Adelaide – Lima tahun berkenalan dengan dunia disabilitas tidak cukup bagi saya untuk memahaminya secara proporsional. Bahkan seperti halnya cabang humaniora lainnya, dunia disabilitas akan terus berkembang seiring perkembangan orang dengan disabilitas itu sendiri. Belum satu bulan saya belajar tentang ilmu disabilitas secara akademik, tetapi sudah banyak hal yang saya dapatkan. Banyak bukan berarti cukup. Banyak berarti di luar ekspektasi saya, karna saya memang tidak berekspektasi apa-apa ketika memulai fase pendidikan saya yang satu ini. Bagi saya, ekspektasi hanya akan menjadi batasan atas apa yang mungkin saya dapatkan. Karena ketika kita berekspektasi, maka idealnya kita akan bereaksi sesudahnya.
Saya akan memulai dengan sedikit sejarah tentang pergerakan disabilitas di negara-negara Barat. Saya memilih negara Barat karna mereka menyediakan cukup banyak bahan literatur mengenai pergerakan disabilitas ketimbang negara kita sendiri. Saya yakin pergerakan disabilitas di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1960-an, tetapi tidak banyak literature yang mencatatnya. Ini tugas baru bagi kita para penggerak disabilitas, para disabilitas dan komunitas peduli disabilitas untuk mencatatkan sejarah pergerakan disabilitas di Indonesia. Percaya pada saya, literatur ini akan sangat berguna nantinya.
Pergerakan disabilitas di negara Barat seperti Amerika, Inggris dan Australia, sudah dimulai sejak akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an. Saat itu, belum ada undang-undang khusus mengenai disabilitas . Pada tahun 1960-an, orang dengan disabilitas di negara-negara Barat dipandang sebagai korban, pesakitan yang perlu disembuhkan, orang yang membutuhkan perlakuan khusus sehingga membutuhkan adanya tempat khusus. Konsep ini diperkenalkan oleh kalangan medis dan lebih melihat disabilitas secara individual di mana disabilitas disebabkan oleh kondisi fisik dan mental seseorang. Cukup banyak literatur yang menggambarkan kondisi disabilitas saat itu serta perlakuan-perlakuan yang mereka terima baik dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Begitu banyak diskriminasi, perlakuan tidak manusiawi dan pengabaian hak-hak asasi manusia. Tetapi justru itulah yang memicu pergerakan disabilitas. (lihat literatur)
Pada akhir tahun 1970-an, konsep medis tersebut ditentang oleh pergerakan-pergerakan disabilitas saat itu. Mereka mulai memperkenalkan konsep Social Model of Disability. Model ini memperkenalkan bagaimana orang dengan disabilitas dilihat sebagai manusia sosial yang memiliki hak yang sama dengan orang tanpa disabilitas dan bukan korban yang tidak berdaya. Social Model of Disability juga menegaskan bahwa disabilitas tidak disebabkan oleh kondisi fisik maupun mental seseorang, akan tetapi oleh hambatan sosial dan lingkungan. Model ini yang kemudian menjadi cikal bakal apa yang saat ini digunakan oleh PBB sebagai definisi konsep disabilitas pada Konvensi PBB tentang Hak Asasi Manusia bagi Orang dengan Disabilitas (CRPD).
Saat ini, orang dengan disabilitas di negara-negara Barat sudah sedikit banyak berhasil memasyaratkan konsep Social Model of Disability, meskipun masih banyak yang perlu diperbaiki khususnya mengenai disabilitas intelektual. Akan tetapi, keberhasilan itu sudah bisa dirasakan oleh orang dengan disabilitas di negara-negara berkembang.
Lalu di mana posisi Indonesia saat ini?
Dalam artikel yang ditulis oleh Barnes (1998), ada satu teori yang diperkenalkan oleh Finkelstein (1938-2011). Ia menyebutkan bahwa dalam perkembangan dunia, disabilitas akan menghadapi tiga fase. Fase yang pertama di mana disabilitas tidak diikutsertakan dalam kegiatan ekonomi karena saat itu system produksi masih bersifat manual, seperti pertanian, dan orang dengan disabilitas jumlahnya masih sedikit serta masih terpisah-pisah. Fase kedua adalah saat orang dengan disabilitas sudah bertambah jumlahnya, akan tetapi justru mengakami pemisahan dari lingkungan. Dalam fase ini, orang dengan disabilitas ditempatkan di tempat khusus, terpisah dari keluarga dan masyarakat umum. Pada fase ketiga, disabilitas mulai membangun pergerakan, melakukan advokasi dan membebaskan diri dari tekanan social yang memandang mereka sebagai korban. Pada fase ini, Finkelstein menyebutkan bahwa orang dengan disabilitas sudah mulai menggunakan teknologi dan mulai bekerja berdampingan dengan orang tanpa disabilitas untuk menghapuskan diskriminasi.
Jika menilik dari sejarah beberapa organisasi disabilitas di Indonesia, bisa dilihat bahwa organisasi yang dibentuk mengusung misi untuk menyetarakan hak dan kewajiban antara orang dengan dan tanpa disabilitas. Akan tetapi pergerakannya cukup terbilang lambat jika dibandingkan dengan pergerakan disabilitas di negara-negara Barat. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh keadaan terpisah-pisahnya orang dengan disabilitas serta keadaan negara yang masih dalam fase berkembang, sehingga seringkali disabilitas menjadi isu besar yang hanya mendapat sedikit perhatian baik dari pemerintah maupun masyarakat. Dari sisi keterlibatan disabilitas itu sendiri, saya tidak mendapatkan banyak referensi, sehingga tidak banyak yang bisa saya bagi.
Jika kita melihat situasi yang terjadi saat ini, Indonesia berada antara fase kedua dan ketiga. Sudah semakin banyak yang menyuarakan dan memperjuangkan kesetaraan, akan tetapi segregrasi masih bisa dilihat di berbagai tempat, khususnya system rehabilitasi yang diberikan oleh pemerintah. Keadaan ini bisa jadi disebabkan oleh ketimpangan antara undang-undang yang menaungi disabilitas dengan kurangnya kesadaran masyarakat atas kesetaraan terhadap disabilitas, yang menghambat laju implementasi hukum.
Tapi perlu diingat sekali lagi, ini hanya apa yang saya ketahui. Masih banyak hal yang perlu saya pelajari. Saran dan masukan selalu diterima dengan tangan terbuka. (men)
Bibliografi:
Barnes, C. (1998). The social model of disability: A sociological phenomenon ignored by sociologists?
http://pertuni.idp-europe.org/index.php
http://ppdi.co/sejarah/
http://en.wikipedia.org/wiki/Vic_Finkelstein
Editor: Muhammad Yesa Aravena