Jakarta, Kartunet.com – Pada dasarnya, setiap anak, baik anak pada umumnya maupun anak autis, memiliki naluri untuk bersenang-senang dan bermain dengan orang yang ada di sekitarnya. Dalam hal ini, orang tualah yang memegang peranan penting dalam membawa anak ke dalam kesenangan sekaligus kedekatan saat bermain.
Meniru atau imitasi adalah tahap awal anak dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, Paul Christie, seorang Konsultan Child Psychologist dan Direktur Sutherland Children’s Service dalam bukunya yang berjudul First Step in Intervention with Your Child with Autism mengatakan bahwa pada dasarnya anak-anak menirukan orang dewasa karena orang tau mereka yang memulai terlebih dahulu untuk menirukan mereka. Menurut Paul, ketika seorang anak bersin, kemudian ibunya akan berkata, “Ooo Sayang, kamu flu, ya?” Sang anak akan tersenyum dan mungkin akan bertingkah seperti bersin kembali sebagai bagian dari komunikasinya dengan sang ibu.
Pada prinsipnya, dengan menirukan tingkah laku anak, orang tua turut membantu mengapresiasikan tingkah laku dan akhirnya anak akan meniru yang dilakukan orang tua. Di samping itu, sengaja menirukan gerakan atau suara anak dapat menjadi cara yang produktif dan menyenangkan untuk mencapai shared attention anak autis. Melalui menirukan inilah, orang tua dapat melakukan permainan-permainan interaktif yang dapat membantu perkembangan komunikasi anak autis.
Pada tahap awal melakukan permainan interaktif dengan menirukan, orang tua dapat mencoba beberapa hal seperti menirukan suara anak semirip mungkin, menirukan gerakan anak. Menirukan suara anak dapat menarik perhatian anak dalam bermain. Dalam menirukan, usahakan nada dan volume suara orang tua menyamai yang dilakukan anak. Anak autis sangat mungkin untuk tidak memerhatikan atau tidak berkonsentrasi untuk waktu yang cukup lama, tetapi orang tua dapat mencoba berbicara menggunakan alat bantu seperti tube plastik, sehingga menimbulkan suara yang unik dan menarik perhatian anak.
Ketika anak sedang bermain alat-alat yang mengeluarkan suara, orang tua dapat menirukan suara alat yang dimainkan anak. Atau, orang tua dapat masuk ke dalam “dunianya” dengan memulai percakapan dan menirukan suara alat lain yang dapat dikombinasikan dengan suara yang dibuat anak dengan alat yang dimainkannya. Saat melakukan ini, orang tua juga diharuskan melakukan kontak mata. Di kesempatan lainnya, ketika anak melakukan gerakan-gerakan ringan, berjalan, melompat, mengetuk-ketuk kaki, dan berhenti, orang tua dapat menirukannnya dan mengombinasikan dengan menirukan suara-suara yang dapat menarik perhatian anak.
Banyak anak yang tertarik melihat refleksi dari tingkah laku mereka sendiri dan menjadi lebih paham atas tingkah laku dan suara diri sendiri. Penelitian di Amerika juga menunjukkan bahwa gerakan anak yang ditirukan oleh orang tua dapat menarik perhatian anak. Sehingga meningkatkan rentang waktu anak melihat wajah dan kontak mata dengan orang tua. Setelah itu, dengan perlahan anak akan mulai memproduksi bunyi atau menirukan. Pada tahap ini, anak mulai melakukan intentionality.
Sebenarnya, permainan imitatif semacam ini diaplikasikan untuk anak bayi. Jika permainan ini dilakukan kepada anak autis dengan usai yang tidak bayi lagi, bisa jadi akan mendapatkan respon yang berbeda dan terlihat sangat tidak alami. Akan tetapi, dilakukannnya permainan ini semata-mata untuk mengajarkan anak belajar merespon dan melakukan kontak mata saat berkomunikasi. Dan, perlu diingat bahwa anak autis memerlukan bantuan orang tuanya sebelum akhirnya dapat tertarik untuk menirukan orang tua mereka. Dengan demikian, langkah awal mendorong anak autis untuk memasuki dunia sosial adalah dengan melakukannya bersama orang tua.(Nir)
editor: Herisma Yanti