Jakarta, Kartunet.com — Sebagai makhluk sosial, perilaku menjadi salah satu aspek yang penting bagi individu dalam berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sama halnya dengan semua individu pada umumnya, anak autis –kendati memiliki keterbatasan utama dalam komunikasi dan interaksi– juga memerlukan interaksi dan komunikasi dengan lingkungannya guna mendapatkan pengalaman untuk perkembangan sosialnya.
Terkait perilaku anak autis, banyak orang yang mengira seorang anak dapat dikatakan menyandang autisme jika anak diam dan tampak memiliki “dunianya sendiri”. Padahal, ada banyak indikasi yang dapat membantu orang tua atau guru untuk mengetahui apakah anak menyandang autisme atau tidak.
Secara garis besar, DSM IV memberikan empat indikasi yang menunjukkan perilaku keautistikan dan seorang anak dapat dikatakan menyandang autisme jika memiliki minimal satu perilaku dari empat perilaku tersebut. Empat perilaku tersebut adalah (1) mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan; (2) terpaku pada satu kegiatan rutinitas yang tidak ada gunanya, seperti selalu mencium makanan sebelum dimakan; (3) ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang; dan (4) seringkali sangat terpukau pada benda atau bagian-bagian benda.
Christopher Sunu (2012) menjelaskan bahwa selain empat karakteristik perilaku di atas, ada beberapa perilaku lainnya yang secara umum ada pada anak autis. Perilaku tersebut adalah perilaku destruktif, perilaku hiperaktif atau hipoaktif, tantrum dan beberapa perilaku khusus lainnya.
Perilaku destruktif adalah semua jenis perilaku anak yang bisa menyakiti atau melukai dirinya sendiri atau orang lain. Contoh dari perilaku destruktif adalah anak mencakar, menjambak, menggigit, meludah ke orang atau ke sembarang tempat, memukul, menarik dengan kuat, mencekik, menendang, merobek lembar tugas, melempar benda apa saja di dekatnya, dan banyak perilaku lainnya.
Selanjutnya, sebagian anak autis bisa menjadi hiperaktif atau hipoaktif. Anak autis dikatakan hiperaktif apabila anak banyak melakukan aktivitas tanpa anak mengetahui apa manfaat dari aktivitasnya. Misalnya saja, anak naik-turun meja, berlarian, mondar-mandir, keluar-masuk kelas, dan berpindah-pindah tempat duduk dalam jangka waktu yang sangat singkat tanpa mengetahui apa tujuan dari perilakunya.
Selain itu ada pula perilaku stereotip atau perilaku rutinitas. Anak autis cenderung kaku dalam melakukan aktivitasnya, salah satunya dalam beberapa kasus adalah memiliki jadwal harian yang tidak bisa diubah. Perilaku stereotip ini terlihat juga ketika meletakkan sekumpulan benda, yaitu anak autis cenderung meletakkan benda-benda tersebut berdasarkan warna, bentuk, atau ukurannya. Contoh lainnya adalah anak memiliki gerakan-gerakan aneh seperti mengepak-ngepakkan tangan, mengayunkan tangan, menggoyangkan badan ke depan dan ke belakang, atau selalu mengulang kata yang sama dan tidak memiliki arti.
Perilaku lainnya yang mungkin ada pada anak autis adalah anak memiliki keterpukauan berlebihan pada benda atau bagian tertentu dari benda, anak memiliki benda yang selalu dibawanya kemana-mana, anak sensitif terhadap suara, anak menarik diri saat disentuh, anak merespon berlebihan atau tidak sama sekali saat diberi stimulus, anak menangis tanpa sebab, atau anak mampu menggambar dengan detail-detail yang baik tetapi tidak mampu mengancingkan bajunya sendiri. Perilaku lain yang menunjukkan anak menyandang autisme adalah anak marah atau menangis tanpa sebab dan tantrum (marah berlebihan atau mengamuk).
Tidak ada teori khusus yang mencantumkan indikasi pasti tentang karakteristik perilaku keautistikan. Hal ini dikarenakan, pola perilaku anak autis sangat beragam. Perilaku keautistikan yang disebutkan di atas sangat mungkin tidak semuanya ada pada seorang anak autis. Perilaku keautistikan tertentu bisa saja ada pada satu anak autis tetapi tidak ada pada anak autis lainnya. Untuk itu, orangtua atau guru harus benar-benar cermat dalam melihat perilaku anak autis. Dalam pengamatan perilaku, orang tua atau guru setidaknya mengamati perilaku anak selama tiga bulan berturut-turut.
Untuk saat ini, perkembangan perilaku anak autis kadang cenderung dihambat oleh kalangan yang menganggap bahwa anak autis hanya bisa ada “di dunianya sendiri”. Dampaknya, ketika anak autis sudah menunjukkan perilaku keautistikannya sebagian orang tua malah membiarkan dan menganggapnya sebagai hal yang wajar bagi anak autis. Perilaku-perilaku di atas memang wajar ada pada anak autis, karena itu semua adalah sinyal yang menunjukkan bahwa anak menyandang autisme. Akan tetapi, perilaku tersebut hendaknya diarahkan kepada hal-hal yang lebih positif. Atau, perilaku tersebut hendaknya diminimalisir bahkan dihilangkan dari anak.
Hal utama yang harus diantisipasi orang tua dan guru adalah perubahan lingkungan. Anak autis yang cenderung terikat pada rutinitas biasanya akan mengalami “shock” pada sebuah perubahan, sehingga menyebabkan anak marah atau tantrum dan perkembangannya tiba-tiba kembali pada angka nol. Dengan demikian, orang tua dan guru hendaknya menyisipkan satu atau dua aktivitas harian yang fleksibel atau berubah-ubah bentuknya dari hari ke hari. Hal ini ditujukan agar anak bisa beradaptasi secara perlahan dengan kehidupan individu pada umumnya yang tidak selalu terikat pada rutinitas. (nir)