Minah terisak. Wajahnya yang berurai air mata dibenamkan ke kedua telapak tangannya. Sementara itu seorang pemuda bertubuh kurus dengan penampilan sederhana mencoba menghiburnya.
***
“Sudahlah dik, jangan nangis terus. Mbok pun nggak akan suka kalau kamu sedih terus.”
Sebelah tangannya yang kurus terulur merangkul adiknya. Ialah Parto, kakak Minah satu-satunya. Saat itu ibu mereka yang meninggal sehari sebelumnya baru saja dimakamkan. Dengan penuh sayang Parto mengelus kepala adiknya sambil menghela napas berat. Sepeninggal ibu mereka tak ada lagi tempat mereka bersandar. Ayah mereka sudah meninggal bertahun-tahun lalu sehingga kini tanggung jawab sebagai kepala keluarga jatuh ke pundak Parto yang lima tahun lebih tua dari Minah. Sejak saat itu ia bekerja sebagai buruh tani membantu ibunya. Namun sekarang apalah yang dapat dilakukannya? Kemalangan seakan datang bertubi-tubi.
Di saat ibunya sakit keras dan butuh biaya untuk berobat, sawah tempat Parto bekerja mengalami gagal panen. Tidak hanya sawah itu saja, sawah-sawah lain di kampung mereka mengalami nasib yang sama. Musim kemarau yang berkepanjangan mengeringkan sumur-sumur dan mata air, juga sumber pendapatan para penduduk. Parto merasa putus asa. Bagaimana cara menyambung hidup pada hari-hari ke depan? Bertani yang menjadi sandaran hidup mereka sejak dulu tidak lagi menjanjikan setelah gagal panen merampas seluruh harapan mereka berbulan-bulan yang lalu. Setelah berpikir cukup lama, Parto mendapat sebuah gagasan. Dipegangnya bahu adiknya yang masih terguncang akibat isakan.
“Minah,” panggilnya.
“Bagaimana kalau kita merantau ke Jakarta?”
***
Beberapa minggu kemudian mereka berangkat. Minah berdebar-debar. Ia takut karena seumur hidup ia belum pernah keluar dari kampungnya, namun rasa penasaran dan harapan yang timbul karena cerita kakaknya semalam membuatnya tidak membantah. Mereka pergi dari kampung dengan kereta api sebelum akhirnya tiba di Stasiun Gambir. Parto menggandeng tangan adiknya melewati kerumunan orang yang seakan tidak ada habis-habisnya.
“Aku haus Mas,” mendadak Minah berkata. Parto menoleh kepada adiknya.
“Iya, Mas belikan minum ya?” ujarnya sambil merogoh saku.
Mendadak bagai disambar petir di siang bolong ia menyadari dompetnya telah raib. Kalang kabut ia mencari di seluruh saku di pakaiannya. Tas yang mereka bawa juga tidak luput turut digeledahnya namun nihil.
“Kenapa, Mas?” tanya Minah saat menyadari kesibukan kakaknya. Wajah Parto memucat.
“Dompet Mas hilang” bisiknya. Kepanikan menyerbunya.
“Hilang?” seru gadis kecil itu terkejut. Ia lalu turut sibuk. Tangannya meraba-raba isi tas dan setiap saku di pakaiannya namun hasilnya sama saja.
“Bagaimana ini?” keluh Parto. Dengan panik ia menoleh ke sana kemari setengah berharap melihat sesuatu yang dapat membantunya menemukan dompetnya. Stasiun itu sangat ramai. Puluhan bahkan ratusan orang terlihat di sana. Di antara orang sebanyak itu tentulah orang yang mencuri dompetnya sudah menghilang.
“Jadi bagaimana, Mas?” Gadis kecil itu nampak nyaris menangis.
“Tenang, Dik,” Parto berusaha menenangkan adiknya kendati ia sendiri bingung dan panik. Mereka berdua berdiri kebingungan di antara ratusan orang yang lalu lalang di stasiun. Parto memeluk adiknya yang menangis.
Perlahan stasiun mulai sepi. Kegelapan makin meluas tatkala matahari mengundurkan diri ke balik cakrawala. Parto akhirnya memutuskan untuk tidur di sana. Esok paginya barulah mereka akan mencari tempat. Ia kemudian merebahkan diri di lantai. Minah sudah terlelap lebih dulu.
Mendadak ia dikejutkan oleh kedatangan seorang petugas keamanan. Pria tinggi besar berseragam membangunkan mereka dengan kasar. Minah menjerit. Parto memohon-mohon agar sang petugas bersedia membiarkan mereka tetap di situ. Namun petugas itu tidak mau tahu. Seperti dua orang gelandangan Parto dan Minah yang terusir lalu berjalan tanpa tujuan.
Dengan wajah pucat karena lelah, lapar dan haus Parto bangkit sambil mengajak adiknya pergi. Dengan tubuh menggigil kedinginan Minah tertatih mengikuti kakaknya berjalan menembus udara malam yang menusuk tulang.
“Kita mau ke mana, Mas?” keluhnya dengan gigi bergemeletuk. Parto merangkulnya lebih erat. Dibiarkannya pertanyaan itu mengawang tanpa terjawab. Ia sendiri tidak tahu harus ke mana. Dituntunnya Minah menyusuri jalanan ibukota yang gemerlap dengan cahaya lampu penerangan jalan dan mobil-mobil yang hilir mudik.
***
Parto tidak tahu berapa lama ia terlelap ketika tiba-tiba ia dipukul dengan sapu. Ketika ia membuka mata ternyata hari sudah terang. Di hadapannya berdiri seorang pria gemuk. Dengan kasar ia mengusir mereka sambil memukul-mukulkan sapu yang dibawanya. Kata-kata makian tersembur dari mulutnya. Parto cepat-cepat membawa adiknya pergi. Hatinya sangat geram melihat tingkah laku pemilik ruko yang mengusir mereka seperti mengusir anjing liar. Suasana pagi sudah ramai. Mobil-mobil yang terjebak kemacetan silih berganti menjeritkan klakson sehingga suasana sangat bising. Minah terus menangis tersedu.
“Aku mau pulang saja,” rajuknya. Parto yang sudah sangat frustasi tidak sengaja membentaknya.
“Sudah! Jangan nangis terus. Kita nggak bisa pulang!.”
Minah tampak terkejut. Kakaknya terdengar seperti orang lain. Namun ia tidak dapat mengatakannya. Kesedihan dan kekesalan yang bertumpuk menyumbat tenggorokannya. Air matanya menjadi semakin deras. Parto terkejut melihatnya.
“Maafkan aku, dik,” katanya dengan suara lirih.
“Sabar ya.”
Mereka lalu berjalan lagi. Di mana-mana tampak pengamen dan pedagang asongan yang serentak menyerbu barisan kendaraan yang berhenti saat lampu lalu lintas menyala merah. Ia lalu memutuskan untuk mengikuti mereka. Saat matahari terbenam Parto dan Minah tiba di suatu tempat kumuh. Bau busuk menyebar di udara dari tumpukan sampah yang menggunung. Deretan gubuk darurat yang dibuat dengan bahan seadanya tampak di sana. Melihatnya, Parto berpikir, mungkin di tempat itu mereka bisa tinggal sementara. Tidak ada tempat lain yang bisa mereka tuju. Dari timbunan sampah Parto menemukan bahan-bahan untuk dijadikan tempat mereka berlindung dari panas dan hujan. Berhari-hari mereka hidup sebagai gelandangan di tempat yang tidak layak huni itu.
***
Hingga datanglah suatu hari. Pagi ini Minah yang masih tertidur di atas alas kardus terbangun dengan kaget ketika mendengar kakaknya beradu mulut dengan seorang pemulung lain.
“Maaf Bang, saya belum punya uang,” Minah dapat mendengar suara kakaknya yang ketakutan. Sebuah suara lain yang menggelegar langsung menyambut dengan bentakan.
“Kalau kagak punya duit ngapain lo masih di sini? Lo pikir semua yang ada di sini punya nenek moyang lo , jadi lo bisa seenaknya aja cari makan di sini?”
Minah mendengar suara kain robek lalu suara kakaknya yang meminta ampun dengan ketakutan. Sepertinya kerah baju Parto ditarik hingga robek.
“Ampun Bang, ampun. Besok pasti saya bayar…”
Terdengar sesuatu terjatuh. Dengan ketakutan Minah menduga bahwa Bang Jefri, pemulung senior di situ mendorong kakaknya hingga jatuh. Bang Jefri memang kejam. Ia mengklaim wilayah tempat Parto memulung adalah miliknya sehingga ia tidak segan meminta uang dengan paksa kepada para pemulung yang dianggap melanggar batas wilayah.
***
Mendengar itu air mata ketakutan langsung mengalir di pipi Minah. Ia sangat merindukan kampungnya yang damai dengan warganya yang ramah. Tidak seperti di sini. Tidak terhitung pula sosok bermuka dua yang licik. Bermacam karakter orang telah ia jumpai di sana sehingga ia merasa tidak aman. Tidak ada yang dapat ia percayai selain kakaknya. Sungguh ingin ia kembali ke kampung. Namun mereka tidak punya ongkos untuk kembali ke kampung. Sedikit demi sedikit harta yang mereka bawa habis. Dulu mereka memang tidak pernah lepas dari kemiskinan namun tidak sampai separah ini.
***
Mendadak suara pertengkaran Bang Jefri dan Parto terhenti oleh suara-suara teriakan yang membuat suasana kacau balau, meneriakkan kata yang tidak dimengerti Minah.
“Trantib! Ada Trantib!”
Beberapa gubuk dibongkar paksa oleh para petugas, tak terkecuali gubuk Minah. Minah sangat terkejut ketika gubuknya diobrak-abrik.
“Ampun Pak, jangan tangkap saya. Saya bukan penjahat!!”
Dengan nekat ia meraih tongkatnya, lalu berusaha keluar dari gubuknya secepat mungkin untuk menghindari orang-orang tak dikenal yang sedang membongkar gubuknya. Ia berusaha berjalan secepat mungkin di antara semrawutnya manusia yang hilir mudik. Menyenggol dan menubruk orang ia lakukan tanpa sengaja. Minah bingung. Suara kakaknya tidak lagi terdengar. Dengan panik ia memanggil namun dengan segera suaranya hilang ditelan keriuhan.
Mendadak seseorang yang sedang berlari menubruknya sehingga Minah kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke tumpukan sampah yang baunya cukup untuk memaksa orang mengeluarkan isi perutnya. Mendadak dari belakang sepasang tangan kekar menangkapnya. Minah meronta sambil berteriak-teriak.
“Lepaskan!” teriaknya. Suara yang membalasnya adalah suara tegas seorang anggota Satpol PP.
“Ayo ikut!” perintahnya tanpa mengindahkan tangisan Minah yang dibarengi kata-kata,
“Ampun Pak… Ampun. Saya bukan penjahat Pak…”
Dengan panik Minah meraba-raba sampah mencari tongkatnya, namun anggota Satpol PP tersebut sudah menariknya bangkit. Dengan pasrah Minah membiarkan dirinya diseret menjauhi tumpukan sampah itu. Air matanya terus mengalir. Di mana Mas Parto? Apakah ia sudah tertangkap ataukah berhasil lolos dan sekarang sedang bersembunyi?
***
“Kamu tunanetra ya?” terdengar suara orang yang menyeretnya. Minah mengangguk takut-takut. Ia tidak tahu bahwa anggota Satpol PP yang menyeretnya ini memperhatikan mata Minah yang berselubung selaput putih. Ia lalu menyuruh Minah naik ke atas truk yang di dalamnya telah penuh orang. Minah tidak dapat membendung sejuta pertanyaan yang membanjir di benaknya. Ke mana ia akan dibawa? Terngiang kembali cerita-cerita yang sudah sering didengarnya mengenai penjara tempat menghukum para penjahat. Semua cerita itu terdengar menyeramkan baginya. Apakah ia juga akan masuk penjara? Bukankah ia bukan orang jahat? Ia tidak merasa berbuat kejahatan.
***
Minah tersadar dari lamunannya saat gerakan truk berhenti. Kepanikan kembali menyergapnya. Di mana ini? Minah kemudian mendengar bagian belakang truk dibuka. Orang-orang yang berdiri di sekitarnya pun berbondong-bondong turun. Aura keputusasaan terasa di antara mereka seakan di sinilah akhir dari segalanya. Tertatih-tatih Minah pun mengikuti orang-orang itu. Telapak kaki kirinya yang telanjang terasa panas dan perih karena luka yang terbentuk di sana.
***
Sepasang mata mengintai dengan penuh kekhawatiran ke area dimana sebelumnya terjadi penertiban. Suasana kini telah sepi. Hanya ada tumpukan sampah yang teronggok di sana-sini mempesona gerombolan lalat yang beterbangan kian kemari. Tidak ada lagi tanda-tanda para anggota Satpol PP. Truk Dalmas yang semula terparkir di sana pun sudah tidak terlihat lagi. Parto kemudian memberanikan diri untuk keluar dari persembunyiannya. Hatinya berdebar panik saat matanya tidak menangkap sosok Minah di mana pun. Derajat kepanikannya naik drastis saat ia mendapati gubuk-gubuk berdinding kardus dan bahan-bahan yang tidak layak lainnya yang semula bergerombol di sana telah rata dengan tanah.
“Minah!” panggilnya dengan sia-sia. Sementara sisa penduduk liar di bantaran kali itu berdatangan.
“Hei, ngapain lo teriak-teriak di sini?!”
Tiba-tiba Bang Jefri muncul di antara kerumunan orang yang kebanyakan berwajah hampa dan tidak bersemangat. Tidak sedikit pula yang menangis meratapi barang-barang mereka yang ikut terkubur bersama puing-puing hunian mereka.
“Diam! Diaaaam!” Bang Jefri terlihat kalap. Beberapa orang lain maju dengan wajah yang tidak kalah sangar dengan wajah Bang Jefri.
“Ngapain lo? Kita semua di sini lagi susah. Jadi jangan berlagak sok pemimpin deh!”
Ucapan mereka didukung oleh para pemulung yang selama ini dijadikan sapi perah oleh Bang Jefri. Lama-kelamaan suasana memanas. Adu mulut pun tak terhindarkan. Parto menyingkir menjauhi tempat itu, berusaha tidak memperhatikan para pemulung yang bentrok.
***
Selama bertahun-tahun Parto bekerja keras sambil terus berusaha mencari Minah. Mengamen, memulung dan berdagang asongan sudah biasa dilakukannya. Apapun akan dikerjakannya untuk memperoleh uang asalkan pekerjaan itu halal. Lama-kelamaan ia dapat membiasakan diri dengan kerasnya kehidupan di ibukota. Tidak sedetikpun bayangan Minah hilang dari kepala Parto. Di mana ia? Bagaimanakah keadaannya? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu bergolak di hati Parto.
“Mungkin adik lo itu dibawa ke Dinas Sosial, To,” ujar temannya sesama pemulung saat Parto bercerita mengenai adiknya.
“Apa?” Parto terhenyak.
***
Berbekal dugaan itu Parto pun melacak jejak adiknya ke Dinas Sosial tempat para pendatang yang tidak memiliki kelengkapan surat identitas ditampung. Namun tentu saja Minah sudah tidak ada di sana. Parto merasa putus asa. Sebuah liputan yang kebetulan didengar Parto di televisi yang dipajang di sebuah restoran saat ia membantu temannya mengamen kebetulan menayangkan mengenai sebuah yayasan sosial yang membina anak-anak tunanetra yang kurang mampu. Tayangan itu kemudian memberinya ide untuk mencari adiknya di sana. Siapa tahu. Parto berdoa dalam hati. Ia segera berangkat ke sana.
Harapannya terkabul. Ia sangat bersyukur ketika melihat Minah dari jendela salah satu sekolah luar biasa yang terletak di kompleks sebuah yayasan. Betapa ingin ia menemui adiknya dan menjemputnya, namun keraguan menyergapnya. Tidak ada gunanya menjemput Minah sekarang .
“Aku harus menyiapkan tempat tinggal yang layak untuk kami berdua,” tekadnya dalam hati sebelum beranjak pergi dengan hati berat.
***
Seorang gadis tersenyum tepat saat suara jepretan dari sebuah kamera menyapa telinganya. Di sana sini banyak orang yang berebutan menyalami tangannya.
“Minah, selamat ya,” sapa sebuah suara. Minah terkejut. Sudah bertahun-tahun berlalu namun tak sedetikpun ia melupakan suara itu.
“Mas Parto?” tanyanya.
“Ya, ini aku,” jawab suara itu. Air mata Minah meleleh. Sudah bertahun-tahun ia merindukan suara itu. Suara yang tidak lain dan tidak bukan adalah milik kakaknya. Tidak pernah diduganya kakak yang sudah lama tidak terdengar kabarnya kini muncul kembali tepat pada acara wisuda Minah sebagai seorang sarjana Pendidikan Luar Biasa.
“Maafkan Mas, Minah. Selama ini Mas nggak pernah ngasih kabar.”
Kemudian Parto menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun. Air mata haru semakin merebak di wajah Minah setelah mendengar cerita kakaknya yang kini telah memiliki sebuah rumah sederhana hasil bisnis barang rongsokan yang ditekuninya selama beberapa tahun ini. Tidak sedikit pun ia menyimpan kemarahan kepada sang kakak. Ia sendiri pun tidak pernah menduga akan menjadi seperti ini.
Dulu ia sangat ketakutan ketika turun dari truk. Ia dan semua orang yang terjaring razia lalu ditampung di Dinas Sosial. Di sana mereka dibina dan diarahkan. Minah diserahkan ke sebuah yayasan pembinaan anak tunanetra tempat ia lalu disekolahkan dan diasramakan. Kendati demikian di sudut hatinya selalu tersimpan kerinduan akan sosok sang kakak yang kini berdiri di depannya sebagai seorang pengusaha barang bekas. Minah juga bertemu orang tua asuh yang lantas memberikan beasiswa khusus untuk menempuh pendidikan tinggi. Beasiswa itulah yang mengantarkan Minah ke sini, berdiri di dalam gedung wisuda dengan memakai setelan toga. Minah sangat bersyukur. Tidak pernah diduganya bahwa jalan hidupnya menanjak justru di saat ia merasa telah tersudut di tepi jurang.
Terima kasih Tuhan,” bisiknya haru di antara deraian airmata.