Jakarta, Kartunet.com – Pada pembahasan pembelajaran matematika untuk anak Gangguan Emosional dan Tingkah Laku (GETL) ini, kita akan berkaca pada proses pembelajaran di SLB E Handayani, yakni sekolah di bawah naungan dinas sosial yang mengajarkan khusus anak-anak yang memiliki kasus hukum dan sosial. Di SLB E Handayani ini pembelajaran matematika tidak jauh berbeda dengan sekolah reguler. Beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dan diberikan perhatian khusus dibandingkan di sekolah reguler pada saat mengajar matematika di antaranya adalah strategi dan media belajar.
Selama proses pembelajaran berlangsung, guru SLB E Handayani biasanya mendapatkan kendala dalam memperkirakan waktu pelaksanaan belajar matematika. Hal ini dikarenakan estimasi waktu yang dibutuhkan ternyata lebih lama dibandingkan dengan yang direncakan sebelumnya, sehingga tidak sesuai dengan RPP (Rencana Program Pembelajaran). Misalnya saja, jika di RPP suatu materi direncanakan tercapai dengan tiga kali pertemuan, dalam pelaksanaanya di SLB E Handayani satu materi matematika baru bisa tercapai dengan lima kali pertemuan. Lambannya proses pembelajaran ini bukan dikarenakan murid-murid SLB E Handayani tidak memahami pelajaran, melainkan karena mereka terlalu malas berpikir.
Dalam mengantisipasi hal ini, biasanya guru matematika SLB E Handayani mengurangi tingkat pencapaian murid dalam memahami suatu materi. Misalnya, dalam satu materi seharusnya murid mempunyai pencapaian menguasai hingga 4 KD (Kompetensi Dasar), tetapi oleh guru diringankan cukup hingga 2 KD (Kompetensi Dasar). Jadi, dengan estimasi waktu sesuai dengan program belajar selama satu tahun, murid memliki pencapaian yang berbeda dengan anak reguler. Sehingga, estimasi waktu yang terlaksana sesuai dengan rancangan yang dibuat. Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah media pembelajaran. Untuk media pembelajaran matematika, khususnya bangun datar dan bangun ruang, guru menggunakan media nyata yang terbuat dari kardus atau kayu.
Media yang dibuat guru harus besar dan mudah dilihat murid jika guru memegangnya di depan kelas. Media yang dibuat juga harus aman untuk kelas, karena jika murid melempar-lempar media dapat dipastikan bahwa media aman dan tidak melukai murid lainnya. Misalnya, media untuk materi bangun datar dan bangun ruang cukup menggunakan styrofoam atau kardus, bukan dari kayu atau kaca yang bisa membahayakan murid dan guru saat di kelas.
Adapun strategi pembelajaran yang diterapkan di SLB E Handayani ini tidak jauh berbeda dengan anak-anak pada umumnya, Hanya saja, guru harus bertindak lebih keras dan tegas agar murid-murid mau mengerjakan tugas dengan baik dan benar.
SLB E Handayani juga diterapkan sistem peer teaching atau tutur sebaya. Murid dengan kemampuan memahami yang lebih lamban daripada murid yang lain akan dibantu oleh murid lain yang sudah terlebih dahulu memahami. Akan tetapi, sebagaimana umumnya murid SLB E, tutur kata dan penyampaian yang dilakukan murid SLB E Handayani kepada temannya cukup kasar dan frontal. Selebihnya, tidak ada yang berbeda dalam pembelajaran matematika anak GETL dengan anak umum. Hal ini dikarenakan kemampuan intelektual mereka sama dengan anak umum, hanya saja motivasi dari dalam diri mereka kurang.
Ada satu hal menarik yang diterapkan di SLB E Handayani ini yang mungkin juga diterapkan di SLB E lainnya di Indonesia atau negara lain. Yaitu, setiap kali murid kekurangan motivasi dan malas melakukan penghitungan atau mengerjakan soal, guru mulai menstimulus dengan menganalogikan perhitungan matematika dengan pembelian sebuah rokok atau minuman keras. Pola pembelajaran ini tidak berlangsung secara kontinu, melainkan hanya digunakan di waktu tertentu sesuai dengan kondisi kelas.
Seperti dikemukakan Cruickshank (1980), terdapat kesenjangan antara kemampuan potensial anak GETL mereka dengan kemampuan yang aktual, atau dengan istilah sederhana cenderung berprestasi dibawah potensinya dikarenakan manifestasi dari problem emosionalnya. Hal ini berarti bahwa problem belajar merupakan faktor akibat dari adanya problem emosional. Murid di SLB E juga banyak yang malas belajar, terutama dalam pelajaran matematika sehingga prestasi mereka kurang baik. Hal ini bukan dikarenakan kemampuan intelektualnya yang kurang, melainkan karena kondisi emosionalnya yang bermasalah.
Pembelajaran yang dilakukan guru di SLB E Handayani juga sudah cukup sesuai dengan teori (Weiss dalam Hallahan dan Kauffmann, 2006), yakni guru sudah menerapkan strategi khusus agar siswa mau mendalami suatu pelajaran, khususnya pelajaran matematika yang menurut mereka membosankan. (fathul)
Editor: Muhammad Yesa Aravena