Di dalam jeruji besi
Kutulis setiap sajak dari sang Pujangga yang mengilhami hati,
Memadukan setiap rasa di atas aksara yang bertaburan
Kilaunya bersinar di atas kertas putih tak ternoda.
Di dalam jeruji besi
Kugenggam pena dengan bulir putih di pipi,
Menggoreskan setiap kepedihan dalam tinta yang berceceran
Hanya tangan ini yang mampu ungkapkan segala luka.
Di dalam jeruji besi
Kulimpahkan genangan duka menjadi percikan kata-kata,
Tumpah ruah di atas lembaran asa yang tak berakhir
Ialah sang saksi bisu dari jeritan hati yang lantang menembus langit.
Di dalam jeruji besi
Kusampaikan sejuta perihnya luka yang bertandang dalam kalbu,
Membisikan setiap lara kepada dinding yang membisu
Namun ia masih tak berpintu dan tak berkaca.
Di dalam jeruji besi
Tempat aku mengasuh rasa yang kian menyiksa,
Di antara derai air mata rindu yang jatuh berguguran
Isakku pilu meminta cinta yang akan terungkap.
Di dalam jeruji besi
Kuminta dengan segenap harap kebebasan dalam meluapkan rasa,
Pada hati yang kupilih, pada jiwa yang ingin kurengkuh
Aku ingin membawanya terbang dalam alunan melodi cinta terindah.
Di dalam jeruji besi
Kusenandungkan lirih lagu cinta yang dibalut sepi,
Bergaung di antara kekosongan ruang hampa
Walau dinding buta itu telah menyampaikan padanya.
Di dalam jeruji besi
Kupukul cinta dengan palu godam agar ia tersingkir,
Tapi dia masih terpaut dalam kalbu
Enggan untuk pergi dan masih terus membunuhku.
Di dalam jeruji besi
Kucoba menghancurkan akar tempat cinta itu tumbuh,
Namun tunasnya selalu mendahului tanganku yang bukan tukang kebun
Menumbuhkan setitik rasa baru walau aku tak mau.
Di dalam jeruji besi,
Kuteriakan setiap tangis kesengsaraan,
Dari cinta yang membuat diriku gila
Karena itulah aku terpenjara di sini.
Wahai, nama yang kutulis senantiasa, Zakarya.
Bisakah kau dengar rintik sendu yang turun di antara celah hujan?
Bisakah kau meraba dalam gelap akan rasa yang kian terkembang?
Bisakah kau melihat betapa hati ini membiru karena luka?
Aku terpanah olehmu, oleh cintamu!
Kau adalah seseorang yang berhasil membunuhku dengan cinta yang kusimpan dalam keheningan yang tak terucapkan.
Wahai, sang hamba Tuhan, Zakarya.
Bisakah kau menyentuh sedikit saja kalbuku yang beku?
Coba rasakan getarannya, sampai kau mengerti
Betapa cinta ini tak mau berlalu, terus menggangguku.
Bisakah kau mendengar bisik angin yang menyampaikan rinduku?
Bisakah kau menatap bintang tempat aku mencoba menarik perhatianmu?
Sayangnya, kau tetap diam membisu.
Bicaralah, Zakarya!
Katakan sesuatu, bahkan aku tak peduli jika itu menyakitiku!
Katakanlah walau sedikit kasar kau menjatuhkanku!
Aku tak peduli, karena kau telah membunuhku dengan panah cintamu.
Jika kau ingin menghunuskan pedang ke jantungku, hunuslah!
Biar aku mati dalam belenggu cinta ini.
Atau jika kau ingin menghujaniku dengan bunga mekar, silakan!
Kan kuambil dan kugenggam dalam hatiku.
Jangan membisu! Jangan diam!
Hatiku merana karena mendapat hanya keheningan dari hatimu.
Apakah kau mengerti rasa cinta ini sungguh sangat menyakiti?
Jika kau ulurkan tangan, akan kusambut.
Jika kau menyungkurkanku, akan kupatuhi.
Asal jangan kau siksa aku dalam jeruji besi ini selamanya,
Penjara cinta yang semakin lama akan mematikanku di dalamnya.
Dapatkah kau dengar, Zakarya?