“Bang beli kerupuknya!”
Aku segera menghampiri suara yang memanggilku,
“Beli berapa mas?”
“Satu aja bang. Ini uangnya.”
“Uangnya pas kan mas? Terima kasih” Pembeli itu tidak menjawab pertanyaanku, maka aku beranjak dari depan pagar rumah pembeli itu untuk melanjutkan berjualan kerupuk.
Baru sekitar 50 meter dari rumah pembeli tadi, ada seorang pembeli lagi yang memanggilku, dan aku pun berhenti kembali.
Saat aku sedang melayani pembeli tersebut, aku mendengar suara pembeli pertama tadi datang ke arahku sambil memaki.
“Bang! Kalau jualan yang jujur dong, jangan suka menipu orang, makan uang haram lo!.”
Mendengar perkataan itu aku pun turut emosi.
“Mas jangan sembarangan bicara, saya menipu apa. Sumpah demi Allah sampai sekarang saya belum pernah menipu orang.”
“Eh, jangan pakai sumpah-sumpah, bawa-bawa nama Tuhan lagi, buktinya sekarang abang sudah menipu saya. Dimana-mana penipu gak ada yang ngaku.”
“Mas, saya lahir dari keluarga yang baik, dan saya dididik dengan baik, saya juga mengerti agama, dan buat apa saya menipu.”
“Memang orang yang mengerti agama gak bisa menipu apa? Sudah jelas-jelas abang menipu saya, uang saya kan sepuluh ribu dan harusnya kembali llima ribu. Ayo sekarang kembalikan uang saya!”
“Kan saya tadi sudah bertanya apakah uangnya pas, tapi mas diam saja. Jangan-jangan mas yang mau menipu saya”
“Kurang ajar, Abang malah sekarang sekarang menuduh saya menipu. Kamu yang penipu!”
Aku yang mulai curiga dan sudah terpancing emosi oleh perkataan orang tersebut segera menghampiri orang tersebut dan memegang bajunya hendak memukulnya.
Saat kami sudah hendak bertukar pukulan, pembeli yang kedua memegangi kami sambil berkata
“Sabar mas, kalian sama-sama tunanetra, ini salah pengertian saja.”
Mendengar penjelasan dari pembeli kedua itu, kami terdiam dan menyadari kesalahan kami. Dan dengan bantuan pembeli kedua itu pula kami menyelesaikan permasalahan kami, yang sama-sama tidak tau uang yang tadi dibayarkan.