Nama saya Agus Ja’far, lahir di Batang pada tanggal 17 Agustus 1991. Tinggi badan saya 193 cm. Badan saya tinggi mungkin karena saya lahir bertepatan dengan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, karena ada pengibaran bendera pusaka. Terlahir dari pasangan Maryam dan Suroso. Saya dibesarkan di Desa Sidorejo Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang Jawa Tengah dari keluarga yang mengerti akan pentingnya pendidikan, meski orang tua saya tidak lulus SD. Sehingga orang tua tidak ingin anak-anaknya bodoh. Semenjak meninggalnya ayah pada 1 Mei 1994 membuat ibu harus membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Pada saat ayah meninggal, usia saya belum genap 3 tahun. Usia yang masih dini, membuat saya tak teringat ayah. Sampai sekarang hanya ada satu foto ayah yang masih menempel di surat nikahnya. Foto itu yang menjadi obat rindu saya ke ayah tercinta. Ayah saya memiliki penglihatan yang kabur, begitu juga dengan saya dan kakak-kakak saya memiliki penglihatan yang sama dengan ayah. Saya anak terakhir dari empat bersaudara, kakak saya yaitu Khunasim, Riskiyanti, dan Abdul Rosyid.
Pada tulisan ini, saya akan ceritakan pengalaman lika-liku perjalanan pendidikan yang saya alami, dari sulitnya sekolah karena keterbatasan biaya dan fisik, hingga mendapatkan beasiswa full di perguruan tinggi negeri.
Masuk ke Raudhatul Atfal (RA)
Tahun 1997 saya masuk ke RA Masyithoh di Desa Sidorejo. Saya termasuk anak yang beruntung pada waktu itu, karena tidak semua anak bisa sekolah di RA, kebanyakan teman-teman seusia saya langsung disekolahkan di SD tanpa masuk di RA/TK terlebih dahulu. Biasanya anak-anak RA diantar jemput oleh orang tuanya, namun saya dititipkan ke orang lain yang juga mengantar anaknya. Saya pahami, ibu saya harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan saya dan kakak-kakak saya yang waktu itu masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah (MI). Dari seluruh peserta didik yang di RA Masyithoh, hanya saya yang tidak bisa mengambil ijazah RA, karena ibu saya tidak ada biaya untuk melunasi administrasi.
Masuk ke Madrasah Ibtidaiyah (MI)
Setelah selesai bermain-main di bangku RA, saya disekolahkan di Madrasah Ibtidaiyah Salafiyah (MIS) Sidorejo, di desa tercinta. Ketika kelas 1, saya tidak naik kelas, dikarenakan saya ketinggalan dalam proses pembelajaran. Pada saat itu, guru-guru saya belum memahami kalau penglihatan saya kabur. Pada saat itu, saya tidak berani mengutarakan kepada guru mengenai penglihatan saya. Dan saya tidak memakai kaca mata, karena ibu tidak ada uang untuk membelinya.
Ketika di kelas 4, guru-guru baru memahami kalau penglihatan saya kabur. Selama proses pembelajaran saya tidak bisa melihat tulisan yang ada di papan tulis. Saya harus menyalin tulisan dari buku teman-teman. Pada kelas 5, sempat masuk ke 3 besar peringkat kelas. Hingga lulus, saya mendapatkan nilai yang memuaskan.
Dari situlah, kepala sekolah menyarankan agar saya melanjutkan sekolah. Tapi, ibu saya tidak mampu menyekolahkan saya. Saat itu, saya ikhlas tidak melanjutkan sekolah. Karena saya memahami keadaan ibu. Saya hanya berdoa, semoga saya mendapatkan yang terbaik menurut Allah.
Masuk ke Madrasah Tsanawiyah (MTs)
Allah menjawab doa saya, pada 21 Agustus 2005 saya didaftarkan oleh sang derwaman, namanya H. Bakhir pemilik perkebunan cabe terbesar pada saat itu di desa saya. Meski pendaftaran telah ditutup, dan proses pembelajaran sudah dimulai sejak bulan Juli, Alhamdulillah saya diterima di Madrasah Tsanawiyah (MTs Tholabuddin Masin). Pada kelas IX semester genap saya dibelikan kaca mata oleh guru MTs Tholabuddin. Pada saat itu, namanya tidak ingin disebutkan. Sampai sekarang, kaca mata itu masih terawat dengan baik. Saya lulus dari MTs Tholabuddin tahun 2008.
Masuk ke PSBN Wyata Guna Bandung
Setelah lulus dari MTs Tholabuddin Tahun 2008, saya hanya bantu-bantu ibu di rumah, bisa dikatakan pengangguran selama satu tahun lebih. Karena saya memiliki keinginan untuk melanjutkan sekolah, saya mendapatkan informasi bahwa di Bandung ada SMALB berasarama di PSBN Wyata Guna. Tanpa pikir panjang, saya langsung bergegas melengkapi persyaratan. Dengan rekomendasi dari Kepala Desa, Camat Sampai Dinas Sosial Kabupaten Batang, pada 27 Desember 2009 saya memberanikan diri menuju ke Bandung dan mendaftar di PSBN Wyata Guna.
Namun keinginan saya untuk sekolah di SMALB tidak tercapai, karena asrama di PSBN Wyata Guna untuk program formal sudah penuh, adanya asrama untuk program rehabilitasi. Jika saya tetap mendaftar di SMALB, maka ketentuannya saya harus tinggal di kos, tanpa mendapatkan fasilitas dari PSBN Wyata Guna. Dari pada pulang dengan tangan kosong, saya mendaftar di rehabilitasi PSBN Wyata Guna. Harapannya bisa masuk ke SMALB dan mendapatkan fasilitas PSBN Wyata Guna.
Selama di Bandung, saya dilatih mentalnya. Karena saya tipe orang pemalu. Sempat menjadi ketua Forum Ukhuwah Pemuda-Pemudi Masjid Ibnu Ummi Maktum (FUPPMI) di kawasan Wyata Guna. Kemudian bergabung di Organisasi Siswa Klien Wyata Guna. Selain itu sempat bergabung dengan Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Kota Bandung. Saya di PSBN Wyata Guna hanya delapan bulan dan masuk di kelas komputer. Selama di Wyata Guna saya belajar huruf braille dan akhirnya bisa baca tulis braille.
Karena tujuan saya ke Bandung untuk melanjutkan ke SMALB dan berbagai upaya telah dilakukan akhirya tetap tidak berhasil, maka saya putuskan H-5 Idul Fitri tahun 2010 untuk pulang ke kampung halaman dan tidak kembali lagi ke Bandung.
Masuk ke Madrasah Aliyah (MA)
Setelah pulang dari Bandung, saya melanjutkan ke Madrasah Aliyah (MA Tholabuddin Masin) seyayasan denga MTs Tholabuddin. Waktu itu kepala sekolahnya Drs. Mubarok MR. Pada tanggal 2 Oktober 2010 saya diterima di MA Tholabuddin Masin, telat tiga bulan dari pendaftaran. Teman-teman saya di MA Tholabuddin sudah kelas XII yang seangkatan dari MTs Tholabuddin menyambut kehadiran saya.
Di sekolah ini, saya sempat menjadi Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), menjadi Pimpinan Redaksi Majalah Expressi MA Tholabuddin, dan bergabung di OSIS. Dalam akademik, saya selalu tiga besar peringkat kelas hingga sampai lulus, kecuali kelas X semester satu, karena telat sekolahnya saya masuk peringkat terakhir. Yang menjadi motivasi adalah saya tertarik dengan beasiswa Bidikmisi dari DIKTI yang programnya gratis kuliah full dan mendapatkan uang 600.000,- per bulan. Sehingga sejak awal masuk di MA Tholabuddin saya termotivasi belajar untuk mempersiapkan agar mendapatkan beasiswa bidikmisi tersebut. ketika belajar di MA Tholabuddin, saya bergabung dengan grup rebana Almubarok. Pada tahun 2012 grup saya pernah juara dua lomba rebana tingkat pelajar se-Kabupaten Batang dan juara dua rebana tingkat umum se-Karisidenan Pekalongan.
Saya pernah ditanya oleh salah satu sahabat, apakah saya akan melanjutkan ke perguruan tinggi?. Kemudian saya jawab, kalau saya sekolah di MA Tholabuddin, itu artinya saya punya keinginan besar untuk melanjutkn ke perguruan tinggi. Entah dari mana biaya kuliahnya, saya yakin Allah akan memberikan jalan selama saya mau berusaha. Dengan semangat di dada, saya lulus dari MA Tholabuddin tahun 2013.
Masuk ke Universitas Negeri Semarang
Masuk ke Universitas Negeri Semarang (UNNES) penuh dengan lika-liku. Sebelum diterima di UNNES, saya sudah mendaftar di perguruan tinggi negeri lainnya. Yang menjadi prioritas saya adalah perguruan tinggi yang menyediakan beasiswa penuh. Karena ibu memberikan kebebasan untuk bekerja atau kuliah. Namun ibu tidak menjanjikan membiayai kuliah sepenuhnya.
Karena saya diberi kebebasan, selain mencoba mendaftar di perguruan tinggi, saya mencoba mendaftar sebagai karyawan di perusahaan sarung di Pekalongan. Namun saya tidak diterima di perusahaan tersebut, dengan alasan penglihatan saya yang rabun. Saya terima penolakan dari perusahaan tersebut, saya yakin Allah akan memberikan yang terbaik. Ternyata benar, selang dua hari dari penolakan perusahaan tersebut, saya diterima di UNNES melalui jalur tertulis SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Sebelum mengikuti SBMPTN, saya mengikuti bimbingan belajar yang diselenggarakan oleh Yayasan Mata Air. Proses bimbel ini berlangsung satu bulan bertempat di Pondok Pesantren Almunawwir Gringsing Kabupaten Batang. Saya tertarik dengan bimbel ini karena gratis mulai dari proses pembelajaran, makan minum selama di asrama, hingga layanan antar jemput pada saat pelaksanaan SBMPTN di Universitas Diponegoro Semarang.
Setelah diterima di UNNES dan mendapatkan beasiswa bidikmisi, saya kagum dengan kekuasaan Allah bagaimana mengatur takdir saya. Karena syarat beasiswa bidikmisi usia maksimal pelamar beasiswa adalah 21 tahun, dan ternyata usia saya 21 tahun. Seandainya umur saya 22 tahun, kemungkinan sulit mendapatkan beasiswa bidikmisi. Dari situlah, saya bersyukur dengan nikmat Allah. Dibalik perjalanan pendidikan saya, yang harus menunggu orang dermawan sehingga bisa sekolah di MTs Tholabuddin, kemudian saya harus belajar di PSBN Wyata Guna Bandung, harus menunda masuk ke MA Tholabuddin selama dua tahun, bahkan waktu pendaftarannya telat tiga bulan. Semua ini ada hikmanya, Allah telah merencanakan yang terbaik untuk saya.
Karena saya dari komunitas tunanetra, saya ingin mengabdi meski dalam bentuk kecil. Di semester satu, saya mengikuti lomba olahraga khusus disabilitas yakni Pekan Olahraga Paralimpik Provinsi Jawa Tengah (PEPARPROV) tahun 2013 dan saya berhasil meraih juara 2 cabang lari 100 meter dan juara 3 cabang lompat jauh. Bonus juara lomba dari Pemkab Batang telah saya belikan laptop untuk menunjang kuliah saya. Di semester dua ini saya lolos dalam Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKM-M) bertemakan pelatihan baca tulis Alqur’an braille bagi tunanetra, Alhamdulillah lolos didanai oleh DIKTI. Selain itu, saya bergabung di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan (BEM FIP) Departemen Lingkungan dan Masyarakat (LINMAS). Karena saya lihat di UNNES belum ada jurusan Pendidikan Luar Biasa, saya menggagas bersama teman-teman departemen LINMAS membuat “Komunitas Peduli Anak Berkebutuhan Khusus”. Alhamdulillah tidak sedikit mahasiswa yang bergabung di komunitas ini.
Demikianlah perjalanan tunas bangsa sampai hari ini, sekarang saya sang tunas bangsa akan melanjutkan perjalanan untuk tulus mengabdi berbakti terhadap negeri.
*SEKIAN*
Saya Sangah terharu dengan Perjyangan Mas Agus…
Semanagat Belajar terus Mas Agus ” Pasti ada jalan kalau kita mau Usaha ”
Perkenalkan saya juga Alumni MTs Tholabuddin Masin dan saya adalah Suami dari dari Guru kamu di MI Salafiyah Sidorejo…
Semangat dan Semangat terus ….
kisahnya menginspirasi sekali mas Agus. Hmmm, sebetulnya tiap detail di jenjang pendidikan ini semuanya menarik dan punya poin tersendiri. Mungkin bias ceritanya lebih dieksplorasi aja mas. Dengan keadaan low vision, bagaimana mas Agus mengikuti pelajaran? terutama seperti yang disampaikan bung Riqo di atas. Ketika guru-guru tahu, perlakuan seperti apa yang diberikan? itu akan menarik.
cerita yang bagus, saya sempat geregetan pas baca bagian ditolak di SMALB dan cuma boleh masuk PSBN. sayang sekali kalau kesempatan untuk belajar di tingkat lebih lanjut itu tak dikejar, tapi Alhamdulillah ya mas, bisa masuk ke MA, malah tidak hanya di SMALB. hehehehe
mengenai low-vision, sama mas, terkadang orang itu terlalu “berprasangka baik” pada penglihatan kita, padahal cuma beberapa meter saja jarak pandangnya. hehehe
kalau dari PIHAK SLB wellcome, tapi saya gak bisa mengambil keputusan daftar di SLB. ya itu karena gak dapat asrama di PSBN.
yang membuat saya semangat lagi, ada temen tunanetra dari SLB masuk ke UMUM, terus temen saya tersebut membuat saya harus merenung: seorang tunanetra dari SLB bisa masuk ke UMUM di Yogyakarta (namanya lupa, kenalan lewat udara), sedangkan saya dari UMUM dan mau masuk ke SLB, itupun sulit masuk ke SLB (karena banyak faktor x).
berjalannya waktu, saya mendapat kemudahan dan akhirnya bisa sekolah di MA. (alhamdulillah)
Ceritanya menarik, dan saya kagum dengan orang-orang yang bisa membiayai pendidikannya dengan hasil keringat sendiri. Yang bikin saya penasaran, bagaimana pihak sekolah saat MI menyadari bahwa Agus seorang tunanetra, padahal Agus tidak mengatakannya? dan bagaimana pihak sekolah memberikan akomodasi kepada Agus untuk berprestasi dan mendukung Agus dalam pendidikan? saya salut dengan lembaga/orang-orang seperti itu, ini bisa menjadi percontohan sekaligus tamparan bagi sekolah di ibu kota yang masih “diskriminatif”, Batang yang notabennya kota kecil saja bisa begitu, tetapi di kota besar masih seperti ini. Semoga bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua.
Ketika di kelas 4, guru-guru baru memahami kalau penglihatan saya kabur. Selama proses pembelajaran saya tidak bisa melihat tulisan yang ada di papan tulis. Saya harus menyalin tulisan dari buku teman-teman.
saat itu, saya belum pakai kacamata, jadi saat nulis atau baca jarak pandangnya terlalu dekat.
dari situlah guru bisa memahami keterbatasan penglihatan saya.
Pada saat di MA, pihak sekolah mendukung semua kreativitas siswanya, termasuk aku.
karena saya low fision, jadinya kebanyakan orang-orang disekitarku menganggap saya itu bukan tunanetra, yang mereka tahu tunanetra itu ya total.
hm, Gus, pengalamannya keren. boleh kasih saran? begini saja deh, agar ceritanya tidak melebar kemana-mana, gimana kl km ambil saja salahsatu jenjang, cari pengalaman paling unik, terus jabarkan jd sebuah narasi yang bagus.
makasih sarannya, teh nensi.
mengatasi keterbatasan tanpa batas