PELANGI DAN CINTA

Sejenak, suasana menjadi hening. Dini tampak terdiam sesaat. Dia merasa bingung bagaimana menjelaskan macam-macam warna yang dilihatnya itu. Dia tidak menyangka kalau ternyata tunanetra sejak lahir untuk tahu warna saja sampai tidak terbayang seperti itu. Dini memasukan kamera tustelnya ke dalam saku. Dia memandangi wajah Andri sejenak. Terbayang olehnya, betapa kasihannya tunanetra di hadapannya itu. Warna saja dia tidak tahu. #Cerpen #KisahKlasikMasaLampau

“Boleh saya bilang sesuatu Din?” tanya Andri ketika selesai acara pertemuan sore itu.

Mereka tampak berjalan-jalan di sepanjang Jalan di depan Youth Center lokasi pertemuan Musyawarah Dewan Pleno Nasional itu dilaksanakan. Sesekali tampak kendaraan dan orang berlalu-lalang di pinggir jalan tersebut.

“Boleh bang. Mau bilang apa gitu?”

“Kita sudah banyak berbicara tentang tunanetra. Nah, yang saya ingin tahu bagaimana pendapat Dini sendiri tentang tunanetra?”

“Pendapat apanya? Kalau menurutku ya sama seperti yang abang bilang kemarin itu. Tunanetra itu juga manusia biasa kok. Sama dengan manusia pada umumnya,” kata Dini lugas.

Baca:  Melayang

“Kalau begitu boleh saya…, saya…, saya … meminangmu menjadi istriku?” tanya Andri dengan ragu-ragu dan dengan muka tersipu malu.

Sejenak tiada suara yang terucap. Tampak rona wajah Dini agak merona merah mendengar perkataan Andri tadi.

“Mungkin Dini terkejut dengan perkataan saya ini. Tapi saya berharap apa yang Dini katakan tadi adalah hal yang setulusnya dari hati Dini. Tadi Dini bilang kalau tunanetra itu adalah sama seperti manusia pada umumnya. Itu berarti, seharusnya Dini juga memandang saya sama seperti manusia pada umumnya. Oleh karena itu, saya mencoba bertanya kepada Dini. Bagaimana seandainya saya meminang Dini untuk menjadi istri saya. Bukankah tunanetra juga punya hak untuk menikah? Bukankah tunanetra juga berhak untuk menyempurnakan Agama Allah itu dengan menikah? Oleh karena itu, kalau misalkan Dini menolak saya untuk meminang Dini, saya hberharap penolakan itu tidak dikarenakan ketunanetraan saya,” jelas Andri tandas.

“Aku tulus mengatakan bahwa tunanetra di mataku adalah sama dengan manusia pada umumnya. Namun tentang masalah menikah. Aku ini masih kuliah bang,” jawab Dini dengan suara santai.

“Pertanyaan saya, bukan masalah masih kulaiah atau enggak Din. Kalau seandainya Dini sudah selesai kuliah maukah Dini saya ajak nikah?” tanya Andri lagi dengan tersenyum.

“Kalau nanti kita memang sudah ditentukan oleh Allah untuk berjodoh, aku tentu berserah kepada kehendak Allah bang.”

Untuk sesaat Andri terpaku, jawaban Dini yang lugas dan jelas itu sama sekali tidak diperkirakan Andri. Perkataan Dini tampak tersirat dengan jelas bahwa Dini menerima seandainya Andri meminangnya. Sungguh, Andri tak mengira akan semudah ini perkataannya akan direspon.

“Namun sebelumnya aku ingin menjelaskan kepada Bang Andri. Aku memilih calon suami itu tidak berdasarkan kekayaannya, ketampanannya, kepintarannya. Yang aku pilih untuk menjadi imamku nanti adalah dia yang bisa membimbingku nanti ke Surga Allah bang. Orang yang aku pingin jadikan imam adalah dia yang bisa mewujudkan keingiananku untuk mendidik anakku kelak menjadi cahaya Agama Allah ini. Dan kalau memang Allah menentukan Bang Andri untuk dapat membimbing dan menuntunku ke Surga Allah, aku sami’na wa’atha’na bang.”

Baca:  Ferdi Story (10-15)

Kembali Andri termenung dengan perkataan Dini tersebut. Sungguh, kalau dipikir apa yang dikatakan Dini itu adalah merupakan sebuah tanggungjawab yang berat. Namun, terselip kebanggaan Andri kepada Dini yang memiliki cita-cita yang luhur itu.

“Din, saya berharap, saya akan dapat mewujudkan kesemuanya itu. Hanya modal doa saya kepada Allahlah semua harapan itu akan  saya wujudkan. Mudah-mudahan cita-cita mulia itu akan saya raih,” tukas Andri mencoba menyampaikan isi hatinya.

“Yang jelas, kalau kita memang jodoh, pasti nanti ketika aku sudah selesai kuliah, kita akan menikah bang,” kata Dini kembali memecah kesunyian.

“Iya Din, saya juga berkeyakinan demikian. Kalau kita jodoh, pasti kita akan menikah. Meski saya tidak tahu bagaimana caranya dan bagaimana skenario Allah Swt. Terus terang, untuk modal nikah saja saat ini saya belum ada. Gaji dari honor saya di SLB tidak cukup untuk modal nikah kita. Namun saya yakin, kalau Allah sudah memberi jalan pasti hal itu tidak sulit bagi Allah Swt yang maha segalanya.

“Iya Bang, kita untuk saat ini hanya mampu berdoa saja. Mudah-mudahan Allah mengqabul segala doa-doa kita.”

Andri berpikir, inilah sisi baik dari orang Batak. Meskipun dialek bahasanya agak ceplas-ceplos seperti waktu trainning dengan Mas Yudi beberapa bulan yang lalu. Namun hatinya tulus dan tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan.

 

***

(Baca bagian selanjutnya dengan klik next)

Bagikan artikel ini
Fidi Rukmana
Fidi Rukmana

seorang tunanetra yang ingin terus belajar

Articles: 1

2 Comments

  1. terima kasih untuk kontribusinya. Cerpen yang menarik. Namun ada baiknya dapat dibuat lebih ringkas dengan satu konflik dan klimaks cerita. Tetap semangat dan terus produktif berkarya 🙂

Leave a Reply