Penyandang Disabilitas Coba Commuter Line

Jakarta, Kartunet.com – Perjalanan dengan kereta sebagai sarana transportasi dalam kegiatan bertajuk Barrier Free Tourism (BFT) kali ini memang cukup berisiko, khususnya bagi pengguna kursi roda. Akan tetapi, siapapun berhak menikmati kereta sebagai fasilitas umum, sehingga terselenggaranya BFT adalah untuk menyadarkan pihak-pihak terkait akan pentingnya aksesibilitas stasiun dan kereta bagi semua orang.

 

Kereta listrik comuterline merupakan sarana transportasi umum yang cukup diminati warga Jakarta. Kemudahan akses ke banyak wilayah, harga tiket yang relatif murah, kecepatan dan kenyamanan yang ditawarkan, membuat kereta selalu dipadati penumpang pada jam-jam sibuk. Sebagai  salah satu sarana transportasi andalan ibu kota, kereta seharusnya dapat dinikmati oleh semua orang, termasuk penyandang disabilitas. Karena itu, lewat kegiatan BFT kali ini, 15 orang dengan disabilitas dan 20 orang relawan mencoba menjelajahi stasiun Cikini menuju stasiun UI untuk mengetahui sejauh mana aksesibilitas di sepanjang kawasan tersebut. (26/05)

Baca:  Problematis Pemilu

 

Tiap-tiap penyandang disabilitas rupanya memiliki kendala masing-masing dalam mengakses kereta. Ketiadaan lift atau ram pada stasiun-stasiun layang seperti Cikini menghambat mobilitas para pengguna kursi roda. Tidak adanya guiding block menyulitkan tunanetra mencari letak loket penjual karcis. Kemudian, pemberitahuan tujuan kereta yang datang dengan pengeras suara, tanpa ada informasi visual menjadi kendala bagi para tunarungu. Belum lagi jarak antara lantai peron dan kereta yang tinggi dan jauh, membuat para pengguna kursi roda tidak bisa meluncurkan kursi rodanya secara mandiri saat hendak masuk ke dalam kereta.

 

Faisal Rusdi, turut mengemukakan pendapatnya. Pria yang merupakan pengguna kursi roda ini mengaku dirinya baru kali ini menggunakan kereta listrik Commuterline dalam bertransportasi. Banyak kendala yang ia rasakan saat mengakses stasiun Cikini. “Sebelum menuju loket, kita udah dihadapkan dengan banyak anak tangga. Eskalator yang tersedia juga kurang lebar untuk kursi roda. Selain itu, tadi eskalatornya juga nggak nyala, entah rusak atau kenapa,” ujar tunadaksa yang berprofesi sebagai pelukis ini.

 

Meski telah berlangsung sebanyak tiga kali, agaknya BFT belum memberikan dampak berarti. Menurut Jaka Ahmad, tunanetra pengagas kegiatan BFT, meski mendapat tanggapan verbal yang positif dari pihak-pihak pengelola transportasi, perubahan yang dilakukan masih terkesan lambat. Akan tetapi, Jaka cukup puas dengan animo masyarakat yang meningkat. Terbukti dengan bertambahnya jumlah peserta BFT dari kalangan nondisabilitas yang berasal dari berbagai kelompok masyarakat di luar organisasi disabilitas.

 

Jaka mengharapkan KAI dan pihak terkait lainnya mulai melakukan perubahan. Menurut dia, perubahan sederhana bisa dimulai dengan pemasangan bunyi-bunyian seperti bel angin pada titik-titik tertentu stasiun. Hal ini penting agar dapat memberikan petunjuk pada tunanetra mengenai letak loket penjual karcis maupun pintu masuk menuju peron. “Kalau rekan-rekan di pemerintahan memang mau berubah, hal-hal kecil seperti itu bisa mulai dilakukan kok,” ujar Jaka. (RR)

Baca:  Pendidikan Berbasis Hak

Editor: Herisma Yanti

Bagikan artikel ini
Ramadhani Ray
Ramadhani Ray

Literature lover, disability issues campaigner, Interest to learn something new through reading, training, and traveling.

Articles: 72

Leave a Reply