Jakarta – Hingar bingar Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) DKI Jakarta kini memasuki masa tenang. Pemilih diberi waktu untuk mempertimbangkan pilihannya yang akan jatuh pada tanggal 11 Juli nanti. Berbagai program dan janji dilontarkan oleh para pasangan cagub/cawagub. Dari mulai janji-janji yang rasional, hingga banyak hal yang memabukkan dan terkesan “tak masuk akal”. Namun dari deretan kata dan janji para calon, isu disabilitas seakan terlewatkan begitu saja. Mereka seakan lupa bahwa ada warga kota Jakarta yang sah meski memiliki disabilitas.
Penyandang disabilitas di negara ini masih ditempatkan sebagai kelompok marginal. Ruang publik yang tidak aksesibel seperti lapangan pekerjaan, sarana transportasi, gedung-gedung, dan berbagai fasilitas umum lainnya menghambat mereka untuk dapat berinteraksi secara normal di masyarakat. Mereka tersisihkan, dan berdampak pada hampir tak pernah dilibatkannya penyandang disabilitas dalam kebijakan-kebijakan publik.
Dari enam pasangan cagub dan cawagub yang ada, jumlah yang banyak sebenarnya, belum ada pasangan yang mengangkat soal-soal disabilitas sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan. Sekalipun ada, itu sebatas isu sampingan dan tak sesuai dengan harapan ideal penyandang disabilitas.
Mungkin, semoga prasangka ini keliru, orang-orang hebat yang akan dipilih hari Rabu nanti masih melihat disabilitas pada takaran chairity. Cukup diberi sumbangan, tambah jumlah subsidi beberapa persen, maka selesai urusan. Padahal tidak sedangkal itu persoalannya.
Pemimpin DKI Jakarta untuk lima tahun ke depan yang dibutuhkan adalah orang yang memiliki hati dan rasio. Hati untuk merasa empati pada rakyat, dan rasional untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang cerdas. Dua hal tersebut harus berjalan sinkron di diri seorang pemimpin, tidak hanya salah satu, atau bahkan tak ada sama sekali.
Apabila kebijakan diambil hanya karena pendekatan hati, maka rasa kasihan yang mendominasi. Ketika menangani penyandang disabilitas, hanya kata “kasihan” yang muncul, dan tak lain perhatian ditunjukkan pada pemberian sembako, amplop saat hari raya, atau sumbangan. Mungkin pihak pemerintah sudah merasa berpahala ketika melakukan semua itu. Mungkin juga mereka tak sadar bahwa pendekatan seperti itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah penyandang disabilitas.
Sebaliknya, ketika hanya rasio yang berjalan, maka berbagai kebijakan yang dibuat tidak tepat sasaran bagi penyandang disabilitas. Contoh paling jelas adalah pembangunan jembatan penyeberangan orang (JPO) untuk menuju fasilitas bus Trans Jakarta. Sebagian JPO dibuat model bidang miring. Tujuannya adalah agar pengguna kursi roda dapat menggunakan bus Trans Jakarta secara mandiri. Namun apa yang terjadi, bidang miring yang dibuat pada beberapa tempat terlalu curam, sehingga membahayakan pengguna kursi roda sendiri.
Kekeliruan tersebut semata-mata terjadi karena pembuat kebijakan tak menyerap langsung aspirasi mereka. Penyandang disabilitas hanya sebatas dijadikan objek dan bukan subjek yang punya suara.
Pemimpin yang diinginkan adalah dia yang mampu merasakan dengan hati kebutuhan penyandang disabilitas, dan berfikir rasional bahwa mereka juga bagian dari warga yang tak terpisahkan. Karena warga dengan disabilitas juga adalah satu kesatuan dengan warga Jakarta pada umumnya, naif apabila masih memandang mereka sebagai sesuatu yang identik dengan kata “khusus” apalagi “merepotkan”.
Pemimpin yang diinginkan adalah dia yang dapat memandang disabilitas sebagai bagian dari hak asazi manusia. Pandangan bahwa baik warga dengan disabilitas atau nondisabilitas punya hak atas ruang publik yang sama. Seperti ketika membangun trotoar untuk pejalan kaki. Mengapa harus berfikir membangun fasilitas khusus bagi penyandang disabilitas? Pola pikir yang ada seharusnya adalah membangun trotoar untuk segenap warga tanpa terkecuali. Jika konsep ini yang dipakai, berarti trotoar tersebut harus punya lebar dan tekstur yang layak untuk pengguna kursi roda, memiliki braille way bagi yang punya gangguan penglihatan, dan nyaman bagi warga yang tak memiliki keterbatasan fisik.
Redaksi menantang kepada para cagub dan cawagub Pemilu Kada DKI Jakarta 2012. Bagaimana cara mereka dapat menginklusifkan warga dengan disabilitas sejumlah 21.000 jiwa ini? Agar tak selamanya penyandang disabilitas menjadi kelompok marginal di ibukota. Tak memiliki suara, dan terabaikan.
Belum terlambat para calon mulai mempertimbangkan perhatian pada warga dengan disabilitas. Jakarta adalah ibukota negara, maka segala sesuatu di Jakarta akan jadi percontohan nasional. Pemimpin yang peduli pada disabilitas, akan jadi contoh baik pada daerah-daerah agar berfikir juga bahwa mereka adalah bagian yang tak terpisahkan. Hanya jangan sampai, timbul kepedulian semu, yang menempatkan penyandang disabilitas, sekali lagi, sebagai objek pencitraan semata.(DPM)