Jakarta, Kartunet – Bingung, sedih, kecewa. Mungkin ketiga kata itu dapat menggambarkan perasaan seorang ibu yang melahirkan anak disabilitas. Betapa tidak, setiap orang tua tentu berharap memiliki anak yang “sempurna”. Namun, tentu Tuhan hanya akan memberikan ujian sesuai kemampuan hamba-Nya. Oleh karena itu, Tuhan akan memberikan anak istimewa hanya kepada ibu yang istimewa pula.
Pertengahan September 2005, Primaningrum melahirkan bayi kembar tiga. Kebahagiaan tentu dirasakan Prima dan suaminya atas keselamatan ketiga putri mereka. Akan tetapi sebuah kenyataan yang tidak pernah diharapkan harus diterima oleh pasangan itu. Ya, Balqiz Baika Utami, si tengah dari kembar tiga itu menyandang tunanetra.
“Penyebabnya kegagalan pembentukan retina akibat kelahiran prematur,” jelas Prima. Di antara ketiga kembar itu hanya Balqiz yang tunanetra. Si sulung Alifah, berpenglihatan awas, dan si bungsu Tantri telah meninggal pada usia 28 hari.
Prima tidak pernah menyalahkan Tuhan karena memberinya anak dengan disabilitas. Namun wanita kelahiran Surabaya itu sempat bingung memikirkan bagaimana mengasuh dan mendidik Balqiz nantinya. Saat itu, ia sama sekali tidak punya gambaran tentang anak disabilitas. Majalah, buku-buku, maupun informasi di internet lebih banyak membahas prihal tumbuh kembang anak nondisabilitas. Pencerahan yang ia butuhkan belum juga ia peroleh, padahal Balqiz membutuhkan penanganan segera.
Usia Balqiz semakin bertambah. Prima mulai sadar bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk menstimulasi tumbuh kembang putri kecilnya. Mulailah ia melakukan sesuatu yang ia sebut “trial and error”. Semua hanya berdasarkan perkiraan, bagaimana kiranya mengasuh anak dengan hambatan penglihatan.
“Aku ngerasa beruntung karena Balqiz punya kembaran, jadi aku punya pembanding.” Prima berpikir, bahwa apa yang sudah bisa dilakukan Alifah, seharusnya juga sudah bisa dilakukan oleh Balqiz. Toh putri keduanya itu tidak memiliki hambatan selain pada penglihatan. Ia harus lebih banyak berkata-kata ketika mengajarkan sesuatu. Misalnya, ketika mengajarkannya berjalan, Prima menjelaskan dengan detail “Balqiz sedang berjalan”, bahwa “berjalan itu dengan kaki”, dan sebagainya. Hal ini ia lakukan karena Balqiz tidak pernah melihat seperti apa yang disebut dengan “berjalan”.
“Kalau Alifah bisa ambil buku sendiri, tapi Balqiz harus diambilin.” Begitulah cara Prima menjelaskan pada si sulung tentang kondisi ketunanetraan Balqiz. Sejauh ini, Alifah tidak pernah menanyakan perbadaan Balqiz dengan dirinya. Prima sendiri tidak pernah mengatakan dengan terang-terangan bahwa Alifah memiliki adik tunanetra. Meski demikian, ternyata rasa pengertian itu tumbuh dengan alami dalam diri saudara kembar Balqiz itu.
Prima tidak pernah malu memiliki anak tunanetra, bahkan justru ia tampak bangga. Lihat saja, ia aktif berbagi informasi tentang tumbuh kembang Balqiz dalam blog-nya yang beralamat di www.allaboutbalqiz.blogspot.com. Blog yang berjudul “All About Balqiz” ini ia dedikasikan untuk semua ibu yang memiliki anak tunanetra. Minimnya informasi mengenai anak disabilitas dan bagaimana cara mengasuhnya, memicu semangat Prima bersama teman-temannya untuk mendirikan Yayasan Balita Tunanetra di tahun 2010. Jelas, kehadiran Balqiz membuat Prima menjadi sosok wanita yang kuat, yang senantiasa ikhlas berbagi dengan sesama.
Meski tunanetra, Balqiz pun harus bersosialisasi dengan masyarakat. Oleh karena itu, Prima tak pernah enggan mengajak si kembar berjalan-jalan. Lingkungan tempat tinggal mereka di kawasan Pondok Gede telah terbiasa dengan kehadiran Balqiz, sehingga tak lagi menganggap bahwa anak tunanetra adalah “mahluk aneh”. Bahkan, Balqiz tidak pernah canggung bermain bersama anak-anak tetangga seusianya yang nondisabilitas.
Ketika mengajak Balqiz bepergian, Prima selalu meminta anaknya memegang tongkat. Apa yang ia lakukan ini kerap kali menarik perhatian orang-orang di sekeliling mereka. Bagaimana tidak. Pada saat banyak orang tua menyembunyikan anaknya yang disabilitas lantaran malu, Prima justru seakan mengumumkan pada dunia bahwa ia sedang berjalan bersama anak tunanetra. “Ya, kalau diumpetin terus, kasihan dong anaknya, nanti jadi nggak percaya diri,” ujarnya diiringi tawa renyah.
Tatapan aneh, heran, atau iba sudah sering dirasakan wanita berjilbab itu ketika bepergian bersama Balqiz. Pertanyaan demi pertanyaan orang-orang yang penasaran pun dijawabnya dengan santai dan sebaik mungkin. Rasanya tidak perlu malu memiliki anak disabilitas, jika kehadirannya dapat menjadi bahan pembelajaran bagi lingkungan. Prima ingin masyarakat tahu, bahwa tunanetra itu terdiri dari berbagai usia. Mereka semua memiliki hak yang sama di ruang publik. “Kalau lihat tunanetra dewasa ‘kan udah sering, tapi kalau lihat yang sekecil Balqiz ini ‘kan orang masih jarang,”ujar wanita 43 tahun itu, ramah.
Ketua dari Yayasan Balita Tunanetra itu ingin sekali melatih Balqiz untuk dapat mandiri sesegera mungkin. Prima ingin agar putrinya itu kelak dapat bepergian sendiri meski tidak ada yang mengantarnya. Itulah sebabnya, ia membiasakan Balqiz memegang tongkat ke mana pun putrinya itu hendak pergi.
Prima mengakui, menerima dengan tulus ikhlas kondisi disabilitas seorang anak memang berat. Akan tetapi, ia sangat sadar bahwa tiap anak memiliki masa depan. Semua hal yang ia lakukan untuk Balqiz semata-mata adalah pembekalan agar putri kecilnya itu dapat tumbuh dan berkembang seperti anak-anak pada umumnya. Prima berharap agar Balqiz telah mampu mengurus dirinya sendiri saat ia tidak lagi bisa merawatnya. “Aku ‘kan nggak pernah tahu seberapa panjang usiaku, dan seberapa lama aku bisa menjaga Balqiz,” tukasnya. (RR)
Editor: Putri Istiqomah Priyatna