Perjuanganku di Kampung Inggris

Aku lulus dari sebuah SMA Negeri di Semarang tiga tahun yang lalu, meski banyak orang desa yang beranggapan seusiaku ini sudah bukan usianya belajar lagi, namun semangatku untuk menuntut ilmu masih menggebu-gebu. Pagi, 17 september 2011 adalah moment tak terlupakan dalam goresan kisah hidupku. Salah satu impianku sejak aku masih duduk di bangku SMA akan segera terlaksana. Yap, impian itu adalah belajar di Kampung Inggris. Sebuah julukan untuk desa kecil di Kediri – Jawa Timur. Kampung ini juga terkenal sebagai pusat kursus bahasa inggris termurah dan terbesar di Indonesia.  

Baca:  BESI BERODA

Aku berangkat dengan modal Rp.600.000 hasil tabunganku saat bekerja sebagai pelayan restoran di Semarang. Untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti transportasi, makan, bayar kost, dan membeli sepeda onthel uangku langsung habis pada bulan pertama aku di Kampung Inggris, padahal aku ingin bertahan selama 8 bulan disana. Akhirnya pada bulan ke dua aku tidak memegang uang sedikitpun, bahkan untuk makan saja tidak ada. Mengingat usiaku yang sudah diatas 20 tahun, rasanya tidak pantas lagi menengadahkan tangan untuk meminta uang kepada keluargaku di desa. Aku terpaksa pinjam kepada teman satu kosanku atau kadang aku berpuasa untuk menghemat pengeluaran.

Ada sebuah pelajaran berharga yang kudapat dari kondisiku saat ini. Betapa kacaunya perasaan seorang lelaki yang sudah berkeluarga, namun belum mendapatkan pekerjaan. Karena saya yang belum bekerja saja sudah merasakan sekacau ini. Meski perasaanku sangat sedih, tapi aku masih bersyukur karena belum dituntut oleh anak dan istri. Disaat kekurangan seperti ini, kalau hanya aku sendiri yang lapar, aku masih bisa berpuasa, tapi tidak mungkin kalau istri dan anakku kelak lapar, aku tak tega menyuruh mereka berpuasa. Rasanya lebih beruntung karena aku belum menikah saat ini dan hanya menanggung diri sendiri. Huh, rasanya nikmat sekali kalau kita selalu berpikiran positif seperti ini. Setiap permasalahan dan perjuangan dalam menghadapi kesulitan sebesar apapun terasa ringan.

Untuk menyambung hidupku di Kampung Inggris aku mencoba mencari pekerjaan seadanya di sekitar kampung ini, dengan bermodalkan KTP dan surat lamaran aku mencoba melamar beberapa lowongan di Pabrik Roti, Counter HP, Dealer Sepeda Motor, dan toko- toko, bahkan saking terdesaknya aku pernah melamar sebagai tukang sapu jalan. Semuanya nihil tanpa hasil, kecuali sebuah warung penjual pisang goreng milik orang asli Kampung Inggris ini. Bekerja ikut orang memberikan suka-duka tersendiri. Kadang harus menelan omelan dan singgungan jika kita melakukan kesalahan, tapi aku harus selalu berpikiran positif. Bagiku, bekerja ibarat belajar yang dibayar. Sebelumnya saya tidak bisa membuat pisang goreng, namun setelah diajari dan dibayar disini, aku bisa membuatkan pisang goreng untuk ibuku di rumah.

Baca:  Manusia Roda Kampus Biru

Alhamdulilah, meski dengan keterbatasan biaya, aku tidak bisa ikut kursus seperti kawan-kawan pada bulan kedua ini, tapi aku sudah cukup senang bisa menikmati suasana belajar di Kampung Inggris ini, karena salah satu alasan aku memilih tetap tinggal adalah kentalnya suasana belajar di sini. Kadang kawan-kawan satu kosanku belajar speaking dang grammar dengan whiteboard yang ada di ruang TV kosanku. Kadang kita saling menjelaskan bergantian. Dari situlah saya banyak belajar tentang bahasa inggris dari kawan sendiri. Inilah kelebihan kosan di Kampung Inggris, suasana belajar yang lebih mendukung daripada hanya sekedar belajar di kelas.

Alhamdulilah pada bulan ketiga ini gaji dari menjual pisang goreng bisa aku gunakan untuk mencicil bayar utang, makan, membayar kosan sebulan serta kursus meski hanya dua minggu. Selain bekerja sebagai penjual pisang goreng, aku juga selalu aktif mengikuti lomba menulis di internet. Alhamdulilah, pada bulan keempat aku memenangkan sebuah lomba yang aku ikuti di internet, hadiahnya lumayan, Rp.1.700.000, ini setara dengan lima bulan gajiku saat kerja sebagai penjual pisang goreng. Sebagai luapan rasa syukurku, teman-teman satu kosanku yang berjumlah sekitar dua puluh orang aku belikan buku tulis  hard cover dan tebal. Lalu, khusus untuk teman sekamar aku  traktir semua. Ada juga temanku yang merasa aneh dengan caraku syukuran ini. Terserah lah, apa pendapat mereka. Kalau prinsipku, daripada mentraktir mereka bakso semangkuk yang akan habis dimakan dalam lima menit, aku lebih suka memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka, bertahan lama serta bernilai pahala bagiku.

Pada bulan keempat inilah sinar semangat kembali menerangi masa depan belajarku di kampung inggris, kini aku bisa menikmati kursus dengan penuh seperti anak-anak kursusan pada umumnya. Uang hadiah tersebut langsung kupakai mendaftar sebuah program yang untuk 2 bulan dengan lima kali pertemuan per hari, meski harganya agak mahal, namun aku bisa mendapatkan pelajaran lebih banyak, karena pertemuannya sangat padat. Dengan penuh terimakasih aku pun berpamitan kepada bosku dan memutuskan melepas pekerjaanku sebagai penjual pisang goreng, aku ingin berkonsentrasi dengan kursus yang kuikuti.

Baca:  Stanza Perjuangan dalam Gulita

Karena program kursus yang aku ikuti sekarang luar biasa padat, banyak sekali kawanku yang tumbang di tengah jalan, alias keluar dari kursus sebelum final exam. Dari 130 siswa, pada pertengahan bulan ke dua ini tinggal 96 siswa. Rata – rata mereka tidak betah dengan padatnya program dan sulitnya mempelajari Grammar bahasa Inggris. kalau boleh jujur, sebenarnya aku sendiri juga merasa sangat berat dengan program tersebut, akan tetapi karena aku kursus dengan biaya hasil jerih payahku sendiri, beratnya program tersebut belum bisa mengalahkan beratnya perjuanganku untuk meraih biayanya. Kini aku tetap menikmati program tersebut dengan penuh semangat dan harapan.

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Bagikan artikel ini
Abik Munawar
Abik Munawar
Articles: 3

Leave a Reply