PEMBALASAN YANG CANTIK

“Jangan berlari pada masa lalu hanya karna kamu merindukannya. Jika ia benar-benar layak, ia takkan berada di belakangmu, tapi di sampingmu.”

Boleh juga nasihat bijak itu! Seolah-olah kita ditegur untuk tidak mencampakan masalalu sebagai sesuatu yang buruk dan hanya tempat buruk pula lah tempat sepatutnya.
Dari sekian juta masalalu, aku memiliki sebuah kenang-kenangan manis dimana dari sanalah aku dapat mengubah segalanya menjadi sangat baik.
Saat itu aku seorang remaja putri kelas akhir sebuah SMU ternama di kotaku, dan sebagai remaja yang normal, benih-benih cinta sedang tumbuh berbunga dalam hatiku.
Seorang Lelaki asal kota hujan yang selalu membuat posisi tidurku tak lagi nyaman.
Sosoknya yang tak banyak bicara, tingkahnya yang sering konyol, senyumnya yang terasa pahit serta sikap Introvert nya yang berlebihan, membuat setiap detik seakan jadi uap begitu dia melangkah menjauh.
Namun inilah hidup, ketika jarum panjang dengan senang hati akan selalu mengikuti kemana arah sang jarum pendek berputar, tak demikian halnya dengan cinta.
Dia punya putarannya sendiri, yakni hati yang menguasai dan menjadi kontrol kemana seharusnya dia menetapkan arah.

***
Hari sudah gelap ketika angkutan umum itu berhenti di gerbang asramaku. Sebuah komplek rehabilitasi sosial yang berorientasi pada ketunanetraan anak didiknya.
Setelah membayar ongkos dengan gontai aku berjalan langsung menuju masjid.
Sudah menjadi kebiasaan, setiap pulang dari sekolah aku melaksanakan shalat maghrib sebelum pulang ke asrama.
Dalam sujud panjang kuuntai banyak harap, untuk sepanjang tahun yang akan kujalani hingga akhir yang memuaskan itu tiba.
Untuk segala sesuatu yang pahit, yang selalu mengikuti arah langkah ini, agar selalu diberikan jalan sebagai obat penawar.
Untuk segala cita, agar bermuara gemilang atas secercah perjalanan yang melelahkan.
Dalam perjalanan pulang ke asrama, aku mendengar sekelompok orang yang ternyata para legislatif organisasi tengah menggelar rapat tertutup.
Dari daun jendela yang terbuka aku mendengar sederet jenis lomba yang akan digelar pada peringatan hut RI tahun ini.
Mereka ramai menyebutkan berbagai kategori dari sepak bola, bola voli, catur, masak memasak, panjat pinang, balap karung, tarik tambang, setrika baju sampai dengan main gapleh, santer memenuhi ruang rapat.
Namun bukan itu sebenarnya yang menarik perhatianku, karena tiba-tiba suara bernada pendek itu meskipun terdengar pelan mampu  menjadikan langkah ini terhenti.
Suara spesial dari seseorang yang sudah beberapa minggu ini menjadi luka paling dalam di hatiku.
Sudah seminggu ini segala sesuatunya berubah, tak ada lagi canda tawa, tak ada lagi pesan-pesan singkat gokil, tak ada lagi detak jantung yang menyela hebat. Semua lenyap seiring dedaunan di atas bangku batu yang mengering oleh angin musim.
“Ah! bodoh sekali aku ini? bisa-bisanya membuang-buang waktu hanya demi suara seseorang yang menyakitiku.” Maka akupun mempercepat langkah agar segera sampai ke asrama.

Baca:  Sesal di Akhir Cerita

Hari demi hari berjalan seperti biasa. Aku berangkat ke sekolah dari pagi sampai maghrib, menghabiskan banyak waktu untuk persiapan UAN agar mencapai nilai memuaskan.
Hingga suatu hari datanglah para pengurus organisasi membagikan selebaran pengumuman lomba.
Jujur saat itu hati aku masih dipenuhi rasa kecewa oleh lelaki yang terlibat dalam kepanitiaan tersebut.
Tahun ini aku putuskan untuk tidak mengikuti acara apapun dengan alasan kuat konsen pada ujian yang tinggal hitungan minggu.
“Harusnya kamu maju untuk perwakilan asrama kita pada lomba tenis meja Nens! di sini siapa lagi yang jago, ya cuma kamu!” Sri teman baikku terus mengompori. Saat itu aku tak pedulikan ocehannya karena tengah sibuk memainkan rubik.
“Aku lagi serius nih Sri! di sekolahku juga ada lomba Rubik, dan aku mau ikut tanding. Gengsi ah saingannya tunet lagi tunet lagi!”  Aku mencibir geli. Sebenarnya dalam hati memang sudah sensi sama kepanitiaan asrama khususnya pada dua orang pengurusnya.
“Maju saja lah! kalau menang hadiahnya boleh kamu lempar sama aku! toh lawan tandingnya juga cetek semua kalau melawan kamumah!”
“Memang siapa aja yang udah daftar tenis?” Aku sedikit penasaran.
“Yang kudengar sih ada si Eti, si Santi, sama si Lina! yang lain aku gak ingat.” Dek! pada nama terakhir itu jantungku seperti mengerem detakannya. Seketika tanganku yang asik dengan rubik mendadak terhenti.
“Yaah! cetek semua yah lawannya? gak seru dong!” Aku berpura-pura tak tertarik.
“Tapi masa sih kamu akan membiarkan si cewek buntet itu menang? makin dicayang-cayang dong sama mister Kiler!” Kali itu ucapan Sri benar-benar mendidihkan darah mudaku. Tak fikir panjang aku langsung mencantumkan nama di kolom pertandingan tenis meja untuk mewakili asrama.

***
Ruangan yang cukup luas itu seakan ingin menjadi saksi bagaimana aku membalaskan rasa sakit secara intelek.
Puluhan warga asrama dari anak asuh sampai para pengurus tak terkecuali dua sosok menjijikan di pojok ruangan hadir seperti membawa segunung rasa penasaran.
Para juri dan panitia diberi kursi kehormatan tepat sebelah kanan-kiri meja. Penonton lainnya cukup berdiri teratur tak jauh dari arena pertandingan.
Saat aku masuk ruangan suasana terasa berubah hambar. Aku mendengar bisik-bisik yang mengarah jelas pada nama besar pemain tenis putri yang tak terkalahkan.
“Ya ya!  kali ini akan kubantai siapapun yang membuat masalah denganku!” Itu yang berkobar dalam hati sejak berangkat dari kamar tidur tadi.
Peserta pertandingan tenis putri memang tak sebanyak peserta putra. Hanya ada delapan orang yang merupakan perwakilan asramanya masing-masing termasuk aku.
Saat mengambil nomor undian aku sedikit kecewa, karena bukan cewek sok imut itu yang ternyata jadi pasanganku diputaran pertama.
“Huh! kalau saja dia orangnya, pasti aku bully  sampai game 11!” Aku mengumpat sebal. Tapi tetap tenang dengan menyalami lawan  pertamaku di penyisihan yang bernama Dewi.
Untuk putaran pertama ini yang maju pertama kali adalah pasangan Eti dan Asih. Pertandingan berlangsung lambat karena dua-duanya ternyata masih belum mahir dalam bermain tenis.
Demikian pula dengan pasangan kedua, hanya membuat waktu pertandingan serasa lebih panjang dari yang disediakan.
Perasaanku sudah dibuat jengkel khawatir waktu pertandingan akan habis sebelum misiku berhasil.
Hingga tiba pada pasangan ketiga, yakni cewek menyebalkan itu dengan lawan main yang masih sama-sama teman seasramanya.
Aku beringsut mendekati meja. Ingin melihat jelas bagaimana jalannya pertandingan dari jarak  dekat.
Semua peserta yang lowfision memang diberi peraturan harus menutup mata dengan blind fold yang disediakan panitia.
Aku memanfaatkan kesempatan itu dengan memberi komando pelan agar dia dapat memenangkan pertandingan.
Ku bisikan perintah tersebut saat tangannya mengarah tepat dalam menyambut datangnya bola. Tentu saja dia tak mengenaliku dikarenakan matanya yang tertutup rapat.
Sepertinya dia   kesulitan dalam beradaptasi menyeimbangkan suara gemericik bola tanpa penglihatan sebagai pembantu.
Aku  harus meyakinkan bahwa dia akan keluar sebagai pemenang sebab harus bertemu denganku difinal nanti.
Aku perhatikan dengan seksama cara dia bermain, dari teknik memukul bola, strategi mengecoh lawan sampai kekuatan men-smash, semuanya sangat buruk di mataku.
Alangkah hebatnya pembalasan ini jika aku bisa memberi game 11 padanya, sebagai ucapan selamat atas jadiannya dia dengan si mister kiler kesayanganku.
Itu yang tengah menguasai lerum-lerum jiwa muda dalam dada ini, sambil tetap memperhatikan gerak-gerik nya selama bertanding.
Darahku semakin memanas saat kulihat lelaki itu sudah berada di samping kanan meja.
Kudengar pula kata-kata semangat penuh cinta yang seolah-olah kata sampah bagiku, membuat isi perut ini mendadak ingin keluar.
Meskipun seluruh permainannya di bawah standar, namun lawannya juga tak lebih baik. Dia keluar dengan perolehan poin 21-13 dari cewek yang Sri panggil dengan sebutan Buntet itu.

Baca:  Di akhir Cerita

Tiba giliranku tak memakan banyak waktu karena dalam hitungan cepat Neneng Santi dari asrama sebelah sudah ku’KO’ dengan poin 21-8.
Banyak yang berbisik-bisik mengatakan bahwa
aku sadis dan banyak juga yang bilang aku tak tahu malu berani tanding dengan orang-orang yang masih belajar.
“Kalau mau belajar jangan ikut tanding lah!” Jawabku sinis. Sungguh sebenarnya niatku waktu itu hanya satu yakni memepet dua anak manusia yang tengah dimabuk cinta itu agar tak memandang sebelah mata padaku.
Ini adalah saat mendebarkan dimana para juri kembali membagikan nomor undian peserta lengkap dengan nama lawan mainnya. Namun sepertinya waktu seakan mempermainkanku dengan tidak mencantumkan nama cewek itu sebagai lawan pada putaran kedua.
Tapi aku tetap menunggu dengan tenang, sebab setelah sukses menghabisi lawanku, kupastikan kami bertemu setidaknya untuk rebutan juara satu dan dua.
Takkan kubiarkan perbedaan tipis pada poin kami, akan kubully langsung dengan permainan yang amat manis. Tak terasa senyum sinisku sudah mengembang lagi sambil memperhatikan kedua orang yang tengah bertanding sengit.
Sepertinya tuh cewek sudah mulai membiasakan diri dengan tutup matanya, tangannya mulai trampil memukul dan mengembalikan bola malah dengan smash-smash yang lumayan.
Sampai akhirnya dia keluar dengan poin 21-14.

Aku berdiri manis setelah memasang blind fold. Menutup mata saat pertandingan sudah bukan hal aneh bagiku. Selama berkecimpung dengan olahraga seru ini aku sudah membiasakan diri melatih pendengaran dan konsentrasi penuh.
“Hati-hati Lin! kamu melawan singa!” Ucapan tak segar itu malah makin membakar semangatku untuk memenangkan pertandingan ini dengan cantik.
“Siap”? aku langsung mengayunkan Bat pada Servis  pertama. Tentu dengan mudah dia dapat memukul balik namun tetap pelan, sebab begitulah aturannya saat mengembalikan Servis pertama pukulan harus tetap biasa.
Sebenarnya di sinilah strategi dikeluarkan lawan dengan mengarahkan bola untuk menggelinding ke sisi kanan atau kiri. Sukur-sukur bisa tepat mengenai lubang masuk dimana tangan yang pendek sepertiku sulit untuk menjangkaunya.
Namun bukanlah aku yang terbiasa dengan kelemahan kuno tersebut. sebab aku akan menaikan sedikit tubuh ke atas meja agar tanganku bisa mudah memukul balik bola.
Namun sepertinya lawan mainku yang jadi minyak dalam misi permainan ini belum sampai mempelajari trik permainan level tersebut.
Dia mengembalikan bola hanya di tengah sehingga aku dengan santai memukul balik sedikit lebih keras langsung ke sudut daerah lawan.
“Masuk!”  Poin pertama untukku. Aku tersenyum geli.
Poin 5-0 sudah kukantongi, dan tiba saatnya memberikan bola pada lawan untuk Servis  berikutnya.
Pada kesempatan ini dia harusnya dapat menyeimbangkan poin karena dapat bebas melakukan smash.
Namun lagi-lagi bukan aku kalau segitu saja merasa gentar.
Teknik ‘Sintir’ yang beberapa bulan terakhir sudah kupelajari akan kugunakan untuk mengecoh pendengarannya yang sudah mulai membaik pasca ditutup mata.
Begitu dia memberi Servis  pertama aku memukul bola itu sambil sedikit memutar permukaan Bat hingga bola itu kembali menggelinding tanpa suara.
“Masuuk!” Suara orang mendesah kecewa bercampur sorak-sorai teman-teman se-asramaku.
Dari seberang meja dimana lawan mainku berada, kudengar lagi bisikan-bisikan sampah itu, membuat dada tambah bergolak seakan tak ada habisnya.
Namun kuingat lagi banyak nasihat dari guru-guru hebat para senior di gelanggang tenis meja. Saat bertanding ketenanganlah yang jadi kunci utama. Dalam keadaan tenang kita akan mendapat konsentrasi penuh sehingga strategi akan bermunculan secara otomatis.
Sambil tetap tenang aku melanjutkan permainan itu, dengan tetap menggunakan setiap kesempatan agar poin 11 segera aku kantongi sebelum dia mendapat satu poinpun.
“Tuhan! ini bukan pembalasan dendam atau niat merugikan, tapi aku hanya ingin membesarkan hati, bahwa aku masih punya harga demi menebus kekalahan pada kesempatan lain.” Itu suara hati yang mengiringi setiap pergerakan tanganku.
Aku tetap bermain tenang, mengembalikan Servis  demi Servis  dengan segala teknik, dan akhirnya! “Gameeeeeee!”
Permainan itu selesai dengan poin 11-00…

Baca:  Rumah Ibu

*khatam*

Bagikan artikel ini
nensinur Sastra
nensinur Sastra

orangnya imut-imut sedikit amit-amit. :)

Articles: 18

5 Comments

Leave a Reply