Pendapa Istana yang baru, kebanggan mutakhir Dasarata, sepanjang hari dipenuhi pejabat, duta kerajaan, dan rakyat yang datang menghadap untuk mengajukan protes atau mohon keadilan. Sang Raja selalu mau menerima, dan memenuhi kewajibannya sebagai penguasa Kosala tanpa mengeluhkan waktu yang habis untuk melayani masyarakat.
Suatu petang, pembawa pesan dari pintu gerbang masuk berlari-lari dan mengumumkan, “Begawan Wiswamitra.” Begitu mendengar pesan itu, Raja bangkit dan bergegas keluar menemui tamunya. Wiswamitra, dulunya seorang raja, seorang penakluk, dan sebuah nama yang ditakuti sebelum ia melepaskan perannya sebagai raja dan memilih jadi begawan (yang ia capai melalui tapa yang keras). Dalam dirinya terangkai kemuliaan seorang begawan dan otoritas seorang raja dengan temperamen yang mudah marah dan penuh percaya diri. Dasarata mengantarnya ke tempat duduk yang pantas dan berkata, “Ini hari yang penuh berkah bagi kami karena Guru sudi mengunjungi kami. Guru tentunya datang dari jauh. Apa Guru ingin beristirahat dahulu?”
“Tidak usah,” jawab begawan itu pendek. Ia sudah sepenuhnya menguasai kebutuhan jasmaninya melalui tapa dan disiplin, dan sudah tidak terpengaruh oleh panas, dingin, lapar, letih, dan bahkan kelemahan tubuh yang sudah tua. Kemudian, Raja bertanya dengan sopan, “Ada yang bisa saya bantu, Guru?” Wiswamitra menatap Raja dengan tajam dan menjawab, “Ya, aku datang ke sini untuk minta tolong kepada Paduka. Aku berharap bisa menyelenggarakan, sebelum bulan purnama berikut, sesaji yagna di Sidhasrama. Sudah tentu Paduka tahu di mana itu?”
“Aku sudah banyak kali melewati tanah suci di depan Sungai Gangga itu.”
Tukas sang Begawan, “Tetapi ada makhluk-makhluk berkeliaran mencari-cari kesempatan untuk mengganggu setiap upacara suci di sana, makhluk-makhluk yang harus diatasi dengan cara yang sama seperti kita memerangi panca kejahatan dalam diri sendiri sebelum orang dapat mewujudkan kesucian. Makhluk-makhluk jahat itu memiliki kekuatan merusak yang tak terhingga besarnya. Tetapi merupakan kewajiban kita untuk mencapai tujuan kita tanpa terganggu. Aku mengusulkan diadakan sesaji yagna guna memperteguh kekuatan baik di dunia ini, dan menyenangkan dewa-dewa di atas.”
“Adalah tugasku untuk melindungi upaya suci Sang Begawan. Mohon diberi tahu, kapan, dan aku akan datang.”
Kata begawan itu, “Tidak perlu Paduka sendiri yang hadir. Suruhlah putra Paduka, Rama, ikut aku, dan ia akan membantuku. Dia bisa.”
“Rama!” seru Raja keheranan. “Padahal aku sendiri bersedia membantu Guru.”
Wiswamitra sudah mulai jengkel. “Aku tahu kehebatan Paduka,” katanya menukas kata-kata Raja. “Tetapi aku menginginkan Rama ikut aku. Jika Paduka tidak mengijinkan, terus terang saja.”
Suasana tiba-tiba menjadi tegang. Para hadirin, menteri dan pejabat, mengamati dengan diam. Sang Raja tampak sedih. “Rama masih kanak-kanak, masih belajar seni perang dan latihan menggunakan senjata.” Kalimatnya seolah tidak akan pernah selesai, makin lama makin lemah sementara beliau berusaha menjelaskan. “Ia masih anak-anak, anak kecil, masih terlalu muda dan lemah untuk melawan raksasa.”
“Tetapi aku kenal Rama,” hanya itu jawab Wiswamitra.
“Aku bisa mengirimkan satu pasukan, atau aku sendiri memimpin satu pasukan untuk menjaga upacara itu. Apa yang bisa dilakukan seorang bocah seperti Rama melawan para raksasa yang mengerikan itu…? Aku akan membantu Sang Begawan persis seperti yang pernah kulakukan untuk Batara Indra waktu ia dipermalukan dan dibuang dari kerajaannya.”
Wiswamitra tidak mengacuhkan kata-kata Raja itu dan bangkit untuk pergi. “Jika Paduka tidak mengizinkan Rama, aku tidak membutuhkan orang lain.” Begawan itu mulai berjalan keluar.
Sang Raja terpana sampai tidak bisa bergerak. Waktu Wiswamitra sudah setengah jalan, Raja menyadari bahwa tamu itu pergi begitu saja tanpa resmi berpamitan; dan mereka bahkan tidak menunjukkan keramahan dengan mengawal tamu itu sampai ke pintu. Wasista, pendeta dan penasihat Raja, berbisik kepada Dasarata, “Susul dia dan minta dia kembali,” dan bergegas maju sebelum Raja itu bisa memahami apa yang dikatakan si pendeta. Wasista hampir berlari karena Wiswamitra sudah sampai ke ujung ruangan itu, dan sambil menghalangi jalannya sang Begawan, berkata, “Raja sebentar lagi menyusul; kumohon jangan pergi. Beliau tidak bermaksud…”
Senyum tipis tampak pada wajah Wiswamitra saat ia berbicara tanpa nada getir, “Mengapa kau atau siapa pun jadi bingung? Aku datang ke sini untuk suatu tujuan; tujuan itu sudah gagal; tujuan itu sudah gagal; tidak ada alasan untuk tinggal berlama-lama di sini.”
“Yang Mulia, Anda sendiri pernah jadi raja.”
“Lalu apa hubungannya dengan kita sekarang?” tanya Wiswamitra, agak jengkel, karena ia membenci semua acuan kepada masa lalunya yang sekuler dan selalu ingin dikenal sebagai seorang Brahma Rishi.
Wasista menjawab dengan lembut. “Sekadar mengingatkan Sang Begawan perasaan seorang manusia biasa, terutama seorang manusia seperti Dasarata yang sudah lama tidak berputra dan harus tekun berdoa agar…”
“Yah, mungkin begitu, pendeta suci; aku tetap mengatakan bahwa aku datang untuk suatu misi dan minta pamit, karena misi itu sudah gagal.”
“Belum gagal,” kata Wasista, dan tepat pada waktu itu Raja menyusul untuk bergabung dengan mereka; para hadirin berdiri.
Dasarata membungkuk dalam-dalam dan berkata, “Mohon duduk kembali, Yang Tersuci.”
“Dengan tujuan apa, Yang Mulia?” tanya Wiswamitra.
“Lebih mudah bicara sambil duduk…”
“Aku tidak yakin akan ada pembicaraan,” kata Wiswamitra, tetapi Wasista memohon dan membujuk sampai Begawan itu kembali ke tempat duduknya.
Setelah mereka duduk lagi, Wasista berkata kepada Raja: “Pasti ada tujuan suci yang akan berkarya melalui petapa suci ini, yang mungkin tahu tapi tidak bersedia menjelaskannya. Adalah suatu kehormatan bahwa Rama yang dicari. Jangan menghalangi jalannya. Biarkan dia ikut petapa ini.”
“Kapan, oh, kapan?” tanya Raja ingin tahu.
“Sekarang,” kata Wiswamitra. Sang Raja tampak sedih dan putus asa, membuat petapa itu jadi kasihan dan mengucapkan kata-kata penghibur. “Paduka tidak bisa berharap secara jasmaniah selalu dekat dengan seseorang yang Paduka cintai, sepanjang waktu. Sebutir benih yang bertunas di bawah kaki pohon induknya tetap berada di situ sampai ia dipindahkan, Rama akan berada di bawah perlindunganku, dan ia tidak akan kurang suatu apa. Tetapi pada akhirnya, ia juga akan meninggalkan aku. Setiap manusia, kalau sudah tiba saatnya, harus pergi dan mewujudkan potensi masing-masing dengan caranya sendiri.”
“Sidhasrama itu jauh sekali…,” Raja mulai bicara.
“Aku akan memudahkan jalan untuknya, kami tidak perlu diantar dengan kereta ke sana,” kata Wiswamitra, membaca pikiran sang Raja.
“Rama belum pernah berpisah dari adiknya Laksmana. Apa dia juga boleh ikut?” mohon Raja, dan beliau tampak lega waktu mendengar Wiswamitra berkata, “Ya, dan aku akan menjaga mereka berdua, meskipun misi mereka adalah menjagaku. Suruh mereka berkemas untuk ikut aku; biarkan mereka memilih senjata kesukaan mereka dan bersiap untuk berangkat.”
Dasarata, dengan pandangan seakan hendak menyerahkan sandera ke tangan seorang musuh, menoleh kepada menterinya dan berkata, “Panggil putra-putraku.”
Sambil mengikuti langkah guru mereka, Wiswamitra, bagaikan bayang-bayang, Rama dan Laksmana melewati perbatasan ibu kota itu dan sampai ke Sungai Sarayu, yang merupakan batas sebelah utara. Waktu malam tiba, mereka beristirahat di sebuah hutan kecil yang ditumbuhi banyak pohon dan subuh harinya mereka menyeberangi sungai itu. Ketika matahari muncul di atas puncak gunung, mereka sampai ke sebuah hutan kecil yang menyenangkan, di atasnya bergantung, laksana kanopi, asap wangi dari banyak sekali api sesaji. Wiswamitra menjelaskan kepada Rama, “Ini tempat Dewa Syiwa bermeditasi pada zaman dahulu kala dan menghancurkan dewa asmara sampai menjadi debu ketika dewa tersebut berusaha mengganggu tapanya. sejak zaman dahulu kala orang-orang suci pengikut Syiwa datang ke sini untuk mempersembahkan kurban mereka, dan gumpalan asap yang kaulihat berasal dari api upacara kurban mereka.”
Sekelompok petapa muncul dari tempat pengasingan mereka, menerima Wiswamitra, dan mengundangnya beserta kedua muridnya untuk menginap di tempat mereka malam itu. Wiswamitra melanjutkan perjalanannya lagi pada dini hari dan siang harinya sampai ke suatu kawasan padang gurun. Istilah “gurun” itu sendiri nyaris tak mampu menggambarkan kegersangan wilayah itu. Di bawah sengatan matahari yang tanpa ampun, semua tanaman telah mengering dan berubah menjadi debu. Batu dan karang remuk menjadi serbuk pasir, yang membentang teramat luas, jauh sampai ke cakrawala. Di sini setiap jengkal tanah hangus, kering, dan luar biasa panas. Tanahnya retak-retak dan pecah, di mana-mana tampak lubang-lubang besar. Di sini tidak ada perbedaan antara pagi, siang, dan malam, karena mentari seakan tak pernah terbenam dan membakar tanah itu tanpa bergerak. Tulang belulang yang sudah memutih berserakan di tempat hewan-hewan mati, termasuk tulang belulang ular besar dengan rahang menganga karena kehausan; ke dalam rahang yang menganga lebar itulah gajah-gajah dengan putus asa bergegas (kata sang penyair) mencari tempat berteduh. Semuanya, ular maupun gajah, sudah mati dan menjadi fosil. Kabut panas membubung dan menghanguskan langit itu sendiri. Sementara melintasi tanah ini, Wiswamitra memperhatikan wajah kedua pemuda itu tertekan dan bingung, dan secara batiniah mengirimkan dua mantra (Bala dan Adi-Bala) kepada keduanya. Saat mereka memusatkan konsentrasi dan mengucapkan mantra-mantra tersebut, udara yang gersang berubah sepanjang sisa perjalanan mereka dan mereka merasa seakan tengah menyeberangi sebuah sungai yang sejuk dengan angin sepoi musim panas mengipasi wajah mereka. Rama, karena selalu ingin tahu tempat yang tengah ia lewati bertanya, “Mengapa tanah ini begitu mengerikan? Mengapa tanah ini seakan dikutuk?”
Apakah jawab B Wiswamitra atas pertanyaan Rama?
Apa kah lagi rintangan yang akan mereka hadapi?
Silahkan ikuti terus lanjutannya.
***
dalam setiap hal, bagian yang tersulit adalah ketika harus memulainya.