Namaku Tedi. Aku bisa dibilang pengusaha yang sukses. Aku memiliki banyak usaha di berbagai bidang dan tersebar di beberapa wilayah. Kesuksesanku di susul dengan pernikahanku bersama wanita pujaanku, yang akan melahirkan anak-anakku sebagai penerus kesuksesanku. Dia adalah temanku dulu waktu menginjak bangku SMP, Risa namanya. Risa adalah wanita yang sangat cantik, sehingga tidak salah kalau dulu dia menjadi primadona di sekolah. Beruntung aku bisa mendapatkan hatinya.
Kini pernikahanku menginjak usia lima tahun, namun aku dan istri belum dikaruniai buah hati. Kami pun sudah berusaha untuk berobat kesana kemari. Berbagai terapi sudah kami jalani, tetapi sama sekali tidak membuahkan hasil. Aku mulai khawatir dan putus asa, siapa yang akan meneruskan usahaku kelak, dan siapa yang akan mewarisi kekayaanku nantinya.
Setiap kali kami melihat pasangan suami istri lain sedang bersenda gurau dengan anak-anaknya, kami sangat iri sekali pada mereka, kapan kami bisa menjadi keluarga bahagia seperti mereka. Hidup kami hampa tanpa kehadiran seorang anak. Hingga suatu ketika, aku melaksanakan sholat malam. Aku dengan penuh kerendahan hati, memohon dengan sangat kepada Tuhan Yang Maha Agung. Sembari meneteskan air mata, aku berdo’a.
“Ya Tuhan, aku memohon kepada-Mu, karuniakanlah aku dan istriku seorang anak. Berikanlah kami keturunan yang baik dan dapat menggembirakan hati kami. Aku berjanji akan menyayanginya, merawatnya, dan membesarkannya dengan setulus hati. Tuhan, kabulkanlah do’aku ini. Amin.”
Selang beberapa pekan, aku dan istriku melakukan kegiatan seperti biasa, namun tampaknya ada keanehan yang dialami oleh istriku.
“Pa, sepertinya aku tidak enak badan, perutku sangat mual.”
“Pasti kamu kelelahan, sekarang istirahatlah, nanti kita akan periksa ke dokter.”
“Baik Pa.”
Setelah di rumah sakit, aku pun mengantar istriku memeriksakan kesehatannya.
“Selamat ya Pak, istri Bapak mengandung,” ujar dokter dengan nada ceria.
“Beneran Dok? Terima kasih Tuhan, Engkau telah menjabah do’a hamba-Mu ini.”
Lalu kami pulang dengan perasaan senang dan bahagia. Untuk mempersiapkan kehadiran anggota baru di keluargaku ini, aku dan istri berbelanja berbagai kebutuhan anak, meskipun belum diketahui anakku laki-laki atau perempuan. Mulai dari tempat tidur, pakaian, peralatan makan, dan lain-lain, telah kami persiapkan.
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, hari yang membahagiakan sekaligus menegangkan bagi ku terutama istriku yang akan menjalani operasi sesar. Setelah lama menunggu, akhirnya suara tangisan anakku terdengar juga. Berbunyi sangat nyaring seakan-akan memanggilku untuk melihatnya.
Kemudian dengan perasaan yang luar biasa senang, aku segera menemui anakku di dalam ruang persalinan. Namun setelah aku masuk ke dalam ruang tersebut, suasananya berubah total, istriku menangis sesenggukan, dan semua muka tertunduk diam, tak ada raut wajah kebahagiaan sama sekali, dalam hatiku bertanya-tanya, ada apa ini. Dengan nada rendah, dokter mencoba mendekatiku dan mengajakku berbicara di luar ruangan.
“Bapak, dengan berat hati saya harus mengatakan, Tuhan berkehendak lain.”
“Maksud dokter apa?” tanyaku dengan raut muka yang bingung.
“Anak Bapak terlahir tak sempurna.”
“Tidak mungkin Dok, anakku tidak mungkin tak sempurna,” ujarku yang mulai tidak percaya.
“Bapak harus menerima semua kenyataan ini.”
Dengan rasa tidak percaya, aku melangkah masuk ke dalam ruangan melihat kondisi anakku. Ternyata benar, anakku tak sempurna. Aku tidak bisa menerima semua ini.
“Tuhan, mengapa Engkau memberiku cobaan ini?”
Tiga tahun kemudian, Winda, anakku telah tumbuh, namun tidak seperti anak lain, dia tidak bisa berjalan, karena hanya memiliki satu kaki. Aku sangat malu dengan semua ini, Terkadang aku berpikir, lebih baik tidak memiliki anak daripada memiliki anak yang tak sempurna seperti ini.
Seiring perkembangannya, kami hampir tidak pernah meluangkan waktu untuknya, kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku menyerahkan semua yang berhubungan dengan anakku kepada Bibi Surti, dia pembantu yang merawat Winda sejak dia dilahirkan.
Suatu ketika, pernah Winda meminta untuk digendong oleh ku, tapi aku menolaknya karena sangat sibuk, aku harus pergi kesana kemari tanpa henti mengurusi usahaku yang semakin berkembang pesat. Hampir aku tidak memiliki waktu untuk anakku. Sama seperti Ibunya, sepertinya dia juga enggan untuk merawat anaknya yang memiliki keterbatasan, yang ia kerjakan hanya main bersama teman-temannya, belanja, dan jalan-jalan, hanya menghabiskan uang saja.
“Pa, uang Mama habis nih, nanti transfer ya,” ujar istriku dengan muka manis.
“Baru minggu kemarin Papa transfer, kok sudah habis lagi? Hemat dong Ma…!”
Risa selalu saja begitu, padahal yang dipikirkannya hanya untuk koleksi perhiasan, tas, sepatu, dan aksesoris lainnya.
Suatu hari, ketika aku berada di kantor, tiba-tiba Bibi Surti datang membawa serta Winda.
“Maaf Tuan, Winda seharian menangis terus, dia ingin bertemu Tuan,” bibi menjelaskan.
“Tapi Bi, aku lagi kerja sekarang, cepat bawa kembali pulang, sebelum rekan kerjaku melihat Winda,” tukasku dengan lugas.
“Tapi Tuan, kasian Winda…dia ingin sekali digendong Tuan,” ungkap bibi.
“Bibi, cepat bawa dia pulang…!”
“Papa, adik ingin digendong,” teriak Winda sambil menangis tanpa henti.
Karena kehadiran Bibi dan Winda membuat gaduh di kantor. Akhirnya aku kesal dan menyeret paksa mereka berdua keluar dari kantor. Setelah keluar dari pelataran kantor, aku mendorong Bibi hingga jatuh, aku melakukan semua ini karena aku malu dengan semua rekan kerjaku. Bibi yang terjatuh, tidak bisa memegang Winda dengan kuat, sehingga Winda terlepas dari gendongan bibi, dan terjatuh tepat ditengah jalan depan kantor.
“Papa…” teriak Winda sambil menangis.
Aku pun memalingkan muka dan beranjak kembali masuk ke kantor. Namun, tiba-tiba dari kejauhan aku mendengar suara bel sangat nyaring. Ternyata itu adalah sebuah truk yang sedang melaju kencang ke arah Winda. Tanpa berpikir panjang aku pun berlari menuju Winda. Sepertinya truk kehilangan kendali dan tidak bisa mengerem. Dengan sigap aku pun melompat dan merangkul Winda.
“Tidaaaaaakkkk…” aku pun berteriak.
“Brraaakkkk…”
Tabrakan pun tidak dapat dihindarkan.
Tak lama kemudian, aku pun terbangun. Aku sudah berada di rumah sakit.
“Dimana Winda?” tanyaku kepada Risa yang ada di sampingku.
“Winda baik-baik saja Pa,” kata Risa.
Lalu aku mencoba beranjak dari tempat tidur untuk mencari Winda. Namun apa yang terjadi, kakiku seakan tidak bisa digerakkan. Aku pun menangis setelah melihat keadaan kakiku yang sudah tak ada lagi.
“Huhuhuhuhuhu, ada apa dengan kakiku ini?”
“Yang sabar Pa, terpaksa dokter harus mengamputasi kedua kaki Papa akibat kecelakaan tadi pagi,” jawab Risa mencoba menguatkan aku.
Seketika itu juga , aku tersadar, ini adalah peringatan Tuhan untukku karena telah melupakan janjiku. Janji untuk menyayangi, merawat, dan membesarkan Winda, anakku. Aku hanya bisa menangis, menyesali semuanya. Papa menyayangimu Winda, maafkan Papamu ini. Papa menyesal telah menyia-nyiakanmu, Nak. Aku berjanji, mulai sekarang Papa selalu merawat Winda dengan baik. Papa macam apa aku ini.