“Assalamualaikum, Bu, Bu, Ibu di mana!”
Terlihat seorang pemuda dengan wajah yang bercahaya dan perawakannya yang tinggi serta tubuh yang berisi. Ia menggunakan celana panjang berwarna hitam dan kemeja putih yang semakin memperlihatkan wajah yang menyejukkan dan penuh optimisme. Saat Ia selesai membuka sepatu hitam yang terawat, Seorang wanita setengah baya yang masih menggunakan celemek masak menghampirinya.
“Wa alaikumsalam, ada apa Tri panggil-panggil Ibu sebegitu hebohnya”.
Tri segera menghampiri Ibunya dan sembah sungkem. Ibunya memegang tangan Tri dan menyuruhnya berdiri. Tri berdiri kemudian memeluk Ibunya dengan berlinang air mata. Tinggi mereka tidak seimbang, tinggi dari Ibunya Tri hanya mencapai dagu dari Tri sendiri.
“Alhamdulillah bu, Tri lulus SPMB dan diterima di Universitas impian Tri”,
“Kalau begitu Ibu ikut bersyukur. Selamat Ya nak!”.
Ibu Tri membelai kepala anaknya dengan sayang.
“Oh iya bu, Bapak di mana?”,
“Sepertinya bapakmu sedang di kebun tuh!”
Ibu Tri mengacungkan jari telunjuknya ke arah bagian belakang dari rumah yang sederhana itu.
Tri menuju ke arah yang ditunjukan Ibunya. Ia berdiri sejenak di ambang pintu yang di hadapannya terdapat sepetak kebun kecil 3X4 meter. Ia melihat Ayahnya masih menggunakan baju seragam kantor sedang duduk bersantai menghadap tanaman yang habis disiram. Moment ini adalah saat pavorit dari Ayah. Ia sangat senang memandangi tanaman obat-obatan dan buah yang segar setelah disiram. Di tangannya tergenggam segelas kopi yang terlihat uap kecil masih mengepul di atasnya. Ia tidak menyadari Kehadiran Tri di sebelahnya. Matanya terbius dengan keindahan sinar matahari sore kota Jakarta yang dipantulkan oleh tetes-tetes air.
“Pak, aku punya kabar gembira untuk kita semua”.
Tri mengejutkan ayahnya dengan menggenggam tangan ayahnya yang sudah mulai berkerut itu. Tri melakukan hal serupa yang Ia lakukan kepada Ibunya.
Sebelumnya, Tri bukanlah anak yang berbakti seperti sekarang.
Menjadi anak ketiga dari tiga bersaudara yang kedua kakaknya adalah perempuan, Ia sangat dimanja sekali oleh Ibunya. Tapi ayahnya malah sebaliknya, Ia menginginkan anak laki-laki satu-satunya itu menjadi Pria sejati dan bertanggung jawab. Ia mengharapkan agar Tri dapat menjadi penerus keluarga dan tulang punggung yang dapat menaikan derajat keluarga.
Ayahnya terus memaksa agar Tri mau belajar yang rajin agar nilai-nilainya baik di sekolah dan memperoleh sekolah negeri terus sampai kuliah. Maklum saja, keluarga mereka adalah keluarga yang sederhana jadi hanya mampu menyekolahkan di sekolah negeri. Jarak kelahirannya dengan kakak-kakaknya jauh sekali. Sehingga pada saat Tri masuk SMA kelas 1, kakak yang keduanya saja sudah semester akhir di kuliahnya. Lalu untuk kakak yang pertamanya, Ia sudah menikah dengan sesama rekan dokternya. Kemudian Tri yang masih ingin bebas, merasa tertekan dengan semua tuntutan dari ayahnya. Tri malas sekali belajar, Ia masih ingin banyak bermain bersama teman-temannya. Walau pun malas seperti itu, Ia tetap mendapat peringkat sepuluh besar dalam kela dan naik kelas tanpa ada masalah sedikitpun. Ya paling-paling merah-merah dikit pada pelajaran agama dan PPKN gitu deh!.
Di sekolah tri memiliki banyak teman. Terutama teman-teman yang minta bantuannya untuk diajari pelajaran di sekolah. Itulah tehnik yang dilakukan Tri dalam belajar. Sedikit sekali belajar, tapi pada saat mengajari teman-temannya Ia langsung paham dan seterusnya tidak pernah membukanya lagi. Oleh karena itu, Ayahnya memaksa Tri untuk lebih rajin lagi belajar agar nilai-nilainya dapat dimaksimalkan. Tri tidak menuruti nasihat itu, Ia sudah cukup puas dengan nilai-nilainya yang pas-pasan selama ini.
Lalu awal yang hampir merusak masa depan dan merenggut nyawa ayahnya terjadi. Ia terjerumus dalam penggunaan obat terlarang. Hal itu dilakukannya pada saat ia sedang belajar brsama di rumah temannya Derry yang anak orang kaya. Sehingga Ia selalu dapat gratisan saat menggunakan barang haram tersebut. Tapi setelah naik ke kelas 2 SMA, Derry beserta orang tuanya pindah ke luar negeri. Tri bingung bagaimana untuk memenuhi ketergantungannya itu.
Akhirnya Ia mulai nekad dengan mencuri barang-barang yang ada di rumahnya untuk dijual. Pada awalnya hal tersebut tidak ada yang mengetahui. Tapi setelah nilai-nilai Tri semakin anjlok dan gerak-geriknya yang mencurigakan, Ayah Tri mulai curiga. Lalu Tri ketahuan dan dengan paksaan dari Ayahnya Ia dimasukan ke pusat rehabilitasi.
Tri sangat kesal pada Ayah karena diperlakukan seperti sampah. Bahkan lebih parah lagi yaitu seperti pakaian robek yang bukannya diperbaiki tapi malah dibuang ke selokan…. Dendam itu akhirnya luntur setelah suatu pertemuan di pagi yang tak terduga.
“Siapa tuh yang datang?” tanya Tri yang matanya silau melihat cahaya masuk dari pintu kamarnya yang terbuka.
Dilihatnya orang yang masuk itu menutup kembali pintu dan berjalan menuju jendela untuk membuka tirai.
“Kamu ini tri, sudah siang masih tidur saja!” ucap orang itu akhirnya.
Tri mengenali siapa sumber suara itu. Semakin jelaslah saat tirai mulai terbuka dan seluruh isi kamar menjadi terang karenanya.
“Oh kakak, apa kabar kak, ada apa datang kemari?” tanya Tri yang sedang menggeliat malas di atas kasur.
Ternyata orang yang datang adalah Kak Eka, satu-satunya saudara yang paling baik menurut Tri. Kak Eka tinggal di Jakarta bersama suaminya sesama dokter mata.
bersambung…….. 🙂
bingung, ini cerita bersambung apa gimana?
oo, itu bukan bersambung. cuma dibagi2 ke dalam beberapa bagian saja. klik saja halaman berikutnya. itu biar loading tidak terlalu berat saja. anyway, thanks sudah baca 🙂