Indramayu – Sering kali kita dengar dari kalangan masyarakat kebanyakan bahwa penyandang cacat atau kaum disabilitas adalah sosok yang gampang tersinggung atau dengan kata lain mereka sangat sinsitif. Anggapan yang demikian tentu saja harus dapat kita sikapi dengan baik dan perlahan mengikis habis anggapan tersebut.
Tapi apakah benar anggapan seperti itu?, apakah kemudian yang memiliki rasa sinsitif berlebih hanyalah kaum disabilitas?, pertanyaan ini tentu saja harus terjawab untuk tidak menimbulkan kesan semacam itu terus berkembang, dan guna menjaga perasaan tertekan dari kaum disabilitas itu sendiri.
Pertanyaan yang harus dicari jawabannya adalah apa sih sinsitif itu?, apakah arti kata ini hanya terbatas sebagai gampang tersinggung?
Jika kita menganalisa kata sinsitif berarti peka terhadap rangsang. Tapi kalau kita artikan lebih luas dalam pergaulan sehari-hari, maka sinsitif mengandung arti tanggap situasi. Tanggap terhadap situasi akan menimbulkan dampak cepatnya untuk merespon sesuatu kejadian. Hal ini penting dimiliki oleh siapa saja tak terkecuali penyandang disabilitas yang akan membuatnya mampu untuk menentukan sikap dan merencanakan langkah apa yang akan ditempuh. Bayangkan saja, apabila sivat sinsitif tidak dimiliki seseorang, pastilah orang tersebut akan menjadi pribadi yang statis. Dengan kata lain sikap dinamis akan muncul dan dimiliki seseorang manakala dia mempunyai rasa sinsitif.
Dalam negara kita yang masih marak dengan pendiskriminasian khususnya terhadap kaum disabilitas ini, tentusaja sifat sinsitif sangat diperlukan, sebap kalau tidak mereka akan selalu menjadi bagian yang sama sekali tidak akan mendapat hak-haknya sebagai warga negara, baik dalam hal pendidikan, pekerjaan, maupun hak-hak yang lain yang selayaknya mereka peroleh. Keadaan inilah yang perlu disebarluaskan kepada masyarakat agar dapat memahami bahwa sikap sinsitif itu tidak negatif bahkan sangat perlu kita miliki.
Hal penting yang mungkin perlu juga dijadikan pegangan oleh kaum disabilitas mengenai anggapan masyarakat umum bahwa sebenarnya anggapan itu perlahan mulai berkurang seiring dengan semakin berkembangnya kemampuan kaum disabilitas, baik dalam hal pendidikan maupun dalam pergaulan. Kendati demikian masih sering kita dengar ada sebagian besar orang menyatakan mengenai gampangnya penyandang cacat tersinggung. Ini muncul karena mereka masih menganggap bahwa penyandang cacat itu tidak perlu macam-macam, cukup dengan menunggu dan menunggu nasip yang akan datang menghampiri.
Hal inilah yang kita bersama harus kikis agar cita-cita masyarakat inklusi dapat terwujud. Dari kalangan disabilitas tentunya harus selalu menyesuaikan diri dengan kehidupan di tengah masyarakat, dan jangan hanya mengeritik masyarakat yang selalu tidak peduli, karena mereka juga tidak tahu cara menghadapi kita. Di sisi lain, masyarakat yang memang sudah paham tentang keberadaan kaum disabilitas, sudah semestinya kita harapkan agar tidak seperti tidak tau menau. Hal ini sering kita temui bahkan dari teman-teman yang nyata-nyata mengajar disekolah yang menangani kaum disabilitas yang pastinya sangat paham, tapi kadang karena kepentingan tertentu sering mengingkari keilmuannya.(Yusron)