Sebuah Apologia

Jakarta – Beberapa hari terakhir, kita disuguhkan berbagai berita kriminal yang sungguh mencengangkan. Seorang gay melakukan pembunuhan berantai mengingatkan kita pada sebuah kasus pembunuhan sadis “si jagal dari Jombang”.  Belum lagi kasus seorang anak kelas 6 SD melakukan penusukan membabi buta terhadap kawan sebayanya. Kasus-kasus tersebut menunjukkan masih banyaknya perilaku “menyimpang” di masyarakat kita. Pada kasus Mujianto misalnya, meskipun masih tersimpan misteri mengenai motif pembunuhannya, namun semua orang telah mengetahui bahwa pelaku  ternyata  adalah seorang gay yang tengah “terbakar cemburu”.

Baca:  Kurikulum Inklusif dengan Pendiferensiasian

 

Beberapa pakar psikolog menyatakan kasus-kasus  ini bisa terjadi karena kesalahan pola asuh sejak kecil. Seperti yang terjadi pada Rian (Si Jagal dari Jombang), ternyata sejak kecil ia sering mendapat perlakuan buruk dari orang tuanya. Perlakuan-perlakuan buruk itu membekas dan terekam di otak si anak sehingga menjadi “masukan” negatif untuknya. Anak merasa menjadi tidak dihargai, Perasaan tidak dihargai itu menumbuhkan sifat emosional dan tempramental yang kemudian mendorongnya melakukan hal-hal menyimpang.

 

Tahukah kita bahwa teman-teman kita yang  menyandang disabilitas kerap kali mengalami “perlakuan buruk”?

 

Sering sekali tersiar kabar keluarga sendiri mendiskriminasikan penyandang disabilitas. Ia dikurung di dalam kamar, tidak di sekolahkan, tak punya teman bermain, bahkan hanya untuk sekedar keluar rumah pun ia harus melalui sebuah “prosedur” yang dibuat oleh orangtuanya. Sementara saudara-saudaranya  yang lain bebas bermain, bersekolah dan bersosialisasi. Entah apakah itu dilakukan karena sayang atau karena  mereka malu  memiliki anak  penyandang disabilitas.

 

Sadarkah mereka bahwa perlakuan itu justru akan membawa dampak negatif terhadap kondisi kejiwaan anak itu sendiri? Bagaimana jika si anak nanti tumbuh besar dan bersosialisasi dengan lingkungan di sekitar mereka?

 

Sering terjadi di beberapa sekolah yang menerapkan sistem inklusi, anak yang  berkebutuhan khusus  tampak seperti “patung”, keberadaannya tak dirasakan.  Ia hanya sendiri di bangku atau sudut kelas, sementara yang lain bermain dengan asyiknya.  Jadilah ia anak yang pendiam,  tak pandai bergaul, dan tak punya teman. Tapi bila sedikit saja ada teman yang  mencoleknya,  ia langsung  mengamuk  sejadi- jadinya.

 

Tentu kita sangat tak mengharapkan semua akibat buruk itu terjadi. Berharap tak ingin saudara-saudara kita menjadi  manusia yang tumbuh dengan kepribadian  “aneh”. Oleh karena itu, semua pihak harus berubah. Bukan masanya lagi melakukan tindakan-tindakan “konyol” hanya karena mementingkan hawa nafsu dan kepentingan pribadi semata.(Satrio)

Baca:  Kursi Parlemen untuk Penyandang Disabilitas

Editor: Risma

Bagikan artikel ini
Satrio Budi Utomo
Satrio Budi Utomo

editorial staff of Kartunet.com

Articles: 22

Leave a Reply