Aku adalah penyandang low-vision sejak lahir. Jika kebanyakan orang terlahir ke dunia dalam usia sekitar 9 bulan, maka aku hanya membutuhkan waktu sekitar tujuh bulan untuk merasakan kehidupan dalam kandungan ibuku. Hal ini tentu bukan karena sebuah prestasi sehingga aku memperoleh kesempatan untuk ikut semacam program akselerasi selama dalam kandungan atau karena aku sudah tak sabar berlama-lama di dalam kandungan ibuku. Kelahiranku pada usia kandungan tujuh bulan itu memang karna aku terlahir prematur.
Jarak pandangku untuk melihat sebuah benda amat terbatas, untuk dapat melihat sebuah objek yang besar, misalnya sepeda motor atau mobil, aku hanya mampu melihat maksimal 20 meter saja. aku hanya memiliki satu bola mata saja yang terletak di dalam kelopak mata sebelah kanan, sementara itu, kelopak mata sebelah kiriku memang kosong. Mungkin jika ada orang yang baru pertamma kali melihatku, ia akan melihatku dengan bentuk yang tak lazim dan aneh. Tapi bagi teman-teman yang sudah terbiasa bergaul dengan orang difabel, mungkin sudah biasa melihat bentuk-bentuk tak lazim yang terdapat pada kami.
Untuk urusan pemeriksaan dan pemeliharaan kondisi penglihatan, ibuku memang selalu menjaganya. Pemeriksaan rutin senantiasa kami lakukan, tapi dokter sudah angkat tangan dan menyatakan bahwa kondisi penglihatanku sudah tak mungkin diperbaiki lagi. Jika diibaratkan dengan sebuah komputer, sebenarnya spesifikasi yang ada dalam penglihatanku itu memang sudah mentok dan tidak bisa lagi dilakukan upgreat ke spesifikasi yang lebih tinggi. Semua komponennya sudah maksimal, baik prosessor, RAM atau apapun yang ada pada mata ini sudah tak bisa dikembangkan lagi.
Masa kecil aku habiskan dengan amat bahagia, kebetulan aku hidup dan besar di keluarga yang cukup mengerti tentang kesamaan hak yang harus dipenuhi oleh difabel dan tak ada rasa malu dan minder saat membawaku berinteraksi dengan orang-orang disekitarku. Hal ini tentu membawa dampak positif bagiku. Aku dapat hidup nyaman tanpa adanya diskriminasi, minimal di keluarga besarku. Hal ini tentu juga berdampak pada perkembangan kejiwaanku. Aku tumbuh menjadi sosok yang penuh percaya diri dan menjadi pribadi yang penuh dengan optimisme.
Sejak kecil, aku memang telah dibiasakan untuk mengoptimalkan fungsi penglihatanku dengan baik meskipun kemampuannya amat terbatas. Kami memang berusaha bersyukur atas apa yang telah Allah berikan kepadaku dengan cara mengoptimalkan penglihatanku untuk berbagai aktivitas dan memanfaatkannya sebaik mungkin.
Dari sisi pendidikan, sejak kecil aku memang telah berusaha untuk belajar berbagai hal, aku sudah diperkenalkan dengan berbagai bentuk huruf awas (huruf yang dipakai oleh orang nondifabel netra) dan aku telah dilatih membaca oleh orang tua dan keluarga lain. Ketika aku berada di beberapa tempat umum, aku selalu dipajankan atau dibiasakan untuk membaca berbagai tulisan berukuran besar yang mampu aku baca seperti papan nama pada toko dan beberapa papan reklame di pinggir jalan, serta beberapa iklan produk yang tertera di berbagai media cetak.
Berbekal kepercayaan diri dan berbagai kemampuan yang telah aku dapatkan dari apa yang telah diajarkan orang-orang di sekitarku, kami memberanikan diri untuk mendaftarkan diri ke sekolah formal. Waktu itu kami memang belum mengenal konsep sekolah khusus dan sekolah inklusi, tapi orangtuaku cukup yakin kalau fihak sekolah nantinya tak terlalu mempersoalkan keberadaanku.
Waktu terus berjalan, aku berhasil masuk ke TK dekat rumah. Selama aku berada di sekolah itu, tak ada masalah yang berarti paling-paling masalah cuma datang dari teman-teman sekolah yang terkadang suka iseng meledek bentuk tubuhku yang unik. Selain hal itu, aku kira tak ada masalah yang berarti yang aku alami selama duduk di bangku taman kanak-kanak.
Pendidikan di tingkat pertama telah berelalu dengan sukses, selanjutnya aku mulai mendaftar ke sekolah dasar dekat rumah. Kami masih berorientasi pada sekolah umum (inklusi) sebab keluargaku berpendapat bahwa aku sangat mampu untuk mengikuti pendidikan di sekolah inklusi. Tapi kenyataan berkata lain, ternyata disini guru yang menanganiku merasa kurang optimal dalam mengajarku. Sebenarnya aku telah menghabiskan waktu selama dua minggu untuk belajar di sekolah ini. Secara pribadi sih aku tak mengalami permasalahan. Toh dengan cepat aku telah dapat menyesuaikan diri dengan teman-temanku. Sebab memang mayoritas teman semasa TK masuk pula ke SD ini.
Dalam mengikuti pelajaran, sebenarnya aku tak merasa banyak kesulitan, meskipun aku tak mampu melihat papan tulis yang ada di depan kelas, namun dengan mengandalkan pendengaran, aku cukup dapat mengikuti berbagai pelajaran yang disampaikan oleh guru kelasku. Disela-sela guru kelas ini mengajar ke seluruh isi kelas, ia selalu datang ke mejaku untuk sekedar menjelaskan ulang secara personal kepadaku dan menanyakan beberapa hal yang aku belum dapat memahaminya.
Namun ternyata keadaan seperti itu tak berlangsung lama. Aku hanya bisa bertahan di sekolah itu selama dua minggu saja. hal ini tentu bukan karena aku yang tak mampu mengikuti materi pelajaran dan mengikuti ritme belajar teman-temanku disekolah itu. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan guru kelasku dalam mengajar kaum difabel sepertiku. Rupanya guru kelasku belum bisa sepenuhnya memberi pelayanan yang baik untuk siswa difabel. Ia memang selama ini telah berusaha memberi penjelasan dan keterangan secara personal padaku. Namun ia masih merasa belum cukup mampu membuatku faham dengan apa yang ia ajarkan. Di sisi lain, selama ia mengajariku secara personal di sela-sela pembelajaran, ternyata ia tak mampu menguasai kelas dengan baik.
Pada saat ibu guru menjelaskan materi pelajaran secara personal, ternyata banyak teman sekelas yang justru memanfaatkan moment itu untuk membuat berbagai kegaduhan. Akhirnya ibu guru yang bersangkutan itu pun menyerah dan menyatakan tak sanggup untuk mengajarku terus-menerus. Menyikapi hal ini, fihak sekolah segera memanggil ibu untuk datang ke sekolah. Dengan alasan tak dapat memberikan pelayanan mengajar yang optimal, kepala sekolah secara halus “mengusirku” dari sekolah itu dan menyarankan untuk memindahkanku ke SLB yang memang pada masa orde baru dianggap sebagai solusi yang efektif untuk menangani siswa penyandang cacat (sebuah istilah yang memang lazim digunakan pada saat itu).
Sebagai orang tua yang masih polos dan memang tak tahu apa yang harus kami lakukan, akhirnya ibuku menuruti saja apa saran yang telah dilontarkan oleh ibu guru dan kepala sekolah SD dekat rumahku itu. Dalam hati, sebenarnya aku tak terlalu setuju dengan keputusan ibu ini. Aku justru sudah nyaman dengan segala dinamika yang ada di sekolah SD inklusi itu. aku sudah semakin mengenal banyak teman, bahkan aku sudah mulai terlatih menyerap pelajaran meskipun hanya dengan mendengar keterangan-keterangan dari ibu guru. Namun ya sudahlah, lebih baik aku menurut saja apa saran ibu guru dan apa yang telah menjadi keputusan ibu.
Keputusan telah bulat diambil dan kamipun menarik seluruh dokumen dari sekolah inklusi dan segera mendaftarkan diri ke SLB Kalibayem yang terletak di jalan wates Yogyakarta. Sewaktu pertama datang ke sekolah itu, aku merasa sangat asing dengan lingkungan yang aku hadapi. Aku merasa memasuki dunia yang baru dan belum pernah aku temui sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh lingkungan yang saat itu baru aku kenal adalah lingkungan yang asing dan waktu itu aku berpendapat bahwa aku dikelilingi oleh orang-orang unik yang menakutkan. Lebih-lebih sejak lahir, aku memang belum terbiasa bergaul dengan teman-teman sesama difabel. Namun seiring dengan berjalannya waktu, aku dapat menyesuaikan diri dan dapat pula memperoleh teman yang akrab walaupun jumlah siswa di sekolah khusus itu tak sebanyak siswa yang ada di sekolah pada umumnya.
Secara keseluruhan, akhirnya aku dapat beradaptasi di sekolah khusus ini. Baik dari sisi lingkungan fisik, teman-teman, dan bahkan cara belajar yang agak berbeda pun semua sudah aku kuasai dan aku fahami. Sejak kelas dua SD, di sekolah itu aku mulai diminta untuk belajar menulis braille. Tulisan jenis inilah yang membuat tunanetra dapat mengenal budayamenulis dan dapat menuntut ilmu sampai ke tingkat perguruan tinggi. Tak heran jika waktu itu aku diwajibkan untuk belajar menulis dengan sistem tulisan ini, sebab waktu itu memang negara ini memberikan fasilitas untuk siswa tunanetra dalam mengerjakan EBTANAS atau yang kini lebih dikenal dangan UAN dengan mempergunakan huruf braille. Hal inilah yang membuat fihak sekolah meminta seluruh siswa tunanetra untuk belajar huruf braille jika ia ingin memperoleh ijazah setingkat sekolah dasar nantinya.
Meskipun sebelumnya aku telah lebih dahulu terbiasa menulis dengan mempergunakan huruf awas, namun apa boleh buat, mau tak mau aku harus belajar menulis braille. Seiring dengan berjalannya waktu, rasanya aku tak terlalu berhasil dalam belajar menulis braille. Aku selalu saja melakukan banyak kesalahan dalam menulis, entah itu salah tusuklah, kebanyakan titiklah, kurang titiklah, menulis tanpa spasilah, dan mungkin masih banyak kesalahan yang aku buat waktu itu.
Untuk memecahkan persoalan tersebut, semua fihak yang ada di sekolah telah berusaha membantuku. Dari mulai ada guru yang menawarkan les privatlah, kakak kelas yang rela mengajariku untuk belajar menulis dengan benar usai jam pelajaran berakhirlah, dipaksa belajar ekstra di rumahlah, namun semua perjuangan itu rupanya tak dapat membuatku mahir menulis braille dengan baik. Cara medispun telah kami lakukan. cara medis ini mencoba mengetahui mengapa aku selalu melakukan berbagai kesalahan saat menulis braille. Berdasarkan pemeriksaan tersebut, baru kami ketahui bahwa ternyata syaraf tangan kananku ini memang lemah dan mudah lelah. Rasa lelah itulah yang menyebabkan aku kurang berkonsentrasi dalam menulis braille.
Baiklah, dari pemeriksaan tersebut, setidaknya kami tahu penyebab apa yang membuat hasil belajarku menulis selama ini terasa tak ada keberhasilan yang menghampiri. Ternyata selama ini memang syaraf pada tangan kananku itu lemah sehingga ketika dipakai untuk menulis braille yang notabene harus menusuk-nusuk pen ke kertas yang terpasang riglete ini terasa cepatlelah. Nampaknya inilah yang selama ini membuatku tak pernah fokus untuk belajar menulis braille dengan benar.
Tahun demi tahun, hingga aku kelas lima, aku terus saja berada dalam ketidakmampuan untuk menulis braille. Melihat keadaan seperti ini, rupanya ada seorang guru yang simpati kepadaku. Ia menawari ibuku untuk mengajar pelajaran tambahan kepadaku. Namun guru yang satu ini memiliki cara yang inovatif untuk mengajariku. Jika selama ini perkembangan prestasi belajarku disekolah terlihat biasa saja dan malah terkesan statis, beliau sengaja mengajar berbagai pelajaran di rumahku dengan mempergunakan huruf awas.
Mungkin karena aku telah terbiasa memakai huruf awas sejak kecil jauh sebelum aku mengenal huruf braille, aku merasa lebih nyaman belajar dengan mempergunakan huruf awas. Prestasi belajarku bersama guru privat itupun semakin menunjukkan perkembangan yang berarti. Melihat perkembangan yang cukup pesat ini, ibupun berinisiatif untuk mengusulkan agar aku dapat menggunakan huruf awas ketika di sekolah.
Dari usulan yang dilontarkan oleh ibuku, reaksi dari fihak sekolah pun cukup beragam. Beberapa guru menganggap bahwa usulan yang ditawarkan oleh ibu ini merupakan sesuatu hal yang baik dan mampu membuatku dapat lebih terpacu lagi. Namun sebagian guru lain beranggapan bahwa menulis braille itu tetap wajib dikuasai oleh seluruh murid tunanetra bagaimanapun caranya.
Perbedaan pendapat itu tentu membuat kami semakin khawatir dengan masa depanku. Jika aku tak diizinkan untuk memakai huruf awas, mungkin riwayat pendidikanku tak seperti sekarang, mungkin aku tak akan menjadi sarjana dan tak dapat berprestasi. Hal ini tentu bukan karena aku masih bisa sedikit melihat huruf awas dan aku malas memakai huruf braille. Hal ini lebih pada syaraf tanganku yang memang lemah dan tak bisa menulis huruf braille dengan lancar dan benar. Jangankan menulis, untuk membaca saja aku amat sulit, sebab perabaan pada jari tangan sebelah kananku ini ternyata juga lemah.
Akhirnya, setelah para guru mengadakan rapat dengan orang tuaku, ternyata aku diperbbolehkan juga belajar di sekolah pakai huruf awas. Kami juga telah menemukan solusi bahwa nantinya saat aku mengerjakan EBTANAS, aku dapat mempergunakan huruf awas yang diperbesar. Setelah keputusan itu ditetapkan, langsung saja aku dengan semangat mempergunakan huruf awas di sekolah. Untuk keperluan menulis, saat itu aku menggunakan spidol yang hasil tulisannya lebih tebal dan memakai buku bergaris tebal pula. Untuk keperluan membaca, ibu waktu itu langsung memfotokopi perbesar dengan ukuran kertas A3 untuk buku-buku paket yang aku miliki.
Cukup mahal memang ongkos untuk memfotokopi sebuah buku dan menjadikannya buku raksasa yang berukuran A3. Lebih-lebih waktu itu negara kita sedang mengalami krisis moneter yang amat menyulitkan masyarakat. Namun aku tetap semangat untuk terus belajar saat-saat menjelang EBTANAS. Melihat semangatku yang menggebu-gebu ini, ibu menjadi semakin semangat pula untuk memfotokopi perbesar setiap buku pelajaran dan beberapa soal-soal latihan yang siap aku lalap untuk berlatih.
Ujian EBTANAS pun tiba, benar saja, aku mengerjakan soal-soal EBTANAS menggunakan huruf awas yang difotokopi perbesar. Mungkin saat itu baru aku, siswa tunanetra yang ujian EBTANASnya mempergunakan soal dengan ukuran kertas A3. Dengan kondisi ujianku yang seperti itu, ternyata aku mendapatkan nilai EBTANAS murni (NEM) yang cukup lumayan. Setidaknya ukuran ini aku lihat dari hasil nilai teman-teman sesama siswa SLB yang lain.
Cita-cita besar yang sempat agak menimbulkan konflik dan polemik dikalangan guru ini telah berhasil aku wujudkan. Belajar dan ujian dengan mempergunakan huruf awas rupanya lebih nyaman bagiku. Meskipun aku harus membaca dari buku dan kertas raksasa dan ibuku pun harus merogoh dompet agak dalam untuk biaya fotokopi perbesar itu. namun aku merasa amat bangga dan berhasil memacahkan persoalanku saat aku sekolah dahulu.
Perjuangan belum selesai. Justru perjuangan sesungguhnya baru akan dimulai. Bermodalkan keyakinan yang membaja atas hasil dari profokasi positif berbagai fihak, akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah SMP ke sekolah inklusi (sekolah umum yang menerima difabel). Beberapa fihak menyatakan bahwa dengan kemampuanku yang saat itu aku miliki, aku dapat melanjutkan sekolah ke sekolah inklusi. Banyak hal positif yang dapat aku ambil jika aku melanjutkan ke sekolah inklusi. Paling tidak, aku dapat bersosialisasi dengan teman-teman nondifabel yang sebaya denganku. Kelak, keberadaanku di sekolah inklusi juga dapat memberi pembelajaran pada teman-teman nondifabel tentang kesamaan kemampuan akademik siswa difabel netra sepertiku. Lebih lanjut, keberadaanku di sekolah inklusi nantinya juga dapat menyadarkan pada beberapa fihak yang selama ini masih amat awam terhadap kaum difabel tentang kesamaan hak memperoleh pendidikan yang sama dan sederajat.
Perjuangan untuk mencari sekolah inklusi yang mau menerima siswa difabel netra saat itu rupanya agak susah. Jika seorang siswa nondifabel mendapatkan nilai yang baik dalam EBTANAS, pasti mereka dapat dengan mudah memilih sekolah yang mereka inginkan. Jangankan mereka yang bagus nilainya, yang nilainya pas-pasan pun sebenarnya jika mereka dapat mengukur diri, pasti mereka relatif mudah untuk mendapatkan sekolah yang mereka inginkan. Hal ini hanya persoalan strategi dalam memilih sekolah saja.
Perbedaan tentu amat dirasakan bagi siswa difabel yang ingin melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang lebih tinggi di sekolah inklusi, mereka tentu harus berfikir beribu kali lipat untuk memilih sekolah mana yang sudah aksesibel untuk mereka. Meskipun nilai mereka cukup untuk masuk ke suatu sekolah, belum tentu sekolah tersebut mau menerima mereka. Hal seperti itulah yang saat itu terjadi padaku. Waktu itu ibu amat sulit menentukan sekolah mana yang mau menerimaku dan pantas untuk aku.
Beberapa sekolah saat itu konon telah menjadi sekolah inklusi, namun itu pun ternyata bukan solusi yang baik untukku. Beberapa sekolah itu secara historis memang pernah menerima siswa difabel. Namun ternyata sekolah-sekolah itu memiliki rekam yang buruk soal cara mendidik siswanya. Bukan cuma soal prestasi akademik anak-anak didiknya yang masih belum baik. Tapi ini soal bagaimana sekolah yang dimaksud telah gagal membentuk moral siswa-siswanya. Siswa sekolah ini rupanya terkenal sebagai peminum kelas kakap. Tak hanya diluar sekolah saja murid-murid bengal itu mengkonsumsi minuman haram, namun ternyata di dalam lingkungan sekolah pun mereka tak canggung-canggung untuk bermabuk ria.
Melihat keadaan ini, tentu ibu tak mau jika aku bersekolah di tempat itu. Setelah berkonsultasi dengan beberapa fihak, akhirnya ibu mencoba mendaftarkanku ke salah satu sekolah yang konon pernah menangani siswa difabel. Bukan hanya itu, sekolah ini juga memiliki catatan yang baik untuk mendidik murid-muridnya menjadi manusia yang bermoral. Tanpa fikir panjang, ibu segera mendatangi sekolah yang dimaksud. Memang sih sekolah ini adalah sekolah swasta tapi sekolah ini cukup jadi pilihanlah bagi siswa yang nilainya tak cukup untuk masuk ke sekolah negeri.
Setelah berbasa basi dan bertanya kepada beberapa petugas pendaftaran, akhirnya ibu menemui kepala sekolah itu. Di ruangan kepala sekolah itu, ibu menceritakan keadaanku dan maksud untuk menjadi salah satu siswa di sekolah itu. menanggapi pembicaraan yang diajukan ibu, rupanya kepala sekolah itu tak begitu menginginkan aku untuk menjadi siswanya. Ia justru berpendapat bahwa nanti orang-orang sepertiku hanya akan merepotkan proses belajar mengajar saja. lagi pula menurutnya, sekolah yang ia pimpin itu termasuk sekolah swasta unggulan yang harus terjaga kualitas prestasinya. Ia takut nanti aku tak dapat menyesuaikan diri dan nilai-nilai akademik yang aku dapatkan malah justru kurang maksimal.
Kamipun tak bisa berbuat apa-apa saat itu. kami tak dapat membela diri dengan suatu alasan yang dapat mematahkan pendapat kepala sekolah itu. kami pun mencoba mencari jalan lain. Meskipun di dalam hati kecil kami tetap ada rasa sakit hati yang merasuk sebab telah nyata-nyata diremehkan oleh seorang kepala sekolah. Setelah di runut lebih dalam, ternyata kepala sekolah yang bersangkutan itu masih relatif baru menjabat di sekolah itu. Pantas saja ia tak mengerti tentang fakta sejarah sekolah itu yang nyata-nyata pernah menerima siswa difabel.
Waktu terus berjalan, pendaftaran masuk sekolah terus saja dibuka hingga beberapa hari kedepan. Saat itu aku belum terdaftar di sekolah manapun. Sempat terbersit dalam hati untuk kembali bersekolah di SLB dan membatalkan niat untuk melanjutkan ke sekolah inklusi. Namun doa terus kami lafastkan, dan usaha terus kami jalankan. Kali ini ibu sengaja mengambil secara acak formulir pendaftaran di beberapa sekolah, khususnya beberapa sekolah swasta kepunyaan Muhammadiyah yang memang sesuai dengan tujuan orang tuaku sebelumnya. kami memang sedikit mengesampingkan soal pengalaman sekolah itu dalam menangani siswa difabel.
Setelah dengan agak gegabah ibu mengambil beberapa formulir pendaftaran di sekolah-sekolah yang mungkin belum punya pengalaman sedikitpun untuk menangani penyandang difabel, siang itu ibu terhenti di depan gerbang sebuah sekolah SMP Muhammadiyah 6 Yogyakarta.Sepertinya Allah amat berperan dalam fase ini. Seperti ada yang mengarahkan, ibu langsung saja masuk ke sekolah tersebut dan segera menemui beberapa panitia penerimaan siswa baru. Setelah menyampaikan maksud dan menyampaikan apa yang menjadi uneg-unegnya, seperti di sekolah sebelumnya, ibu langsung diarahkan untuk menemui kepala sekolah. Situasi di ruang kepala sekolah amat berbeda dengan apa yang ibu alami sebelumnya. kepala sekolah yang satu ini merupakan tipikal orang yang ramah. Tanpa diduga pula, ternyata kepala sekolah itu merespons baik maksud kedatangan ibu. Padahal sekolah itu secara historis sama sekali belum pernah menerima penyandang difabel.
Singkat cerita, akhirnya aku dinyatakan diterima di sekolah inklusi itu. Awal kehidupanku di sekolah inklusi itu memang sempat ada beberapa pertanyaan dengan nada sedikit sumbang dari beberapa guru, namun berkat ketelatenan guru pendamping khusus (GPK) yang saat itu disediakan dari dinas pendidikan, semua persoalan dapat diatasi. Lebih-lebih di akhir kelas 1 SMP aku mendapatkan bantuan dari sebuah lembaga asing berupa dua alat bantu membaca.
Kedua alat bantu membaca tersebut amat bermanfaat bagiku sampai sekarang. Satu buah kaca pembesar yang dilengkapi lampu kecil untuk pencahayaanku saat membaca mampu membuatku dapat membaca beberapa tulisan yang berukuran kecil. Kini aku dapat membaca beberapa buku dengan lancar tanpa harus difotokopi perbesar dan tentu tanpa membutuhkan bantuan orang awas. Tak hanya itu, aku juga mampu membaca koran, majalah, tabloid dan beberapa media cetak lain yang sebelumnya tak mampu aku baca.
Selain mendapatkan kaca pembesar yang dilengkapi dengan lampu, aku juga mendapatkan alat bantu baca jarak jauh berupa telescope. Dengan mempergunakan alat ini, aku dapat membaca tulisan di papan tulis atau dapat membaca tayangan-tayangan slide yang disajikan melalui LCD. Sebelum memiliki alat ini, aku senantiasa kerepotan jika ada guru yang menulis di papan tulis, aku harus meminta tolong teman disebelahku untuk membacakan tulisan itu. hal ini pun tak selalu maksimal dapat aku lakukan, sebab terkadang tak ada teman yang mendampingiku untuk membaca. Mungkin mereka merasa lelah juga untuk segera dimintai tolong, oleh karenanya, aku merasa amat merdeka setelah aku mendapatkan alat bantu telescope ini.
Setelah mendapatkan dua alat bantu itu, keadaan semakin membaik, aku semakin dapat berprestasi di sekolah, bahkan beberapa kali aku bisa memperoleh rangking dan mampu mengalahkan orang-orang awas. Selanjutnya, dengan bermodalkan dua alat bantu itu, aku terus saja dapat melanjutkan pendidikanku hingga tingkat perguruan tinggi.
Pada tahun 2011 lalu, aku telah lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Perjalanan saat menempuh pendidikan formal ini menurutku merupakan pengalaman yang unik. Mungkin jika aku terlahir sebagai orang nondifabel, hidupku tidak sebermakna ini. Pengalaman-pengalaman menarik yang telah aku dapatkan ini bolehlah diambil manfaat dan maknanya. Setiap orang itu memiliki bakat dan kecenderungan yang berbeda-beda, setiap orang itu unik dan ia sama sekali tak bisa disamakan satu sama lain.
lantas, adakah persoalan tentang pemakaian kata “pen”? dan aau riglete? sebab zaman saya sekolah dulu memang istilah inilah yang diperkenalkan. sementara itu, banyak masyarakat tunanettra yang juga mempergunakan istilah itu.
soal istilah tak ada masalah nampaknya. hanya mungkin apabila dirasa agak asing bagi masyarakat umum, dapat diberi sedikit penjelasan dalam cerita, atau bias juga berupa footnote
Kalau yang pernah aku baca di majalah Mathilda Ziegler, reglet=slate. pen=stylus.
tulisannya sangat menarik. hebat, salut buat ibu dari mas penulis yang luar biasa itu 🙂
terimakasih kritiknya, aku terus terang bingung, aku copast dari draff di word, file aslinya udah bener, termasuk spasinya, tapi gk tau knapa setelah diposting jadi gitu hasilnya. Pen itu alat untuk menulis braille. apa istilah yg benar ya? stilus?
Oooh
aku coba googling, soalnya kurang yakin dari apa yang sudah diketahui itu ada balpoin dan pulpen,
namun di wikipedia itu pena, dan di babla.co.id itu pulpen
entahlah yang mana, mungkin bisa dipakai salah satu dari ini. maap
walah stilus jauh amat,
aku tadi coba googling karena ga tau apaan itu dan dibawa ke wikipedia,
itu adalah alat tulis pada zaman kuno yang digunakan untuk menghasilkan tulisan pada batu tulis
hmm….
gmn ya? mau bantu biar ga bingung
maksimal 20 meter saja. aku >>> A di akunya besar kan habis titik itu
berelalu >> berlalu
fihak>>pihak
“mengusirku”>> m nya besar
menusuk-nusuk pen>>> ini apa? pen itu pulpen?
telescope, ini tuh bahasa Inggris? kalau iya dimiringi
segitu aja sih
Tak itu tidak, terus ada kata yang nempel atau kurang spasi, bentar saya cek lagi