Pada kisah yang lalu teelah di ceritakan. Wiswamitra bersama kedua muridnya melanjutkan perjalanannya lagi pada dini hari dan siang harinya sampai ke suatu kawasan padang gurun. Istilah “gurun” itu sendiri nyaris tak mampu menggambarkan kegersangan wilayah itu. Di bawah sengatan matahari yang tanpa ampun, semua tanaman telah mengering dan berubah menjadi debu. Batu dan karang remuk menjadi serbuk pasir, yang membentang teramat luas, jauh sampai ke cakrawala. Di sini setiap jengkal tanah hangus, kering, dan luar biasa panas. Tanahnya retak-retak dan pecah, di mana-mana tampak lubang-lubang besar. Di sini tidak ada perbedaan antara pagi, siang, dan malam, karena mentari seakan tak pernah terbenam dan membakar tanah itu tanpa bergerak. Tulang belulang yang sudah memutih berserakan di tempat hewan-hewan mati, termasuk tulang belulang ular besar dengan rahang menganga karena kehausan; ke dalam rahang yang menganga lebar itulah gajah-gajah dengan putus asa bergegas (kata sang penyair) mencari tempat berteduh. Semuanya, ular maupun gajah, sudah mati dan menjadi fosil. Kabut panas membubung dan menghanguskan langit itu sendiri. Sementara melintasi tanah ini, Wiswamitra memperhatikan wajah kedua pemuda itu tertekan dan bingung, dan secara batiniah mengirimkan dua mantra (Bala dan Adi-Bala) kepada keduanya. Saat mereka memusatkan konsentrasi dan mengucapkan mantra-mantra tersebut, udara yang gersang berubah sepanjang sisa perjalanan mereka dan mereka merasa seakan tengah menyeberangi sebuah sungai yang sejuk dengan angin sepoi musim panas mengipasi wajah mereka. Rama, karena selalu ingin tahu tempat yang tengah ia lewati bertanya, “Mengapa tanah ini begitu mengerikan? Mengapa tanah ini seakan dikutuk?”
“Kau akan tahu jawabannya jika mau menyimak cerita ini—tentang seorang perempuan kejam, tak kenal belas kasihan, yang melahap dan mengunyah semua makhluk hidup, serta memiliki kekuatan seribu gajah gila.”
KISAH RATU TATAKA
Perempuan yang kumaksud adalah anak perempuan Suketha, seorang yaksa, makhluk setengah dewa yang amat kuat, tangguh dan suci. Perempuan itu cantik dan energinya luar biasa. Setelah dewasa ia menikah dengan seorang kepala suku bernama Sunda. Mereka mempunyai dua orang anak, Marica dan Subahu—yang dikaruniai kekuatan supraalami besar sekali di samping kekuatan jasmani mereka; dan dalam kecongkakan dan perilaku berlebihan, mereka merusak lingkungan mereka. Ayah mereka, senang melihat kedua putranya bersenda gurau dan terpengaruh suasana hati mereka, ikut serta dalam kegiatan mereka. Ia mencabuti pohon-pohon tua sampai ke akarnya lalu melemparkan seenaknya, yang membantai semua makhluk yang ia temui di jalan. Perusakan ini lalu diketahui oleh seorang cerdik cendekia agung, Agastya (seorang suci yang bertubuh kecil dan pendek. Sekelompok makhluk jahat pernah menyembunyikan diri di dasar laut, dan Indra minta tolong kepada Agastya untuk melacak mereka, yang lalu menghirup air laut itu). Pertapaan Agastya terletak di hutan ini, dan ketika melihat perusakan di sekelilingnya, ia mengutuk pelaku perbuatan ini dan Sunda langsung mati. Ketika mengetahui sang suami mati, istri dan kedua anak-anaknya bergegas menyerbu, sambil berteriak akan membalas dendam terhadap orang suci itu. Agastya menerima tantangan itu dengan mengutuk mereka. “Karena kalian adalah para perusak kehidupan, jadilah kalian asura dan tinggal di dunia bawah tanah..” (Sampai saat ini mereka masih makhluk setengah dewa. Sekarang mereka diturunkan derajatnya menjadi iblis). Ketiganya langsung mengalami transformasi; raut dan bentuk tubuh mereka jadi menakutkan, dan sifat-sifat mereka berubah menyesuaikan. Kedua anak lelaki itu pergi untuk berteman dengan raksasa-raksasa jahat. Ibu mereka ditinggal sendirian dan dia terus tinggal di sini, menghembuskan napas api dan mengutuk segala sesuatu. Tidak ada yang tumbuh subur di sini; hanya tinggal pasir dan hawa panas. Perempuan itu suka membakar apa saja. Ia membawa tombak trisula yang berpaku-paku; mengenakan gelang berupa seekor kobra melilit pada lengannya. Makhluk mengerikan ini bernama Ratu Tataka. Kalau sifat loba (jahat) sedikit saja bisa mengeringkan dan merusak seluruh kepribadian manusia, demikianlah kehadiran monster ini bisa mengubah satu kawasan yang dulunya subur menjadi gurun pasir. Dengan resah ia terus-menerus mengganggu para petapa yang tengah berdoa; ia mencaplok apa saja yang bergerak dan menelannya masuk ke perutnya.
* * *
Sambil menyentuh busur yang disandang pada bahunya, Rama bertanya, “Di mana kita bisa menemukan dia?”
Sebelum Wiswamitra bisa menjawab, perempuan itu sudah datang dengan didahului oleh gempa bumi dan angin ribut akibat langkahnya. Ia memandang dari atas mereka dengan mata memancarkan api, taringnya mencuat, bibirnya terbuka menampakkan mulut yang menganga bagai gua; dan alisnya berdenyut karena marah. Ia mengangkat trisulanya dan berteriak, “Di kerajaanku ini, aku sudah membasmi rahim kehidupan paling kecil dan kalian telah dikirim ke sini agar aku tidak kelaparan lagi.”
Rama termangu; meskipun mengerikan, perempuan itu tetap seorang perempuan. Bagaimana ia bisa mambunuh seorang perempuan itu? Karena membaca pikiran Rama, Wiswamitra berkata, “Kau sama sekali tidak boleh menganggapnya seorang perempuan. Monster semacam itu tidak patut ditoleransi. Kekuatan, kekejaman, penampilannya, tidak masuk golongan apa pun. Dewa Wisnu sendiri dulu membunuh Kyathi, istri Brigu, karena tidak mau menyerahkan asura-asura yang minta perlindungan kepadanya dan ia sembunyikan. Mandorai, seorang perempuan yang berusaha keras menghancurkan semua dunia, dimusnahkan oleh Batara Indra dan umat manusia patut berterima kasih kepada dewa itu. Ini hanya dua contoh saja. Seorang perempuan yang sifatnya jahat tidak pantas diperlakukan sebagai seorang perempuan. Tataka ini lebih mengerikan daripada Dewa Yama, dewa kematian, yang baru mengambil kehidupan kalau saatnya sudah tiba. Tetapi monster ini, begitu mencium bau makhluk hidup, bernafsu untuk membunuh dan memakannya. Jangan sekali-kali membayangkan dia sebagai seorang perempuan. Kau harus melenyapkan dia dari dunia ini. Itu tugasmu.”
Kata Rama, “Saya akan melaksanakan keinginan Guru.”
Tataka melemparkan trisulanya ke arah Rama. Sementara senjata itu melesat mendekat sambil mengeluarkan nyala api, Rama menarik busur dan melepaskan sebatang anak panah yang menghancurkan trisula itu sampai berkeping-keping. Salanjutnya Tataka meniupkan hujan batu untuk menggilas musuh-musuhnya. Rama membidikkan anak-anak panahnya ke atas yang lalu menaungi mereka dari serangan itu. Akhirnya anak panah Rama menembus tenggorokan Tataka dan mengakhiri hidupnya; hal itu juga menginisiasi misi hidup Rama untuk menghancurkan kejahatan dan kekejaman di dunia ini. Para dewa berkumpul di langit, mengungkapkan rasa lega serta gembira mereka dan memerintahkan Wiswamitra, “Oh ahli senjata yang pintar, berikan tanpa sisa semua pengetahuan dan kekuatanmu kepada anak lelaki ini. Ia seorang penyelamat.” Wiswamitra menaati perintah ini dan mengajari Rama semua teknik esoteris dalam persenjataan. Setelah itu dewa-dewi penguasa berbagai senjata, para astra, muncul menyerahkan diri di depan Rama dan menyatakan, “Sekarang kami milikmu; beri kami perintah siang atau malam.”
Waktu mereka tiba di sebuah hutan yang tertutup kabut di atas sebuah gunung, Wiswamitra menceritakan kisah lain.
KISAH MAHABALI
Ini tanah suci tempat Wisnu pernah duduk bertapa (meskipun Rama adalah Wisnu, inkarnasinya sebagai manusia membuat ia tidak menyadari identitasnya saat itu). Sementara Wisnu sedang asyik bertapa, Mahabali merebut dan menjajah kahyangan dan bumi. Ia merayakan kemenangannya dengan menyelenggarakan upacara yagna besar-besaran, dan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengundang dan memberi kehormatan kepada semua orang pintar. Semua dewa yang telah luka-luka dalam pertempuran melawan Mahabali datang bersama-sama ke tempat Wisnu sedang bertapa dan memohon agar Wisnu mau membantu merebut kembali kerajaan-kerajaan mereka. Untuk menjawab permintaan mereka, Wisnu lahir dalam suatu keluarga Brahmana sebagai orang kerdil; tubuh yang kecil ini padat dengan banyak sekali pengetahuan dan kekuatan. Mahabali langsung merasakan kehebatan orang kerdil yang muncul di gerbang istana tersebut dan menyambut tamu itu dengan ramah dan penuh rasa hormat.
Tamu itu berkata, “Aku sudah datang dari tempat yang amat jauh karena mendengar kehebatanmu. Aku punya ambisi dalam hidupku untuk bertemu sejenak dengan orang yang juga terkenal karena keberanian dan kemurahan hatinya. Sekarang, setelah bertemu denganmu, aku sudah memenuhi ambisi hidupku. Prestasi seperti yang kaucapai memang tidak bisa diukur. Manakala seorang malang seperti aku melihat sekilas kehebatanmu, sebagian dari itu merasukiku juga.”
“Oh, orang hebat, kau terlalu memujiku,” jawab Mahabali. “Bagaimanapun juga aku seorang prajurit dan penakluk—tak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan pengetahuan dan pencapaian khususmu. Aku tidak gampang terperdaya oleh penampilan. Aku tahu tentunya kau hebat sekali. Sudah tentu aku merasa bahagia jika kau mau menerima sebuah hadiah sebagai ganti kehormatan yang sudah diberikan dengan mengunjungiku.”
“Aku tidak menginginkan apa-apa, aku tidak membutuhkan hadiah lainnya kecuali keramahtamahanmu.”
“Tidak, kumohon jangan pergi, mintalah apa saja, sebutkan apa saja yang kauinginkan. Aku akan dengan senang hati memberikannya.”
“Jika dipaksa, baiklah, beri aku sebidang tanah.”
“Ya, pilih saja tempat yang kausukai.”
“Tidak lebih daripada yang bisa diukur dalam tiga langkah kakiku.”
Bali tertawa, sambil memandang Wisnu dari atas ke bawah, dan berkata, “Hanya itu?”
“Ya.”
“Sekarang aku akan…,” Mahabali mulai, tetapi sebelum kalimatnya selesai, gurunya, Sukacarya, menyela untuk memperingatkan, “Raja, jangan tergesa-gesa. Sosok kecil yang dilihat Paduka itu mengelabui; ia memang kecil sekali, tetapi mikrokosmos ini…”
“Oh, hentikan! Aku tahu tanggung jawabku. Memberi pada saat kita sanggup adalah saat yang tepat, dan tindakanmu mencegah pemberian hadiah itu tidak suci, tidak layak kaulakukan. Orang yang mementingkan diri sendiri tidak pernah lebih buruk daripada orang yang menghalangi tangan yang akan memberi. Jangan halangi aku,” katanya; dan menuangkan sedikit air dari sebuah bejana ke atas telapak tangan orang kerdil itu untuk menyegel janjinya (dalam beberapa tulisan disebutkan bahwa saat itu Sukacarya menjelma menjadi seekor lebah dan terbang masuk ke mulut bejana itu dengan tujuan mencegah keluarnya air sehingga janji itu tidak jadi tersegel. Si kerdil merasakan ini, mengambil sebatang rumput dharba yang tajam dan mencucukkannya ke mulut bejana untuk menyingkirkan penghalang dan rumput tersebut mencucuk mata Sukacarya, yang sejak itu jadi dikenal sebagai guru mata-satu). Sambil menuang air janji itu, Mahabali berkata kepada orang kerdil tersebut, “Sekarang ukurlah dan ambillah tanah tiga langkahmu itu.”
Pada saat itu menyentuh tangannya, orang kerdil tersebut, yang saat itu tubuhnya tampak lucu, bahkan bagi orangtuanya, menjelma menjadi luar biasa besar sampai merentang langit dan bumi. Dengan langkah pertama ia mengukur seluruh bumi, dengan langkah kedua ia mencakup langit. Tidak ada lagi ruang yang tersisa di seluruh alam semesta, dan ia bertanya kepada Mahabali, “Di mana aku bisa menaruh langkah yang ketiga?”
Mahabali sangat kagum, lalu berlutut, bersujud, dan berkata, “Di sini, di atas kepalaku, jika tidak ada lagi ruang yang tersisa.” Wisnu mengangkat kakinya, menaruhnya di atas kepala Mahabali, dan menekannya ke dunia bawah. “Kau boleh tinggal di situ,” katanya, dan dengan begitu ia menyingkirkan penyiksa tersebut dari dunia ini.
* * *
Setelah selesai bercerita, Wiswamitra menyatakan, “Untuk sementara, inilah akhir perjalanan kita. Di sini aku akan mengadakan upacara kurban di bawah perlindunganmu.”
Nah, bagaimanakah kisah selanjutnya? Apakah upacara kurban yang akan dilaksanakan Wiswamitra berjalan dengan lancar? Apa saja kah yang dilakukan Rama dan Laksmana untuk melindungi Upacara kurban tersebut? Silahkan ikuti terus kisah ini dalam seri berikutnya.
mantap kawan, dilanjut 🙂