Entahlah, suasana rintik hujan selalu berhasil menggiring jiwa pada nostalgia haru. Gerimis semenjak pagi hari tadi menenggelamkan sang penghuni sangkar emas itu pada kepiluan. Kamar dengan desain modern itu indah, tetapi tiada beda dengan penjara yang terkonstruksi dari emas. Butiran air dari langit yang berjatuhan semakin deras itu memaksa Ayu tetap tinggal di apartemennya yang berlokasi di pusat keramaian ibu kota negara bagian Victoria, Australia. Demi membunuh waktu, Ayu memutuskan untuk merapikan tempat tinggalnya yang berada di area La Trobe Street itu. Dapur, kamar mandi dan ruang tamu telah selesai ia bersihkan. Selanjutnya, Ayu berniat sedikit menata ulang kamar tidurnya. Ketika sampai pada laci paling bawah pada almari di sudut kamarnya, Ayu ragu untuk membukanya. Puingan kisah itu terkunci rapat bertahun-tahun di tempat itu. Haruskah ini diingat lagi?
Hatinya enggan, tetapi tangannya tergerak membuka kunci kotak itu. Tetesan hujan yang terdengar dari balkon depan kamarnya berjatuhan mengiringi lelehan kesedihan Ayu. Kenangan sendu masa mudanya harus kembali terkoyak. Disentuhnya surat-surat dalam amplop yang tak mampu lagi ia baca. Kaset serta benda-benda penuh aroma romantisme tempo dulu memutarkan kembali ingatan di tahun-tahun itu. Melbourne, kota yang terkenal mempunyai 4 musim dalam sehari itu menyaksikan puzzle hidup beraneka rupa milik si gadis mungil itu tersusun kembali.
Tahun 1987, semasa Ayu masih berseragam putih abu-abu, ia bak puteri keraton yang tak kurang suatu apapun. Kasih sayang bertumpah ruah pada dirinya. Keluarga sederhana nan sejahtera, pergaulan yang tak terdiskriminasi dan cinta kasih yang bertaburan di mana pun ia menjejakan langkah. Masa-masa belianya semakin tampak sempurna dengan adanya Bagus yang selalu mengawalnya ke mana pun ia pergi. Bukan, lelaki bernama lengkap Dimas Bagus Atmaja itu bukan pacar Ayu, ia adalah tetangga dekat Ayu sejak kecil. Rumah kedua muda-mudi yang terletak di Keprabon Surakarta itu hanya berbatasan jalan kecil saja. Usia Ayu dan Bagus terpaut cukup jauh. Bagus yang saat itu tengah meneruskan pendidikan keguruan di Universitas Sebelas maret terlihat lebih dewasa. Perawakannya yang tinggi besar, berkulit hitam manis ditambah lagi anak dari Pak Lurah tanpa menebar pesona saja dia sudah digandrungi gadis-gadis desa. Beruntunglah Ayu karena mereka sudah ditakdirkan berdekatan sejak kecil. Bagus yang tidak mempunyai saudara perempuan begitu sumringahnya kalau disuruh menemani si gadis kecil bermata bulat itu main. Usia yang terpisah 8 tahun itu menempatkan Bagus sebagai kakak yang mengayomi bagi Ayu. Sewaktu Ayu masih sd dan Bagus sltp, mereka main sepeda mini bersama, main gundu, main petak umpet bahkan sampai masak-masakan pakai tanah dan dedaunan pun diiyakan.
Waktu berjalan, Ayu bertumbuh menjadi perawan desa yang memesona jejaka mana pun yang memandanginya. Rambutnya hitam panjang sepinggang, kulitnya kuning langsat, wajah khas Jawa nya yang teduh serta lesung pipitnya dikagumi setiap mata yang melihatnya. Perilaku lemah lembutnya yang khas gadis asal Surakarta semakin mempercantik pribadinya. Kedewasaan mereka tak memisahkan tetapi justru semakin mendekatkan. Bagaimana pun juga, mereka tidak meninggalkan budaya sopan santun daerah mereka. Dipahaminya norma-norma pergaulan antar keduanya.
Seusai mengerjakan tugas kuliah, sore itu Bagus mengayuh sepeda onthel milik bapaknya. Sepeda yang dulu dijuluki sepeda onta itu masih tampak kuat karena dirawatnya dengan baik. Bagus berniat menikmati senja bersama Ayu. Segera dihampirilah adik manisnya itu.
“Dik, ayo dolan neng Sriwedari,” ajak Bagus. )Dalam Bahasa Indonesia berarti ayo main ke Sriwedari].
Setelah mendapatkan izin dari orangtuanya, Ayu mengganti pakaiannya dengan baju yang lebih sopan. Ia kemudian duduk di boncengan belakang sepeda warna hitam itu. Melihat kantor radio swasta kesayangannya masih buka, bagus mengarahkan sepeda ke bangunan itu. Ia bermaksud membeli 1 bundel kartu atensi.
Ayu bertanya, “mau buat apa to Mas kartu itu?”
Bagus menjelaskan kalau dirinya mau meminta lagu sekaligus kirim-kirim salam di program siaran radio nanti malam. Tak lupa, ia juga menyodorkan 2 lembar kartu seukuran kartu pos itu ke Ayu dan memintanya untuk mengisinya. Pada kartu itu, Bagus menuliskan ingin diputarkan lagu Dara Manisku dariKus bersaudara. Di barisan awal salam Bagus menuliskan sederet nama rekan kuliahnya. Lalu, di penutup salam dibuatnya Ayu tersipu karena tulisan lagu ini khusus buat adikku, Ayu. Tak mau kalah jahil, Ayu pun membalas salam itu dengan menuliskan kiriman salam untuk Kang Masnya yang paling ganteng, Dimas Bagus. Dimintanya sang penyiar memutarkan lagu Dina Mariana yang judulnya Jejaka. Kedua kartu itu pun diserahkan kembali ke petugas jaga di kantor itu agar dibacakan nanti malam.
Mereka melanjutkan perjalanan ke Taman Sriwedari. Langit mulai berubah menjadi jingga setibanya mereka di salah satu pusat keramaian kota itu. Solo hari itu tidak terlalu ramai. Layaknya darah muda pada umumnya, sesaat Bagus melamun, “Apa mungkin ya aku suka Ayu?”
Pikiran itu belum dapat terjawab. Jam 18.30, hari telah sempurna gelap. Bagus dan Ayu beranjak pulang setelah membeli 2 arum manis warna merah jambu dan nasi liwet dari simbok berkebaya yang tadi keliling lewat hadapan mereka. Jalanan Kota Solo kala itu tidak begitu padat. Kedua muda-mudi itu hanya memerlukan 15 menit untuk sampai rumah. Di tempat yang berbeda, Bagus dan Ayu sama-sama duduk di hadapan radio menunggui kartu mereka dibacakan. Keduanya berbinar sewaktu kartu mereka terpilih untuk dibacakan di awal. Lagu-lagu romantis yang mereka minta pun seketika memenuhi ruangan.
Sambil senyum-senyum, Ayu mencoret-coret Kawruh Basa Jawa milik kang masnya itu. Digambarinya bagian kosong buku tebal itu dengan sketsa perawakan Bagus dengan perwujudan mirip tokoh pewayangan petruk dan ditambahi kata-kata “Jelek tapi ngangeni”. Kebiasaaan meninggalkan coretan gurauan di kertas kosong itu memang sudah jadi tabiat anak muda zaman dulu. Walau rumah mereka berdekatan, Bagus dan Ayu tak jarang juga menuliskan surat sebagai media komunikasi. Isinya hanya hal sepele, misal pantun atau rayuan gombal saja.
Keindahan tak akan dikenal tanpa hadirnya kenelangsaan. Pertengahan 1988, takdir yang terasa getir digariskan untuk terjadi. Siang itu, sebuah mobil besar warna putih terparkir di halaman rumah Ayu. Dahi Bagus berkerut, siapa tamu yang sedang berkunjung ke rumah tetangganya itu. Tidak biasa ada keramaian di sana. Bagus hanya bisa mengamati dari ruang tamu dalam rumahnya. Ternyata tengah terjadi keributan. Bagus melihat ada beberapa orang berpakaian pegawai negeri dan sisanya berseragam sekolah sewarna dengan punya Ayu. Jantung Bagus lantas terpacu dengan kencangnya. Selang beberapasaat, mobil milik guru sekolah Ayu itu pun melaju meninggalkan rumah berarsitektur joglo itu. Namun, keributan sepertinya belum mereda. Tangisan lirih terdengar ke telinga Bagus. Kepanikan tak mampu ia sembunyikan lagi. Setelah menggembok rumahnya, Bagus bergegas mengetuk pintu rumah Ayu. Terlihat Ayu sedang dikompres oleh Ibunya. Menyadari kehadiran Bagus, Ayu menyebut nama Bagus lirih.
“Mas…,” sebut Ayu.
Bagus tidak mengerti dengan apa yang ia lihat. Sekujur tubuh Ayu memerah. Mata Ayu terpejam dengan air mata yang terus mengalir.
“Ayu kenapa Bu?” tanyanya menyelidik.
Ibu Ayu kemudian mengulang cerita teman-teman Ayu.
“Katanya tadi Ayu mendadak menggigil di kelas Mas. Sampai sekarang panasnya juga belum turun. Matanya ndak kuat dibuka,” kisah Ibu Ayu.
Bagus pun mohon izin mengecek dahi Ayu. Astaga, Bagus pun terkejut. Tinggi sekali demam anak ini.
“Saya ambil mobil dulu ya, Bu, Pak. Ini panasnya sudah berlebihan. Bapak Ibu siap-siap dulu,” pinta Bagus.
Kedua orangtua itu pun berpandangan lalu mengangguk.
Tak lama garasi mobil Bagus berderit, sedan buatan Jepang itu pun keluar dari kandangnya. Tak lupa, dimasukkannya sejumlah uang ke dalam tas kecilnya. Selama perjalanan ke rumah sakit, sesekali mata Bagus melirik ke kaca spion dalam mobilnya. Tampak anak perempuan yang dipangku bapak ibunya itu terdiam dan tak punya daya. Sesampainya di depan ruang gawa darurat, Bagus mengulurkan tangan untuk mengangkat Ayu ke ranjang dorong rumah sakit. Ia arahkan kedua orangtua itu untuk melapor ke petugas berseragam serba putih dulu. Seusai memarkir mobilnya, Bagus menjelaskan ke petugas di loket rumah sakit kalau ia yang membayar semua biaya pasien atas nama Lintang Ayu Asmarani. Lalu ia berlari menuju kamar tempat Ayu diperiksa. Perawat yang mengambil contoh darah Ayu mengatakan kalau adiknya itu mengalami penurunan trombosit drastis sehingga demamnya mencapai 41°Celsius. Ayu pun segera dililit selang infus untuk memberikan energi ke tubuh mungil itu. Tangan bagus tanpa disadari terus menggengam jemari lembut Ayu. Wajah pucat Ayu masih bisa memberikan senyuman seolah berkata semua akan baik-baik saja.
Sayangnya, tiada seorang pun yang mampu melawan kehendak Sang Pencipta Semesta. Ketika demam Ayu mereda, ia menyadari kedua matanya seperti ada titik-titik hitam kecil dan gelombang-gelombang pada pandanganya. Ia tutup lagi mata itu dan menangis. Dipanggilnya nama Bagus.
“Mas Bagus, mataku kenapa?” tanya Ayu.
Bagus menanggapi, “Lha kenapa to Dik?”
Hari kedua terbaring di rumah sakit, kedua mata itu tak mampu lagi menangkap pemandangan apapun. Bapak dan ibu Ayu panik. Mereka meminta Bagus masuk ke kamar rawat.
Ayu berbisik sambil menangis, “Mataku gelap, Mas.”
Tanpa disuruh, Bagus bergegas mencari perawat jaga. Dokter pun datang dan memeriksa kondisi Ayu dengan seksama.
“Sepertinya ada dampak serius dari demam kemarin Mas,” kata dokter itu.
Dokter itu pun memanggil rekannya yang lebih ahli untuk memeriksa lebih lanjut. Pedih terasa ketika spesialis mata itu mengatakan bahwa pasiennya terkena ablasio retina. Ia menerangkan bahwa syaraf mata Ayu lepas karena tidak mampu menahan demam kemarin. Ayu terdiam dan terus meluapkan bulir-bulir kepedihan hatinya itu.
Bagus mengusap kepala Ayu, “Mas bakal nemenin kamu. Jangan nangis lagi, Nduk.”
Janji itu tidak hanya sekedar umbaran sesaat. Bagus lah yang mengangkat Ayu dari jurang keterpurukan. Bagus juga yang menjadi pendamping ketika Ayu harus mengikuti Evaluasi Belajar Tahap Akhir nasional. Selanjutnya, diperkenalkannya Ayu ke panti sosial untuk tunanetra. Akhirnya Ayu bangkit, ia kembali memiliki kepercayaan diri. Belajar Braille, komputer bicara, dan pakai tongkat. Ayu perempuan yang penuh ambisi. Ia pun mengutarakan niatnya untuk melanjutkan studi lebih tinggi lagi. Banyak mimpinya yang belum tercapai.
Tiba-tiba, bapak Bagus yang merasa terpandang itu terusik mendengar omongan orang. Semua orang mengingatkan kalau bisa anaknya jangan pacaran sama perawan buta. Di panggillah Bagus malam itu di ruang tamu. Tanpa berbasa-basi pak lurah desa itu menyampaikan ke mana arah pembicaraan itu. Dia melarang anaknya yang berdarah biru dan sempurna itu pacaran dengan Ayu yang cacat.
“Mau jadi apa rumah tanggamu nikah sama perempuan ndak bisa lihat begitu?” tegas bapaknya kasar.
Bagus menjawab, “Aku ndak pacaran, Pak. Aku sayang Ayu. Dia itu tak anggap kaya adikku. Apa salah?”
Orang nomor satu di desa itu tetap berpendirian bagus harus menjauh dari Ayu. Dipaksanya lelaki yang sebenarnya menyandang gelar “Raden mas” itu berjodoh dengan perempuan yang juga seorang “Raden Ayu”.
Demi rasa hormat Bagus kepada bapaknya, dijauhinya tetangga yang selalu ia kasihi itu. Dibuatnya rekaman suara memakai walkman dan diucapkannya kata-kata perpisahan ke dalam kaset pita itu. Tetap ditulisnya surat-surat sarat kata sayang itu meski Ayu tak akan bisa membacanya sendiri. Dibelikannya kalung berliontin bentuk bintang untuk Ayu. Liontin itu bermakna bahwa bintang akan bersinar terang dalam gelap. Keesokan harinya, Bagus menitipkan kotak yang telah dibungkus rapi itu ke ibu Ayu. Dijelaskannya maksud kedatangan itu. Seusainya mengucapkan kata maaf, Bagus berpamitan. Ayu yang mencuri dengar dari pintu kayu kamarnya itu tak henti menghapus tetesan kehancuran. Kang masnya tak lagi bisa menjadi sandarannya. Tak lagi ia mempunyai sosok sepeduli Bagus. Setelah pendidikannya di Kota Lumpia selesai, menghilanglah Ayu ke Negeri Kanguru. Diabdikannya hidupnya untuk memperjuangkan hak asasi manusia, khususnya kesetaraan gender dan pemberdayaan masyarakat marginal. Ilmu yang ia pelajari di Melbourne diterapkannya di Indonesia, tanah kelahirannya.
Bukan Bagus yang sepenuhnya mematahkan hatinya. Namun, bagaimana pemikiran orang masa itu sungguh memenjarakan orang yang dikatai tidak normal sepertinya pada diskriminasi mutlak. Ayu berharap, tahun demi tahun yang berjalan permasalahan sensitif seperti yang telah dialaminya itu kelak tak terulang pada siapapun.
Tamat
Download:
Realy appriciate mbak, semangat
Cerita seperti ini selalu menggetarkan hati. Sehingga membuat diri ini berinstropeksi apakah kita sudah berjuang sekeras tokoh utama di dunia ini.
Cerita yg bikin trenyuh… Semangat terus berkarya mba’e
Terima kasih untuk apresiasi para pembaca. Semoga tersampaikan nilai-nilai kemanusiaan yang hendak diuraikan penulis.
This is really a good story! Thanks to the author for telling such an excellent lesson contained story.
Kisah nyata ini🤗
Tetap semangat y sayang..suatu saat akan ada kebahagian untukmuu..aamiin
gerget nya dapet apalagi ini sepertinya kisah nyata penulis yang dibumbui fiksi hehe (hasil terawangan saya sih)
Kisah yang begitu menginspirasi. Akan sangat disayangkan kalo perjuangannya hanya di gambarkan dengan bacaan 5 menit saja.
Di tunggu kisah lengkap sang Ayu 😊
Kisah ini sepertinya awal dan akhir dari sepenggal cerita yang pernah saya baca. Benar-benar sosok yang menginspirasi. Sosok yang memiliki mental yang jauh lebih kuat dari yang kita bayangkan. Terima kasih
Dari kisah ini saya berpesan jangan pernah mengintimidasi kekurangan seorang difabel,karna di setiap kekurangan pasti ada kelebihan yang di berikan Tuhan Yang Maha Esa.
Sebuah kisah yang manis meski tiak berakhir dengan indah. Terima kasih untuk kontribusinya. Tetap semangat dan terus produktif berkarya ya 🙂
Terharu..karena sy tau ini berdasar kisah nyata sang penulis..🤗
Tetap semangat & tetap berkarya..