Dalam hidupnya yang begitu sibuk, mungkin Dasarata tidak pernah meneliti cerminnya dengan baik. Beliau tidak sempat berlama-lama duduk di depan cermin dan mengamati dirinya sendiri dengan cermat atau melakukan introspeksi. Suatu hari, tiba-tiba beliau melihat rambutnya mulai memutih dan ada kerut di bawah matanya—memerhatikan tangannya yang agak gemetar, dan merasakan kakinya cepat letih ketika mengikuti permainan, dan menyadari bahwa usianya selama ini terus bertambah. Dan usianya sama sekali tidak sedikit. Penyair yang menulis syair asli Ramayana, Walmiki menyebutkan bahwa Dasarata berusia enam puluh ribu tahun! Pada zaman sekarang, mungkin kita tidak setuju lagi dengan angka itu, tapi sebut saja enam puluh, tujuh puluh, atau delapan puluh tahun; berapa saja asalkan menunjukkan usia matang.
Dalam kamarnya yang sepi, Dasarata berkata dalam hati, “Orang harus tahu kapan waktunya berhenti, dan tidak menunggu sampai pikun atau mati. Meskipun pancaindraku masih bagus, sebaiknya aku mengundurkan diri dan beristirahat. Sekarang rasanya tidak masuk akal melanjutkan dan mengulangi rangkaian yang sama dari kegiatan yang sudah kulakukan selama beberapa ribu tahun ini. Cukup, sudah cukup yang kulakukan. Kini aku harus menentukan saatnya untuk mundur dan meninggalkan beban pekerjaanku, cukup mengawasinya saja.”
Sang Raja sampai pada keputusan yang drastis. Beliau memanggil penjaga pintu, dan menyuruhnya mengawasi Sumantra, perdana menterinya saat itu juga. “Sebarkan pengumuman untuk semua pejabat dan penggawa, begawan dan orang bijaksana, semua raja, sekutu, dan rekan kita untuk berkumpul di pendapa istana. Usahakan sebanyak mungkin yang datang.”
Sumantra menunggu sementara beliau menambahkan, “Di antara rekan yang tidak perlu diberi tahu: Aswapati.” Aswapati adalah ayah dari istri Raja yang ketiga, Kekayi. Putranya, Barata, sedang mengunjugi kakeknya itu selama beberapa hari. “Juga tidak perlu merepotkan Raja Janaka. Mantili terlalu jauh, dan dia tidak akan bisa datang pada waktunya.”
“Ada lagi yang tidak perlu diundang?”
“Tidak. Undang sebanyak mungkin yang kau bisa, dan semua rakyat kita.” Utusan-utusan dikirimkan ke semua penjuru. Pendapa istana itu sudah penuh. Dasarata menaiki anak tangga dan duduk di atas singgasananya dan, setelah acara-acara resmi, memberi tanda kepada semua untuk duduk lagi, dan berbicara:
“Aku sudah cukup lama menjalankan tugas sebagai raja negeri ini. Sekarang rasanya aku sudah tidak kuat lagi, beban ini harus dipindahkan ke atas bahu yang lebih muda. Bagaimana pendapat kalian semua? Di bawah payung putih negeri kerajaan ini, tampaknya memang belum ada yang berubah—tapi sebenarnya tubuh di bawah payung ini sudah semakin tua. Aku sudah cukup lama hidup dan bekerja. Jika aku terus beranggapan harus tetap seperti itu tanpa ada akhirnya, berarti aku tamak. Kemarin lusa aku menyadari bahwa tanda tanganku pada suatu dokumen sudah tidak jelas. Tentunya tanpa kuketahui tanganku telah gemetar. Saatnya sudah tiba bagiku untuk duduk menyandar dan mengaso—dan mengharapkan lahirnya cucu-cucu. Jika kalian setuju, aku ingin menyerahkan kerajaan ini kepada Rama. Sudah seharusnya ia menjadi penerusku, perwujudan dari semua kesempurnaan. Ia sempurna dan akan menjadi penguasa yang sempurna. Dia punya rasa belas kasihan, rasa keadilan, dan keberanian, dan dia tidak membeda-bedakan umat manusia—tua atau muda, petani atau pangeran; dia memberi perhatian yang sama kepada setiap orang. Dalam hal keberanian, keteguhan hati, dan semua sifat—tidak ada yang menyamainya. Dia akan menjadi pelindung yang terbaik dari semua kekuatan jahat, entah itu manusia, atau yang lebih rendah atau yang lebih tinggi derajatnya dari manusia. Astranya, yang ia peroleh dari gurunya Wiswamitra, belum pernah terdengar tidak memancar… Kuharap aku akan mendapatkan dukungan kalian untuk segera menobatkan Rama menjadi Raja Kosala.”
Sorak sorai gembira muncul dari seluruh hadirin. Dasarata menunggu sampai sorak sorai itu reda dan bertanya, “Aku melihat kalian semua bersemangat untuk menyambut penerusku. Apa aku boleh menyimpulkan bahwa itu karena selama bertahun-tahun ini, diam-diam kalian sudah tidak memercayaiku lagi entah dengan alasan apa, meskipun aku mengira telah membaktikan hidupku sepenuhnya demi kesejahteraan rakyatku?”
Seorang juru bicara berdiri dan menjelaskan, “Jangan salahpaham, Yang Mulia. Justru kecintaan kami terhadap Rama yang membuat kami sekarang begitu bahagia. Kami sudah lama menantikan saat ini. Melihat Rama mengendarai gajah kerajaan dengan hiasan lengkap menyusuri jalan-jalan ibu kota kita adalah bayangan masa depan yang kami dambakan, tua maupun muda, karena kami hanyut dalam kemegahan kepribadian Rama. Harapan itulah yang membuat kami menyambut usul Yang Mulia dengan sepenuh hati, bukan karena kami tidak ingin terus diperintah oleh Yang Mulia.”
Kata Dasarata, “Aku setuju dengan kalian. Aku hanya ingin melihat apakah kalian dengan sepenuh hati, sama sekali tanpa ragu, menyetujui keinginanku mengangkat Rama sebagai raja kalian. Aku berkehendak bahwa esok hari, saat bintang Pusya mendekat rembulan, dan pada saat yang bertuah, Rama akan dimahkotai.”
Sang Raja memanggil menteri dan pendetanya, “Siapkan segala sesuatunya, setiap hal yang kecil-kecil, untuk upacara penobatan besok. Hias bangsal penobatan itu seindah mungkin dan siapkan segala hal di sana. Suruh semua jalan disiram, dibersihkan dan dihias. Rakyat boleh berpesta, bermain, dan bersukaria sepuas hati mereka. Atur supaya hidangan disajikan terus-menerus di setiap sudut kota ini…”
Lalu beliau memanggil Rama dan mengamati kedatangan putranya itu dari balkonnya, menyambutnya dengan mesra, mengajaknya duduk, dan berkata, “Besok, kau akan dinobatkan sebagai penggantiku. Aku harus istirahat dari kerja.”
Rama menerima usulan tersebut dengan amat tenang. Dasarata melanjutkan, “Kau tahu segala sesuatu, tetapi aku masih wajib mengucapkan beberapa patah kata. Kau harus menjalankan kebijakan yang sepenuhnya adil dalam keadaan apa saja. Rendah hati dan bicara lembut –kebijakan ini tidak boleh ada batasnya. Dalam hati seorang raja tidak mungkin ada tempat untuk nafsu, amarah atau kejahatan.” Dasarata terus berbicara selama beberapa waktu dan menutup pertemuan itu. Waktu Rama tengah menjelaskan situasi itu kepada Sita di istananya sendiri, Sumantra mengetuk pintunya lagi.
“Paduka diminta menghadap Ayahanda Raja.”
“Lagi? Aku baru saja kembali dari sana.”
“Beliau sudah tahu, tapi ingin Paduka menghadap lagi.”
Waktu Rama menghadap, Dasarata menyuruhnya duduk dan berkata, “Kau tentu heran karena dipanggil lagi. Aku dicengkeram oleh kecemasan bahwa penobatanmu tidak boleh ditunda-tunda lagi. Aku mendapat firasat yang mengerikan. Aku bermimpi tentang komet-komet, mendengar jeritan ngeri entah dari mana. Kata orang, kedekatan bintangku dengan rembulan kurang baik. Aku bermimpi bahwa bintang kelahiranku bertabrakan dan terbakar. Agar seseorang memperoleh kelahiran yang layak, dia berutang budi kepada doa syukur para resi yang abadi, kepada nenek moyangnya, dan kepada para dewa. Ketiga utang budi ini harus sepenuhnya dilunasi selama rentang waktu yang sudah ditentukan untuk hidupnya. Aku tidak ragu bahwa sekarang utangku sudah kubayar penuh. Aku sudah menikmati hidupku, aku sudah memerintah sebagai raja dengan wewenang amat besar, dicintai dan dipercaya oleh rakyatku. Sudah tidak ada lagi yang perlu kukerjakan sekarang. Aku sudah tua, tubuh jasmaniahku sudah siap untuk hancur…”
Ini semua sudah dikatakan Dasarata sebelumnya dan sekarang diulanginya lagi. Rama paham bahwa hati ayahnya tentu amat gundah. Tetapi, dengan anggun dan hormat, sekali lagi Rama mendengarkan sekali lagi semua itu seakan baru pertama kali mendengarkannya. “Bintang-bintangku, Mars dan Yupiter, memengaruhi rumah yang sama, begitu kata ahli perbintanganku, yang berarti kematian atau hampir mati, atau suatu malapetaka. Karena itu, aku ingin mengingatkan kamu akan gawatnya masalah itu. Besok bintangnya adalah Pusya, dan uapacara itu harus dilaksanakan, tanpa keraguan atau halangan. Jangan sampai kita mengira ada hal yang bisa ditunda. Tidak ada yang bisa ditangguhkan, karena kita tidak bisa memastikan betapa rentannya pikiran manusia, begitu mudah berubah-ubah, dan perubahan apa yang akan muncul sebagai akibatnya… Oleh sebab itu, yang penting kita harus melaksanakan upacara itu tanpa ragu-ragu. Aku ingin kau amat berhati-hati malam ini, sampai upacara itu selesai. Jangan keluar tanpa pengawal, dan taati semua aturan serta sumpah sampai huruf terakhir. Kau sendiri dan Sita harus melakukan mandi ritual, lalu meninggalkan tempat tidur kalian dan tidur sebentar di atas rumput tikar dharba… Upacara itu akan dimulai saat fajar merekah. Bersiaplah, dan periksa apakah jubahmu sudah siap. Kau harus berpuasa malam ini. Peringatkan Sita untuk tidak terlambat. Dalam suatu upacara, amat penting kalau istri ikut serta dan hadir tepat waktu…”
Rama mendengarkan, dalam hati berjanji akan melaksanakan dengan taat setiap kata dari petunjuk ayahnya. Akhirnya Dasarata menjelaskan, “Kiranya yang terbaik adalah menyelesaikan semua ini sementara Barata pergi menengok kakeknya. Kukira lebih baik kalau dia tidak ada. Aku tahu dia mengasihimu, tetapi pikiran manusia, kau tahu, bisa berubah… Bagaimanapun juga… bisa saja dia menanyakan kenapa bukan dia yang jadi raja. Tetapi kalau ternyata itu sudah menjadi fakta, aku yakin dia akan sangat bahagia.”
Rama agak kaget melihat ayahnya bingung, tetapi meski bisa merasakan, Rama tidak menunjukkannya.
Kecemasan di balik pikiran Dasarata tentang tuntutan Barata ternyata memang beralasan. Meskipun sedang tidak berada di rumah, alasan dan tuntutan Barata diungkapkan dengan penuh semangat oleh ibunya, Kekayi, sehingga menimbulkan malapetaka dan mengubah seluruh jalannya peristiwa dalam kehidupan Rama. Ceritanya begini, Kuni, seorang bongkok berwajah aneh (dan diberi nama begitu karena kerdil), adalah abdi kesayangan istri kinasih Raja, Kekayi. Pada hari penting itu ia naik ke teras tertinggi istana Kekayi untuk melihat-lihat pemandangan kota, dan ia melihat ada banyak hiasan serta lampu, lalu bertanya dalam hati, “Mau merayakan apa mereka?”
Sesudah turun, bertanya-tanya, dan mengetahui alasan perayaan itu, Kuni jadi naik darah, menggigit bibirnya, dan bergumam, “Aku akan menghentikannya.” Ia bergegas ke kamar Kekayi dan memarahi majikannya, yang sedang mengaso, “Apa ini saatnya tidur? Bangun sebelum Paduka Ratu hancur.” Kekayi membuka matanya dan menjerit, “Ah kau! Dari mana saja kau? Apa yang membuatmu marah-marah?”
“Nasib Paduka di masa mendatang,” jawab Kuni.
Kekayi jadi ingin tahu, tapi sambil tetap berbaring dia berkata, “Kuni, sepertinya kau kurang sehat. Sebaiknya panggil tabib dan minta obat agar kau sehat kembali.” Kekayi tertawa dan berkata, “Nah, sekarang tenang dulu, duduk sini di dekatku, dan nyanyikan sebuah lagu.”
Nah, bagaimanakah kisah selanjutnya? Hasutan apakah yang akan di katakan oleh Kuni kepada Kekayi agar ibu Ratu itu percaya padanya?
Apakah yang akan dialami Rama nanti?
Ikutilah Ramayana dalam seri berikutnya. Sampai jumpa.