Pemberian Terakhir

|Cerpen tentang pengabdian dan kerinduan seorang anak pada ayahnya. Selamat membaca.

“Kakak baik, tapi ayah tidak…” jawab Kak Eka setelah duduk di satu-satunya kursi dalam kamar.
“Memang ada apa kak?” Tanya Tri tanpa ekspresi.
“Tadi malam,”
Kak Eka berhenti sesaat untuk menhela nafas mencoba menenangkan dirinya sebelum berkata
“Ayah dapat musibah kecelakaan saat menyetir taksi semalam….”.
Mimik muka Tri terlihat aneh saat mendengar berita dari kakaknya. Raut wajahnya terlihat senang alih-alih sedih karena Ayahnya kecelakaan.
“Syukurlah, ini balasan atas perlakuannya padaku selama ini!”
Kak Eka terlihat tenang mendengar pernyataan Tri tadi. Ia sudah tahu pasti Tri akan berkata seperti itu dengan ketidaktahuannya sekarang.
“Kamu tidak boleh berkata seperti itu, Beliau itu Ayah kamu sendiri”,
“Hah Ayah?, mana ada ayah yang membuang anaknya sendiri ke tempat busuk seperti ini!” ujar Tri setengah teriak.
Kak Eka merangsek maju dan merangkul adiknya yang dikuasai emosi.
“Jika kamu mengerti Tri,”
“Mengerti apa!” sela Tri.
“Ayah selama ini sangat menyayangi mu” lanjut Kak Eka tidak mendengarkan rontaan Tri.
“Ia bekerja siang malam demi untuk membiayai rehabilitasimu di tempat ini. Ia ingin melihatmu cepat sembuh dan menjadi anak baik seperti dulu lagi. Lalu Ia juga sudah menyesali sikapnya yang mungkin terlalu keras selama ini terhadapmu”.
Terasa seperti baru saja seember air dingin yang mengguyur Tri dari kepala ke ujung kaki saat Kak Eka melepaskan pelukannya. Memang saat itu fikiran Tri sejuk dan jernih kembali menyadari semua yang terjadi. Tapi Ia juga merasa malu dengan buruk sangka terhadap ayahnya sendiri. Tri masih dalam ketertegunannya saat Kak Eka bangkit dari duduknya dan membelai rambut Tri lembut.
“Kakak pulang dulu ya. Tenanglah, keadaan Ayah tidak terlalu parah. Ingat, kami semua percaya padamu….”.
Mendengar kata ayah, Tri merasa semakin bersalah dan menundukan kepalanya dalam-dalam. Saat Ia menegakkan kepala dan ingin mengeluarkan beberapa patah kata dari dalam tenggorokan yang terasa kering, yang ia temukan hanyalah sisa cahaya semakin menghilang dari daun pintu yang tertutup.

Baca:  Dengarlah walau Engkau Tak Bisa Mendengar

Tri beranjak dari tempat tidurnya dan sekarang berdiri di balik jendela. Jendela itu menghadap ke kebun yang di tengah-tengahnya terdapat kolam ikan dengan air sangat jernih. Dilihatnya ada seekor ikan yang sedang berusaha melompat untuk keluar dari kolam. Setelah beberapa kali mencoba, ikan itu berhasil keluar dari kolam dan sekarang menggelepar-gelepar entah senang atau penyesalan di lantai batu. Beberapa menit ikan itu terus menggelepar-gelepar cepat, kemudian semakin lambat, lambat, lemas, dan diam kaku tak bergerak.
Ia berfikir bahwa dirinya seperti ikan tersebut. Ingin memperoleh kebebasan dari tekanan yang membatasi dirinya. Tapi Ia tidak tahu apakah dengan kebebasan itu akan berakibat baik atau buruk. Ia semakin teringat pada ayahnya yang keras untuk mendidiknya ke arah yang benar. Ternyata tidak semua kekangan akan berakibat buruk untuk seseorang. Malah peraturan sengaja dibuat untuk kemaslahatan hidup manusia sendiri. Di dalam tangis yang setetes demi setetes membasahi pipinya, Ia bersumpah dalam hati.
“Aku berjanji akan dapat memenuhi harapan keluarga, dan tidak ingin menjadi ikan yang mati itu!”….

*****

Seorang pemuda dengan langkah tegap berjalan menyelusuri gang sempit. Gaya rambutnya rapi dan licin khas orang kantoran. Ia hanya mengenakan kemeja putih yang ditutupi oleh jaket hitam yang tak dikancing. Bawahannya menggunakan celana hitam panjang yang disempurnakan dengan sepatu kerja hitam mengkilat. Ditangannya menjinjing tas berukuran sedang berisi Jas, Dasi, laptop, dan perlengkapan kerja lainnya. Ia adalah tri. Seorang eksekutif muda yang sudah tinggal selama 7 tahun di kota Bandung ini. Sebagai sarjana lulusan salah satu universitas ternama di kota ini, Tri berhasil menjadi seorang manager keuangan walau baru bekerja selama tiga tahun.

Baca:  Kakman dan Penjual Sekuteng

Kakinya mulai terasa letih ketika dilihatnya sebuah rumah kontrakan sederhana berdiri tepat di hadapannya. Rumah kecil itu yang ditinggali tri selama kurang lebih tiga tahun terakhir. Bukan karena kebetulan atau tidak mampu ia tinggal di rumah sederhana itu, tapi Ia memiliki impian tertentu di masa depan.

Saat ia menginjakan kaki di teras kecil rumahnya, hampir tak menyadari akan seseorang yang sedari tadi menunggu. Ia tak bisa mengenali siapa orang di hadapannya sekarang. Pandangannya masih kabur karena perubahan intensitas cahaya yang cepat.

“Ternyata, selama tiga tahun ini kamu menghilang ke tempat ini tri….”
Tri mulai mengenali siapa yang ada di hadapannya. Selain karena suara yang sudah sangat dikenalnya, pandangannya sudah mulai jelas sekarang.
“Oh kak Eka, dari mana kakak tahu alamat saya?”
“Kakak tak sengaja menemukan majalah yang berisi tentang profil kamu. Jadi ya memang sulit ya buat profesional muda berprestasi di sebuah perusahaan terkenal untuk menyembunyikan keberadaannya!”
Tri sudah membuka kunci pintu dan mempersilahkan Kakak tercintanya itu untuk masuk. Sebenarnya Ia tidak keberatan sama sekali kedatangan keluarganya. Karena Ia yakin impiannya sebentar lagi akan terwujud.
“Bagaimana kabar ayah ibu kak, mereka tidak marah kan selama tiga tahun ini pada saya?”
“Ya mereka tidak marah, tapi sangat rindu sekali dengan anak laki-laki satu-satunya yang bandel itu, terutama Ayah”
“Ayah?…”
Tri merasa seperti ada pedang yang baru menusuk dadanya. Kekhawatiran itu kembali melandanya. Ia takut jika kembali menyakiti hati ayahnya.
“Ya ayah. Kamu tahu kan beliau sudah tidak bekerja selama beberapa tahun ini. Jadi mungkin ia ingin melihat hasil pekerjaannya selama ini. Atau….”
“Atau apa kak?” desak Tri cepat.
“Atau Ia masih merasa kalau kamu masih marah terhadapnya”
Terdengar desahan nafas panjang dari Kak Eka yang masih terlihat cantik. Tri tahu, pasti ada sesuatu yang serius di balik semua ini. Tapi Ia tetap tidak bisa pulang sekarang.
“Tapi Aku tetap tidak bisa bertemu mereka sampai aku benar-benar sukses. Oh iya, kakak mau minum apa?” tanya Tri mencoba mencairkan suasana.
“Tak usah, waktu kakak sedikit.”
Kak Eka menyelipkan tangan halusnya ke dalam tas bahu bawaannya untuk mengeluarkan sesuatu. Ia meletakan selembar kertas dengan logo salah satu maskapai penerbangan lokal di meja tepat di bawah hidung Tri.
“kakak sudah harus ke bandara sekarang untuk penerbangan beberapa menit lagi. Tapi ini sudah ku persiapkan tiket untuk penerbangan esok hari.”
Tri terpaku menatap lembaran kertas yang ada di hadapannya. Ia tak tahu harus berbuat apa dengan benda itu.
“Pokoknya kamu harus pulang secepatnya, ayah menunggumu!” ujar kak Eka yang sudah berdiri di ambang pintu.
Saat Tri menatap ke arah kakaknya, pintu sudah tertutup dan sosok Kak Eka tak terlihat lagi.

Baca:  Sepasang Mata Coklat

Ditatapnya kembali tiket pesawat dari Kak Eka. Tangannya meraih lembaran kertas itu, dan merobeknya menjadi empat bagian.
“maaf ayah, aku tidak bisa pulang sekarang. Impian kita sebentarlagi akan terwujud”

Kenangan 12 tahun yang lalu mengalir deras di benak Tri. Saat itu, Ia diajak oleh ayah ke tempat kerjaan. Tri duduk di bangku mobil sebelah tempat ayahnya menyetir. Ayahnya memang bekerja sebagai supir kantor. Itulah satu-satunya keahlian yang Ia miliki. Walaupun begitu, Ia merasa bahagia karena sudah cukup untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Bahkan dapat menyekolahkan sampai masuk perguruan tinggi.
“Nah nak,” berkata Ayah kepada tri.
“Sekarang kamu sudah tahu bagaimana pekerjaan ayah sehari-hari. Ayah tak ingin kamu bernasib seperti ayah yang berpendidikan rendah ini. Tapi ayah ingin kamu mendapatkan pekerjaan yang baik untuk dirimu sendiri dan keluarga di kemudian hari. Oleh karena itu, kamu harus belajar yang baik setinggi-tingginya. Ayah berjanji untuk kerja keras sampai semua anak ayah lulus sekolahnya!”
Tri hanya mengangguk-angguk tidak memperhatikan. Ia sibuk memandang pemandangan di kiri jalan. Sampai pada saat mobil itu berhenti di trafick light dan mata Tri mengarah ke sebuah show room mobil.
“Tapi ada satu lagi impian ayah, suatu hari nanti ayah ingin mobil sendiri”
Kata ayah dengan lirih. Tapi cukup jelas didengar Tri. Tri beralih menatap ayahnya. Ternyata Ia juga sedang memandang ke arah show room mobil yang berada persis di sebelah mobil mereka berhenti. Tatapan mata ayah jauh menerawang. Sepertinya Ia sedang melihat jauh ke masa depan yang belum pasti adanya.
Tri menunduk dan berkata dalam hati,
“Aku janji yah….”.
*****

Bagikan artikel ini
Dimas Prasetyo Muharam
Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

Articles: 313

3 Comments

Leave a Reply