PENUNGGU POHON BERINGIN

Pada hari Kamis sore. Nisa pergi ke masjid. Melewati pohon beringin.
Setibanya di masjid. Nisa diintrogasi sama salah satu temannya. Namanya, Santi.
“Nis.”
“Iya, San.”
“Kamu tadi berangkat lewat mana?”
“Aku tadi berangkat lewat pinggir kebun. Yang ada pohon beringinnya.”
“Kamu memangnya tidak takut? Lewat pinggir kebun itu?”
“Emangnya apa yang harus ditakuti orang di sana tidak ada penjahat kok. Soalnya waktu maghgrib sudah dekat. Kalau lewat jalur lain. Yang depan warung lumayan jauh. Yang ada terlambat mahgriban, aku. Soalnya, tadi main sampai lupa waktu. Kalau lewat pinggir kebun lebih cepat. Aku tidak terlambat magriban, dan masih bisa berbincang denganmu.”
“Hati-hati aja, kamu. Soalnya ada penunggunya di pohon beringin itu.”
“Yang benar aja, kamu. Kamu emang pernah lihat?”
“Aku sih belum pernah lihat. Cuma pas waktu itu. Aku diceritain sama sepupuku.”
“Kan itu baru diceritain. Gimana kalau nanti sehabis ngaji! Kita buktikan!”
“Ayo. Siapa takut.”
Nisa dan Santi. Tidak langsung pulang.
“Pulangnya nanti, ya, San? Biar sekalian isyaan.”
Santi hanya manggut-manggut.
Mereka pulang dari masjid sehabis isya. Melewati kebun yang ada pohon beringinnya.
“Sriwing-sriwing.”
Bau aroma melati.
Padahal jaraknya dengan pohon beringin. Masih sekitar 2 meter.
“San. Kok bau melati, ya? Kamu merasakan baunya atau tidak?”
“Iya, Nis. Aku juga merasakan.”
Nisa dan Santi. Mempercepat langkahnya. Karena, rasanya sangat merinding.
Ketika di pinggir pohon beringinnya. Ada suara orang menangis.
“Hik-hik! Hik-hik! Hik-hik!”
Mereka mencari suara tersebut. Siapa tahu ada yang sedang menangis di pinggir kebun.
Setelah lingak-linguk ke kanan dan ke kiri. Hasilnya nihil. Akhirnya mereka pulang.
Berhubung rasa penasarannya belum terjawab. Pada minggu berikutnya. Yaitu sekitar jam 09.00. pada malam Jumat.
Dirinya mengajak, Santi. Untuk berjalan-jalan melewati pohon beringin.
Mentang-mentang kediaman Santi. Bersebelahan dengan tempat tinggalnya.
“Ngapain kita jalan-jalan ke sini, Nis?”
“Ya tidak apa-apa sih. Siapa tahu bisa lihat penunggu yang sesungguhnya.”
Saat tepat di samping pohon beringin. Ada yang bertanya dengan suara sayup-sayup. Dari atas pohon.
“Ini sudah malam. Mengapa kalian masih berkeliaran?”
Mendengar hal itu. Nisa bertanya.
“Kamu siapa?”
“Namaku Kun. Lengkapnya kuntilanak.”
Jawabnya. Sambil tertawa.
Dalam keadaan gemetar yang luar biasa.
Santi menyambung.
“Kita tadi habis cari angin. Sekalian refreshing agar tidak jenuh.”
Nisa berkata. Dengan tenang.
“Iya benar itu. Apa yang dikatakan oleh, temanku. Sekarang kita mau pulang dulu. Soalnya rasa jenuhnya sudah hilang.”
Kilah, Nisa.
Sesampainya di teras rumah.
Nisa berucap.
“Ternyata, benar apa katamu. Kalau ada penunggunya di pohon beringin. Sudah gitu matanya melotot lagi. Mukanya terlihat hancur.”
“Dia korban kecelakaan, Nis.”
“Kamu tahu dari mana, San?”
“Menurut kata orang-orang. Yang tersebar dari mulut ke mulut. Dia mau menyeberangi jalan Raya. Dia tidak sadar ada truk yang mau lewat. Gara-gara jalan sambil melamun. Alhasil dirinya tertabrak. Wajahnya hancur. Karena, yang terlindas bagian kepala. Tadinya tinggal di pohon rambutan. Akibat pohon rambutannya ditebang. Dia pindah ke pohon beringin.”
“Oh gitu, San.”
“Iya, Nis. Makanya kalau jalan jangan sambil melamun.”
Tutur Santi.
Setelah mengobrol sekitar setengah jam. Mereka pulang ke rumah masing-masing.
Selesai

Baca:  Aku dan Jatuh Cinta (6-8)
Bagikan artikel ini
Linatun Nisa
Linatun Nisa
Articles: 13

8 Comments

  1. kok seru ya bacanya. menyajikan cerita horor dengan cara berbeda. biasanya kan tokoh di cerita horor itu lari ketakutan ketika ada penampakan. lah ini diajakin ngobrol dan pergi baik-baik lagi hehe. menarik menarik. terus semangat menulis ya.

  2. Semangat nulis terus ya, Nis. Salam kalau ketemu Mbak Kun. hehehehe..

    Izin masukan ya, Sayang. Untuk penulisan kalimatnya bisa diperbaiki lagi terutama terkait penempatan tanda titik. Overall oke sih. Semangatsss!! Ditunggu tulisan berikutnya.

Leave a Reply