Baru-baru ini saya kembali membaca salah satu buku favorit saya, yang berjudul Musashi karya Eiji Yoshikawa. Novel klasik ini sebenarnya sudah saya miliki sejak lama, tepatnya sejak tahun 2011. Ketika itu, novel tersebut saya dapatkan dari salah seorang kakak saya. Katanya, kisah yang pernah dimuat secara berseri di salah satu media cetak nasional itu sarat dengan makna yang sangat menarik untuk dipelajari.
Saya yang ketika itu sedang haus-hausnya akan bacaan tentu saja menerimanya dengan antusias. Tidak mengherankan, karena sejak kecil saya memang seorang penikmat buku. Sebagai seorang tunanetra dari kota kecil, tentu saja tidak mudah bagi saya untuk mengakses bahan bacaan. Oleh karena itu, kehadiran novel yang terbit jauh sebelum saya lahir ini merupakan sesuatu yang sangat bermakna. Meskipun begitu, harus diakui bahwa dalam proses membaca saya agak mengerutkan dahi juga. Pasalnya, kisah yang berlatar di Jepang pada abad 17 itu menghadirkan sesuatu yang baru bagi saya ketika itu, baik dalam tema, karakter tokoh-tokohnya, maupun latar budaya dimana kisah ini terjadi.
Sejak kecil saya memang belum terbiasa membaca kisah laga. Apalagi, novel ini adalah novel klasik yang tentu saja sudah jarang disebut-sebut di masa kecil saya pada dekade 90-an. Selain itu, panjangnya kisah ini juga membuat saya harus berusaha lebih keras untuk dapat memahami kisahnya.
Namun, sedikit demi sedikit saya mulai menyadari bahwa kata-kata kakak saya memang benar. Novel yang mengisahkan perjalanan hidup seorang samurai ini memang menarik. Karakter utama dalam kisah ini digambarkan dengan sangat detail, sehingga pembaca seperti saya dapat mengikuti perkembangan karakternya sejak remaja yang masih berkarakter keras dan berpandangan sempit hingga akhirnya menjadi seorang samurai legendaris Jepang yang mampu memahami makna kehidupan dan berpikiran dewasa, selain dapat menyempurnakan ilmu pedangnya dan juga menciptakan ilmu pedang baru.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi Takezo dalam menempuh jalan pedang, namun kesemuanya dapat diibaratkan sebagai tangga yang membantunya bertransformasi menjadi manusia yang patut diperhitungkan dalam sejarah. Dan perjalanan ini digambarkan dengan sangat realistis. Musashi tidak digambarkan sebagai superhero yang selalu sempurna, melainkan sebagai seorang manusia biasa, yang kerap berbuat kesalahan. Seperti yang digambarkan tentang sosok Takezo remaja, dimana ia kerap kali bersikap brutal. Bahkan, di bagian cerita yang menceritakan masa lalu Takezo, disebutkan bahwa ia ditakuti oleh orang-orang sedesanya. Ayahnya pun sudah tidak bisa lagi berbuat banyak, sehingga Takezo pun tumbuh menjadi pemuda yang liar dan tidak dapat dikendalikan.
Selain itu, bagian lainnya yang juga saya sukai adalah ketika Takezo yang telah menyandang nama baru Miyamoto Musashi berkunjung ke sebuah kuil untuk mempelajari ilmu bela diri. Kuil yang terletak di Nara itu memang sudah terkenal sebagai sebuah pusat ilmu tombak.
Di sana, Musashi pun berduel dengan seorang biarawan yang telah menguasai ilmu tersebut. Bahkan, sudah banyak orang yang lebih dulu takluk oleh sang biarawan. Namun, dalam gebrakan pertama Musashi berhasil membunuhnya. Namun, menurut seorang petani tua yang di luar dugaan juga telah menguasai ilmu tersebut, kekuatan fisik Musashi yang terlalu kuat justru merupakan kelemahannya.
Tidak terhindarkan lagi, komentar ini pun membuat Musashi gelisah. Ia tidak mengerti maksud petani itu, sehingga tidak terhindarkan lagi bahwa ia membutuhkan perenungan yang lebih dalam untuk mengenali dirinya sendiri, sekaligus memahami makna ucapan sang petani tua.
Namun, tidak hanya itu yang menarik. Seperti sebagian besar orang lainnya, Takezo yang telah bertransformasi menjadi Musashi juga tidak terlepas dari keterkaitan dengan lawan jenis. Namun, kisah cinta yang disajikan di novel ini bagi saya bukan kisah cinta biasa. Tidak ada adegan-adegan romantis, kata-kata manis penuh rayuan, atau hal-hal lainnya yang lumrah saya temukan pada karya-karya tulis lain.
Kendati demikian, kejujuran yang penuh dengan kesederhanaan antara Musashi dan Otsu menghadirkan kesan manis yang justru membuat saya jatuh cinta pada novel ini. Namun, sesuai dengan tema cerita yang merupakan kisah perjalanan hidup Musashi, kisah ini tidak difokuskan pada kisah cinta. Ini tentu saja berbeda dengan karya-karya sastra yang sering saya baca, dimana kisah percintaan sepertinya menjadi bumbu wajib pada setiap tulisan.
Kisah ini justru berfokus terhadap pencarian jati diri Takezo, dimana ia berusaha menjadi seorang manusia sejati melalui jalan pedang. Di sinilah ia menunjukkan konsistensinya, kendati tidak terlepas dari aneka rintangan. Hubungannya dengan tokoh-tokoh lain dalam cerita ini juga seringkali menjadi konflik tersendiri yang mewarnai perjalanan Musashi menuju tujuannya.
Meskipun begitu, tidak terbantahkan lagi bahwa hubungan-hubungan antara para tokoh inilah yang membangun cerita sehingga menjadi menarik, , dimana interaksi antartokohnya seringkali tidak terduga, dan karenanya menjadi sesuatu yang unik. Contohnya adalah seorang samurai Tokugawa yang bernama Ayoki Tanziman, yang merupakan pimpinan pasukan yang memburu Takezo.
Pada bagian-bagian awal kisah tokoh ini sempat berselisih dengan Takuan, seorang biarawan Zen yang kemudian bisa dikatakan menjadi guru spiritual bagi Musashi. Keterlibatan Tanziman yang hanya sepintas nyaris membuat saya melupakannya, namun tanpa terduga keterkaitannya dalam cerita muncul lagi di kemudian hari, yaitu ketika Musashi bertemu dengan seorang anak yang memohon untuk menjadi muridnya.
Anak yang kemudian menjadi murid Musashi itu adalah putra Tanziman, yang ditinggalkan di toko sake oleh ayahnya yang mengalami kehancuran karena kegagalannya menangkap Musashi di masa lalu.
Bagian ini tak urung membuat saya tersenyum kecut, karena salah satu dari sederet ironi yang mewarnai alur kisah ini memang efektif. Di satu sisi kehidupan Jotaro dan Ayoki Tanziman cukup memprihatinkan, namun cara sang penulis memaparkan kisahnya dan juga pengaturan alurnya tidak terbantahkan lagi menjadi sesuatu yang menyegarkan, membuat kisah yang sangat panjang ini tidak membosankan untuk dibaca.
Selain itu, masih banyak lagi unsur-unsur dalam kisah Musashi yang bagi saya sangat menarik. Deskripsi latar seperti pemandangan alam, kota-kota, dan pemaparan sejarah serta budaya jelas menjadi sebuah kekuatan yang mampu membuat saya terhanyut, atau lebih tepatnya tenggelam dalam kisah perjalanan Musashi yang sarat akan makna, seperti yang dikatakan oleh kakak saya.
Deskripsi yang seringkali dipaparkan dengan bahasa yang puitis ini menimbulkan kesan syahdu yang menenteramkan, sehingga sangat cocok untuk dibaca sebagai penyegaran. Bagi seorang tunanetra seperti saya, deskripsi latar ini membuat saya merasa seperti melihat sendiri pemandangan alam dan objek-objek visual lainnya, sehingga tidak terbantahkan bahwa pikiran saya menjadi segar kembali. Kesan ini tidak terganggu, kendati terdapat beberapa adegan yang lekat dengan sifat sadis dan keras, seperti perang di Sakigahara, pembunuhan terhadap kepala bandit yang dilakukan Takezo, hingga pembunuhan terhadap salah seorang samurai Tokugawa yang juga dilakukan Takezo dalam usahanya untuk meloloskan diri dari para samurai Tokugawa yang mengepung rumah keluarga Hon’iden.
Dalam hal yang terakhir ini, terselip juga sesuatu yang berkesan bagi saya, yaitu kehadiran Osugi yang merupakan kepala keluarga Hon’iden. Wanita tua yang merupakan ibu dari sahabat Takezo yang bernama Matahachi ini merupakan seorang tokoh yang menarik, yang menaruh dendam pada Takezo atas bergabungnya Matahachi dengan tentara barat yang memihak Toyotomi Hidyori. Osugi yang tersinggung karena Takezo yang dianggapnya berkhianat karena tidak pulang bersama Matahachi dari medan perang Sakigahara kemudian membantu pasukan Tokugawa yang hendak menangkap Takezo, yaitu dengan berpura-pura ramah kepada pelarian dari medan perang Sakigahara itu. Rencananya, para samurai Tokugawa akan mengepung Takezo yang sedang mandi. Namun, Takezo yang mengetahui pengepungan itu lantas berhasil menghindari penangkapan.
Namun, langkah Osugi tidak berhenti sampai di situ. Dengan dibakar api dendam, ia terus mengejar Musashi tanpa menyerah. Otsu yang semula adalah tunangan Matahachi pun tidak luput dari upaya pembalasan dendam itu.
Keseluruhan kisah mengenai Osugi, Otsu, dan Musashi ini benar-benar kaya warna. Di satu sisi, kekejaman Osugi tak urung membuat saya ngeri, di samping jengkel setengah mati. Bayangkan saja, seorang nenek yang sudah bungkuk masih berusaha memburu seorang pemuda dan gadis yang jauh lebih muda darinya, dan tentunya lebih kuat secara fisik.
Bertahun-tahun upaya perburuan itu dilakukan, hingga Matahachi sendiri muncul dan membuat ibunya menelan pil pahit berupa kenyataan tentang anaknya yang tidak sesuai harapan.
Namun, di sisi lain saya juga kasihan kepada nenek ini. Anggapannya bahwa Takezo telah melarikan istri Matahachi membuatnya berjuang memburu Musashi dan Otsu ke berbagai tempat, bahkan hingga kehilangan adik laki-lakinya yang meninggal dalam upaya perburuan itu. Upaya yang ironis, dan juga ditutup dengan antiklimaks.
Mau tidak mau saya berpikir bahwa sifat Osugi ini terasa ekstrim. Namun, setelah dipikirkan kembali hal itu wajar saja, mengingat pola pikir dan budaya zaman itu yang terbilang keras. Meskipun begitu, bagi saya ini cukup memuaskan juga, karena jalan ceritanya memang runtut, sehingga alasan yang melatarbelakangi tindakan Osugi cukup dapat dipahami.
Namun, tidak semua sikap dari tokoh ini bersifat negatif. Semangat pantang menyerah dalam membela kehormatan keluarga yang dimilikinya pantas untuk dikagumi.
Keseluruhan interaksi inilah yang membuat saya sedikit demi sedikit dapat memahami kebudayaan Jepang pada masa itu, berikut keanekaragaman karakter manusianya. Musashi yang teguh pada pendiriannya, Otsu yang lembut namun keras kepala, Osugi yang agak mengerikan, Takuan yang kocak namun tegas, dan tokoh-tokoh lainnya tak terbantahkan lagi merupakan referensi yang bagus untuk dipelajari. Tidak hanya itu, konsistensi Musashi dalam menempuh jalan yang dipilihnya juga merupakan nilai moral yang penting. Suatu tujuan memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang seringkali tidak sedikit.
Kendati demikian, sebagai suatu karya yang menyajikan interaksi yang tidak selalu positif di antara para tokohnya, novel ini juga menyajikan karakter-karakter yang tidak sepantasnya diteladani. Tokoh Matahachi yang merupakan sahabat Takezo berwatak mudah dipengaruhi, sehingga tanpa disadarinya ia telah menyebabkan masalah besar antara Musashi, Otsu, Osugi, dan sepasang ibu dan anak yang pada awalnya hidup di Gunung Ibuki.
Namun, tokoh ini pun mengalami perkembangan dimana ia akhirnya sadar dan berusaha untuk memperbaiki diri, kendati tidak banyak yang bisa dilakukannya.
Pada akhirnya, bagi saya secara keseluruhan Musashi adalah novel yang penting untuk dibaca karena mampu menyajikan pandangan yang luas mengenai manusia dan beraneka perilakunya. Penyajian kisah Musashi dalam bentuk novel juga mempermudah kita sebagai pembaca untuk mengenal budaya Jepang masa itu, khususnya yang berkenaan dengan Musashi, sang pendekar pedang legendaris.
menarik ya novel ini kalau dari ulasannya. SAya belum pernah baca yang ini. kalau dibandingkan dengan trilogi Klan Otori bagaimana?