Aneh, aku merasakan sesuatu yang bergemuruh dalam dadaku. Detak jantung yang lebih cepat dari keadaan normal. Apa yang sekarang kurasakan itu menandakan ketidakwajaran? Kurasa tidak. Ini adalah sebuah getaran yang dulu sering kurasakan, ia mengalir begitu saja saat aku menatap sepasang mata coklat miliknya. Binar mata yang bercahaya. Seakan-akan pancarannya menembus seluruh lapisan kulitku, perlahan merasuki tubuhku dan memompa jantungku. Aku tidak mampu berbuat apapun kecuali mengalir bersama gelombang auranya yang kemudian menghanyutkanku hingga aku terdampar pada cinta. Ya, aku telah jatuh cinta pada sepasang mata coklat itu.
“Ren,” suara Maya membawaku kembali ke dunia nyata.
Mataku menggambarkan rak-rak penuh buku, beberapa meja persegi yang tiap meja dikelilingi sepuluh kursi dan siswa berseragam abu-abu putih memadati sebuah ruangan berlabel perpustakaan. Aku tersenyum pada sosok gadis yang berjasa dalam perjalanan hidupku. Dia memberiku nyala lilin saat aku hampir tersesat dalam gelap oleh bujukan setan.
Tangan kecil Maya merebut kuat pisau dari genggamanku yang akan kugoreskan pada urat nadi. Maya menyelamatkan nyawaku. Perlahan, kehadirannya membantuku menghadapi kenyataan pahitnya hidup yang baru saja kualami – saat aku kehilangan seseorang. Maya selalu menaburkan benih-benih cinta hingga aku bisa tersenyum lagi seperti sekarang. Tapi selama bersama Maya, aku tidak menemukan perasaan apa-apa. Karena Maya tidak memiliki sepasang mata coklat.
"Rendra, antar aku ke kantin ya," kata Maya manja sambil menarik-narik bajuku.
Aku mengangguk pelan, lalu mengikuti langkahnya keluar perpustakaan. Begitu aku melewati meja dekat jendela – bersampingan dengan meja tunggu penjaga perpustakaan yang selalu terkantuk – aku sengaja memperlambat jalanku seraya menatap sepasang mata coklat yang terfokus pada lembaran koran edisi hari ini. Seperti ada yang memberitahu kalau aku sedang memerhatikannya, sepasang mata coklat itu menatapku.
Ah, hatiku berdesir. Ada perasaan aneh yang kembali bergemuruh dalam dada. Pancaran matanya yang begitu indah telah membiusku. Getaran itu kembali hadir setelah setahun yang lalu terkubur bersama kenangan. Lalu kenapa tiba-tiba aku merasakannya lagi? Kini, sorotan tajam sepasang mata coklat milik lelaki itu telah membuatku tidak berdaya.
* * *
Besoknya, jam istirahat aku sudah berada di antara rak-rak buku perpustakaan tanpa ada kepentingan untuk mencari buku. Hanya satu tujuanku. Di tempat aku berdiri sekarang, mataku dapat menangkap sepasang mata coklat itu walau hanya dari sela-sela buku.
Lelaki pemilik mata indah itu sedang membolak-balik halaman koran – mungkin mengetahui informasi terkini lewat lembaran koran sudah menjadi menu wajib baginya, kemudian membacanya dengan seksama setelah menemukan berita yang dianggapnya menarik. Serangkaian huruf yang terpantul dalam matanya seakan-akan menari indah merasakan kebahagiaan. Begitu juga dengan hatiku, sorotan matanya yang tajam namun terkesan teduh menenangkan jiwa dan pikiranku.
Ah, mungkin aku terlalu berlebihan, tapi jujur aku tak bisa mengungkiri perasaan ini. Betapa besar gejolak keinginanku untuk menatap matanya lebih dekat dan bertanya,
“Bagaimana kamu bisa memiliki sepasang mata coklat yang begitu indah?” Tapi angan tak harus diwujudkan, akan lebih baik jika aku mengurungnya.
Paling tidak aku tahu satu hal tentangnya, dia anak kelas dua, itupun kulihat dari badge warna kuning yang terpasang di lengan sebelah kanan pada seragam putihnya. Saat upacara bendera kemarin Kepala Sekolah mengumumkan ada lima siswa baru dari kelas dua, bisa dipastikan kalau dia adalah salah satunya.
Hampir sepuluh menit aku berdiri di sini. Belum ada jawaban pasti kecuali prasangka dan dugaan-dugaan tentang dia, tepatnya tentang sepasang mata coklat yang dimilikinya. Di pintu masuk perpustakaan terlihat Maya mengedarkan pandangannya. Maya pasti mencariku, pikirku. Sebelum aku keluar dari tempat mengintai dan melambaikan tanganku padanya, Maya sempat menyapa beberapa temannya kemudian duduk satu meja dengan lelaki bermata coklat itu. Maya mengenalnya.
Perlahan aku melangkahkan kakiku dan langsung duduk di samping Maya sambil memasang senyum termanis.
“Hai Maya,” sapaku.
“Rendra,” Maya sedikit kaget. “Aku tadi mencarimu di kelas, kok sudah ada di sini sih?”
Aku hanya memberikan senyum sebagai jawaban. Rasanya tidak mungkin jika aku mengatakan hal sebenarnya pada Maya tentang sepasang mata coklat milik sosok yang duduk di depan kami.
“Sudah kenal sama anak baru?” mata Maya melirik sosok yang sangat ingin kuketahui siapa sebenarnya dia.
Aku menatap sorot matanya.
Dia tersenyum dan mengulurkan tangannya. Setelah aku menjabatnya dia menyebutkan namanya, “Pandulu Baskoro. Panggil saja Bas.”
Saat itu juga pancaran cahaya matanya membuat dadaku bergemuruh. Aku merasakan kekuatan yang tak terlihat, secara tiba-tiba hatiku seperti merasakan sesuatu yang kemudian menyusup ke otak dan pikiranku. Dan secara perlahan menyeretku pada peristiwa satu tahun silam.
Lintang, nama gadis yang senantiasa membuat hatiku berdesir dan mempercepat detak jantungku. Sejak usia sepuluh tahun – saat keluarganya memutuskan pindah dan menjadi tetanggaku – aku sudah merasakan getaran yang aneh. Sepasang mata coklat milik Lintang tidak mampu menepiskan perasaanku yang baru kuketahui – setelah aku masuk SMP – bahwa itu yang namanya cinta. Sorot tajam matanya meneduhkan hatiku. Sesuai dengan namanya Lintang, dia ibarat bintang-bintang yang bersinar menemani gelap malam.
Aku masih ingat ketika kami dan teman-teman sekelas merayakan hari kelulusan SMP. Kami semua berteriak, meloncat dan berhamburan di lapangan basket dengan wajah gembira. Saat itu, Lintang memelukku dan berbisik lembut,
“Terimakasih Rendra, kamu selalu memberikan hari-hari terbaik dalam hidupku.”
Tapi Tuhan berkata lain. Pulang sekolah, sepeda motor yang kukendarai bersama Lintang mengalami kecelakaan. Lintang meninggal. Apa hari itu aku telah memberikan hari terbaik untuk Lintang?
Tidak kuat menahan kesedihan dan rasa bersalah atas kematian Lintang, ada bisikan yang menyuruhku untuk mengakhiri hidup. Aku mengambil sebilah pisau kecil diantara buah apel dalam piring. Sebelum ada darah yang menetes, Maya menyelamatkanku dari tindakan bodoh. Perlahan, Maya membantuku bangkit dan melupakan Lintang. Hingga aku bertemu lelaki bernama Bas yang mempunyai sepasang mata coklat seperti milik Lintang.
Aku menatap mata Bas dengan tajam. “Bagaimana kamu bisa memiliki sepasang mata coklat itu?” seperti tidak sadar aku melontarkan pertanyaan itu pada Bas.
Dia menjawab dengan kebingungan dan berusaha menarik tangannya dari jabatanku. Tapi aku tidak mau melepasnya, genggaman kuperkuat.
“Rendra, kamu ini kenapa?” Maya menarik tanganku dengan paksa hingga lepaslah genggamanku.
“Rendra,” teriak Maya, “kamu ini kenapa sih?”
Tiba-tiba aku sadar atas apa yang baru saja kulakukan. Tanpa sepatah kata pun aku berlari keluar perpustakaan meninggalkan Bas dan Maya. Aku terus berlari melintasi lorong-lorong kelas. Saat aku menatap mata coklat milik Bas, aku tidak mengerti kenapa aku merasakan kehadiran Lintang serta segala rasa rinduku seperti terobati. Lintang, aku tak sanggup melupakanmu… melupakan sepasang mata coklat bercahaya milikmu…
***
Editor: Putri Istiqomah Priyatna