridho dan Hamdan sangat harmonis, mereka saling dapat mengerti, memahami segala keadaan, saling men-support satu dengan yang lain, mereka pun selalu menyempatkan waktu untuk selalu bertemu walaupun hanya sekedar ngobrol. Bagi mereka sekarang, ‘tiada hari tanpa bertatap muka’. 

“Indahnya persahabatan…..kamu mau jadi teman serta sahabatku yang kubilang kau adalah sahabat sejatiku “ kata Hamdan penuh dengan kesyukuran

“Memang sangat indah, sekarang hidupku lebih berwarna setelah bertemu denganmu dan makasih banget kau mau bersahabat denganku, kita pasti akan selalu bersama, jangan tinggalin aku sendiri seperti dahulu lagi sebelum engkau ada” kata Ridho bahagia.

Ini memang sangat membahagiakan hingga Ridho tak dapat ucapkan apapun yang pantas untuk Hamdan, dia yang menerima Ridho apa adanya, Ridho sangat menyayanginya sebagai seorang sahabat.

Baca:  Badai Tak Kunjung Lalu

Hening saat itu tak ada kata yang terucap dari kedua sahabat itu, entah mengapa setelah Ridho mengucapkan kata-katanya itu Hamdan hanya diam memikirkan sesuatu.

“Sudah jam 07.30, aku pulang dulu ya” Ridho pun beranjak dari tempat duduk untuk segera menuju rumah, saat Ridho bejabat tangan dengannya tiba-tiba Hamdan menarik tubuh Ridho kedalam pelukannya, aku dapat merasakan detak jantungnya bergerak dengan cepat, tubuhnya hangat dan suaranya bergetar,

“Dho, teruslah bersemangat jangan sampai runtuh kamu harus bisa menggapai cita-citamu dan apa yang kamu inginkan…aku…aku berterima kasih padamu kau….kau mau mengisi hari-hari terakhirku” ia pun melepaskan pelukannya yang begitu erat.

“Maksudmu apa ….dengan tadi itu….?” Tanya Ridho bingung dengan apa yang diucapkan Hamdan, dia tak segera menjawab ia masih terdiam dan masih terus menatap Rdho dengan tatapan yang sulit dimengerti.

“Nggak….nggak ada apa-apa kok yang tadi itu…udah nggak usah dipikirin, katanya tadi kamu mau pulang. Oh iya, aku minta tolong sama kamu besok ini setelah pulang sekolah tolonng kamu temui aku di…si….ni.ya?kalau tidak ada di gubukku….”katanya dengan senyum yang di buatnya dan seperti menyembunyikan sesuatu, Ridho  hanya mengangguk tak mengerti.

Dalam perjalanan pulang, Ridho merasa takut, entah apa yang membuatnya takut akan kata-kata Hamdan  yang masih terngiang dalam pikirannya hingga sampai ia tak dapat tidur.

Akhirnya, bel pulang sekolah pun berbunyi. Ridho merasa senang sekali hari ini dapat pulang lagi, yang terus terpikir hanya Hamdan yang segera ingin ditemuinya. Ia merasa kangen padanya dari tadi, selalu teringat olehnya selain itu ia juga ingin menyampaikan kabar baik padanya bahwa Ridho mendapatkn kepercayaan dari guru matematika untuk mengikuti lomba minggu depan dengan syarat Ridho harus memakai sepatu.

‘Hemmmh dari mana dapat uang untuk membeli sepatu?’gumam Ridho dalam hati.

Ridho berjalan dengan semangatnya dan sedikit rasa cemas menyelundup dalam hatinya entah mencemaskan apa terus berlari. Sampailah Ridho ditempat yang sudah di janjikan Hamdan padanya, Ridho memanandangi sekitar tempat itu, suasana sepi tak ada orang lalu sedikit demi sedikit ia di baluti rasa takut yang luar biasa hingga jantung ini berdetak tak teratur.

‘ada apa ini?’ Ridho beranjak untuk menengok gubuk Hamdani seperti apa yang telah dijanjikannya, Ridho sempat melihat kerumunan orang di tengah jalan dan memutuskan untuk mencari tahu ada apa. semakin cepatlah jantung Ridho berdetak dan  ia melihat seorng anak berwajah pucat bercucuran darah tegeletak lemah. Ia adalah orang yang Ridho kenal,

“HAMDANI…………………….!!!!” kulihat wajahnya yang terakhir kali, lalu kemudian gelap.

Ku buka mata dan kulihat Bapak dan Ibu tersenyum sayu

“Bu,Pak dimana Hamdani?dimana?” tanya Ridho meronta.

“Maaf Nak, kau harus mengetahui ini Hamdani telah……telah meninggal dan…. Sudah dimakamkan anakku…” kata Ibu dengan sedih.

“Tidak Bu, itu…itu tidak mungkin, tidak!!!” Ridho berteriak tak percaya.

“Sabar, Dho. Semua sudah takdir Yang Kuasa telah mengatur semua ini, tenang sayang”

Baca:  The Sixth Sense

Setelah agak lama Ridho mulai tenang meski sakit mengalami kenyataan ini. Bagaimana tidak sedih, hampa ditinggal oleh sahabat satu-satunya jauh dan tak kembali. Dan ia pun baru saja menjalin persahabatan 1 minggu lebih, tapi…..mengapa semua ini hancur begitu saja..?

Hamdani temanku, sahabatku, kakakku,  Hamdani pencurah isi hatiku……pendengar setiaku……tapi kini…siapa lagi??      

Setelah Ridho di perbolehkan pulang dari puskesmas, ia langsung pergi ke gubuk Hamdani sebagai pesan terakhirnya, ia menemukan kantong plastik dan membukanya perlahan, terdapat sepatu hitam yang telah bolong-bolong dan kumal. Ridho senang,  tapi tetap ini semua tidak bisa menutupi kesedihannya. Ia menemukan selembar kertas dan terisi surat untuknya,

Untuk Ridho, sahabatku…

Hai sobat,apa kabar?mungkin kau sedih ya atas semua ini

Tapi inilah yang terjadi….kita tak dapat menghalangi rencana-Nya

Nggak apa kok sobat…insya’ Allah disana aku tentram

Doain aja…….

Ridho adikku,

Aku berterima kasih banget padamu

Kau mau menjalin hubungan akrab denganku

Tapi aku juga tak dapat berikan barang berharga

Dan emas untukmu….

Namun aku tulus jadi sahabatmu……

Ridho…meski aku tak ada di sampingmu lagi

Aku mohon kamu tidak patah semangat

Untuk semua …kamu harus semangat dan berjuang

Walau tak ada aku tapi, aku di dekatmu, aku mendukungmu….

Maka pakailah ini…..

Ya…..tak seberapa bagimu

Semoga ini bermanfaat untukmu…..

_Hamdan

Tetesan air mata membasahi pipi Ridho, rasa haru, sedih berbaur menjadi satu. Tapi kini semangat itu memasuki jiwanya, ia pun berjanji dalam hati, bahwa ia akan terus semangat dan berjuang demi cita-cita dan untuk memenuhi permintaan Hamdani.

“Aku juga sayang kamu Dan….” Kata Ridho lirih.

Esok hari,  Ridho telah bersiap untuk mengikuti lomba itu dengan penuh rasa percaya diri, baju telah disetrika Ibu dengan setrika arang, sepatu hitam itu telah dipersiapkan dengan begitu rapi. Kuberangkat dengan iringan do’a orang tua, Hamdani dan do’a-nya sendiri….

Lomba itupun telah usai, alhamdulillah sesuai dengan apa yang Ridho inginkan ia mendapatkan juara satu dengan mendapat trofi dan uang tunai Rp. 10.000.000.

Ridho pun langsung berziarah ke makam Hamdani, di atas batu nisan itu aku letakkan seikat bunga mawar,

“Lihatlah Hamdan, berkat kamu aku dapat semua ini, hidupku pun lebih baik, Hamdani jika engkau ada…pasti…..” Ridho tak dapat meneruskan kata-kata lagi.

Ridho berbalik berjalan terus hingga di tepi makam, ia merasa mendengar suara kata-kata Hamdani dekat sekali di telinganya

“Selamat sahabat” begitulah kata-katanya, Ridho merinding.

Tiba-tiba ia teringat akan nasihat Hamdani, 

“Dho kalau kamu besok punya rezeki itu manfaatkanlah, untuk memperbaiki yang kurang”

Ridho pun tersenyum dan bersemangat lagi. Kali ini dalam benaknya, ia ingin membeli rumah yang lebih layak ditempati dan berbagi rezki dangan teman-teman loker koran. Berkat sepasang sepatu yang tak bagus dan tak baru ini, telah ia dapatkan yang ia inginkan serta sedikit membantu perekonomian dalam keluarganya. Sepatu persahabatan ini akan selalu  disimpan, dan mengingat Hamdani dengan baik.                                                         

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Bagikan artikel ini
Sulastri Khanza
Sulastri Khanza
Articles: 2

Leave a Reply