Mimpi buruk itu menyelinap masuk begitu saja di kesunyian tidurku tanpa permisi, tanpa sungkan dan basa-basi. Seolah tidurku adalah sebuah bangunan rumah singgah dan ia gelandangan yang bisa singgah kapan saja ia mau, apakah di siang paling bolong atau di larutan malam paling dingin dan pekat. Ia tidak memperdulikan apakah aku menerimanya dengan sabar atau sangar, tabah atau marah.
Seakan ia tahu benar bahwa aku tak bisa berbuat apa-apa walaupun aku adalah pemilik sah ”rumah mimpi” ini. Ya, aku memang cuma berhak membangun dan memiliki tapi tak kuasa mengatur atau mengisinya. Bukankah cukup dengan tidur maka bangunan itu terbentuk dengan sendirinya? Bacalah: betapa dalam tidur pun aku sedemikian terjajah!
Ini bukan kali pertama sebuah mimpi buruk nyelonong masuk di dalam tidurku. Sebelumnya juga sudah banyak –bahkan terlalu banyak- yang datang ke sini. Tapi yang satu ini seperti hendak menuntut perhatian lebih dariku. Ia tak segera menyembunyikan diri walau mata telah kubuka lebar-lebar. Ia tetap bergeming di tempat sementara kesadaranku telah dengan susah payah menerbitkan matahari di langit-langit jiwa.
Mungkin kau bertanya-tanya seperti apa buruknya mimpi itu sehingga sebegitu mengganggu ketenangan hidupku yang sudah disesaki dengan berbagai macam goncangan?.
Pastinya tak seburuk bayangan di kepalamu. Aku tidak sedang bermimpi bertemu setan dalam wujudnya yang paling mengerikan, juga bukan mimpi ketemu hantu perawan, hantu yang menggairahkan sekaligus membahayakan. Ini cuma sepenggal kisah pertemuan antara aku dan ibuku yang telah meninggal enam tahun silam.
Saat itu aku merasa baru saja pulang dari Jakarta setelah sekian lama tak menengok kampung halaman. Di rumah masa kecilku itu ibu nampak sedang mengasuh cucunya, tak jelas apakah ia anak dari adik perempuanku atau anak dari adik laki-lakiku. Aku sengiri juga belum kenal dengan keponakan baruku itu sehingga ibu bermaksud mengakrabkannya.
“Eee, Pak De pulang, Nok. Pak De pulang.” Katanya sambil mengarahkan pandangan bocah itu kepadaku. Aku masih bingung mau berucap apa. Kuletakkan tas bututku sekalian membantengkan pantat ke dipan.
“O, mau ikut Pak De? Iya, nih, Pak De. Dhenok mau ikut Pak De.”
Dengan serta merta ibu meletakkan bocah itu di pangkuanku. Ini juga di luar kebiasaan ibu karena pantang baginya memberikan anak kecil kepada orang yang baru datang. Ora ilok, katanya. Dan kalau ditanya kenapa ibu memberi alasan, orang yang habis bepergian mungkin masih diikuti setan. Jadi jangan buru-buru mendekati si kecil sebelum membersihkan diri. Itu keyakinan ibu yang ia pegang sejak dulu. Kenapa tiba-tiba ia berlaku beda? Meski masih dileputi rasa heran dan ketidak-pahaman aku menerima begitu saja bocah itu di pelukanku.
Hmm, begini-begini aku juga seorang penyayang anak, terutama anak yang masih kecil atau bayi sekalian. Apakah karena ia belum bisa menghinaku? Entahlah! Tapi jujur saja hatiku mudah trenyuh bila mendengar anak kecil menangis dan ikut bergembira ketika ia tertawa-tawa.
Aku memastikan yang kugendong adalah bocah perempuan. Yang membuatku sedikit heran, tingkah bocah itu seperti anak umur dua tahun, padahal kata ibu umurnya baru dua bulan. Sejenak kemudian ibu meminta cucunya kembali dan aku disuruh makan bubur yang sudah dipersiapkan.
Untuk ke sekian kalinya aku dihadapkan pada sesuatu yang mengherankan. Bubur itu, alangkah sedikit sekali. Apakah ibu lupa bahwa aku bukan anak kecil lagi? Atau ibu tak lagi memiliki cukup beras untuk sekedar memenuhi tuntutan perut orang dewasa? Lama aku menatap bubur itu sampai ibu menyuruhnya kembali.
“Ayo, dimakan.” perintahnya benar-benar seperti ditujukan kepada anak kecil. Atau benar kata orang, sebesar apapun dirimu, di mata ibumu kau tetaplah anak kecil.
Aku memaksa diri menaati perintah ibu. Begitu sedikitnya sehingga hanya dalam beberapa suap saja aku telah berhasil menghabiskan bubur itu. Yang lebih mengharankan, begitu aku selesai makan bubur ibu tahu-tahu sudah memegang gunting dan berusaha memangkas rambutku. Karena cara memotongnya salah maka hanya sebagian kecil rambut yang dihimpit dua bilah tajam itu yang sempat terpotong.
***
Apakah kau akan berkata, “Kalau Cuma seperti itu ya bukan mimpi buruk namanya.“
Ya, sebenarnya bukan pada mimpi itu keburukan bersemayam, tetapi lebih pada maknanya, pada artinya, pada tafsirnya. Apa? Persetan dengan tafsir mimpi? Mungkin kau benar. Orang seperti aku ini memang tak sepatutnya mengurus mimpi beserta segenap tetek-bengek tafsirnya. Tapi disadari atau tidak, tak semua mimpi adalah fatamorgana.
Ada kalanya ia merupakan simbul, penanda akan adanya sesuatu peristiwa. Yang jadi masalah, betapa tidak mudah memilah antara keduanya. Maka demi mengantisipasi kemungkinan buruk yang bakal terjadi, mengapa tidak mencoba memahami tanda-tanda itu melalui tafsir mimpi?. Toh, untuk mengetahui tafsirnya kita tak harus menjadi nujum terlebih dulu, atau membuka-buka buku primbon tentang tafsir mimpi.
Memang benar, ada mimpi yang agak sulit diterjemahkan artinya dan harus diserahkan kepada ahlinya. Tapi banyak sekali mimpi yang tafsirnya sudah diketahui umum. Mimpi giginya copot misalnya, artinya ada salah satu sanak saudara yang akan meninggal. Mimpi digigit ular, berarti akan ketemu jodoh. Mimpi menjadi raja berarti akan naik pangkat, mendapat kedudukan yang lebih tinggi, dan sebagainya. Tapi kalau mimpi menjadi raja sehari alias jadi pengantin berarti waktu hidupnya akan segera habis.
Lantas bagaimana dengan mimpiku? Rasanya tak terlalu sulit untuk memahami artinya, karena ibarat teka-teki, rahasia jawabannya sudah diketahui umum. Dan kau lihatlah betapa rentetan peristiwa dalam mimpiku itu semuanya bermakna buruk?
Pertama, mimpi ketemu orang yang sudah meninggal, artinya badan akan sakit atau minimal lemas dan pegal-pegal. Kedua, mimpi menggendong anak perempuan, artinya akan mendapat sial atau celaka. Ketiga, mimpi makan, artinya tubuh akan terkena penyakit. Dan inilah puncak peristiwanya, mimpi rambut dipotong artinya akan meninggal. Ya, meninggal alias mati.
Apakah aku memang sudah akan mati? Apakah aku memang benar-benar sudah akan dijemput ajal? Apa pula penyebabnya? Digebuki satpol PP karena bosan menangkap dan menangkapku melulu? Dikeroyok massa karena dituduh mencuri celana dalam perempuan yang tertinggal di kawat jemuran? Atau mati digerogoti penyakit, demam berdarah? Flu burung? Ah, kalau bisa jangan dululah! Mengapa harus secepat itu mati?
Aku masih ingin hidup, kalau perlu seribu tahun lagi agar dapat membuktikan bahwa hidup ini benar-benar rahmat dan sama sekali bukan azab. Walau harus kuakui dalam menjalani hidup aku dengan segala keterpaksaan, namun aku lebih memilih menolak jika kematian adalah alternatif lain yang ditawarkan. Aku belum siap. Meski aku bukan penjahat [atau belum?], tapi manusia mana yang bisa luput dari dosa. Maka, bertobat sebelum ajal tiba adalah keharusan karenanya. Dan itulah yang aku belum sempat melakukan. Aku masih terlalu sibuk dengan derita dan cita-cita.
Kau boleh menganggap apa yang kukatakan ini cuma alasan pembenaran atas ketidak-becusanku mengelola diri. Tapi kau bisa lihat sendiri betapa panjang daftar kekonyolan hidup yang kumiliki. Lahir dengan penglihatan yang tak sempurna di tengah kemelaratan keluarga pastilah tidak cuma membiakkan keterhinaan yang tak mudah di tumpas. Tetapi juga mendatangkan deret kesulitan dan kesialan yang menganak-sungai.
Masa-masa kecil harus kulalui dengan keterkucilan dari teman-teman sebaya. Mereka lebih suka menghina dan tak mau bermain denganku. Bermacam-macam cara menghinaku. Ada yang menyebutku si juling, si pece, si kriyip dan sebagainya yang kesemuanya mengarah kepada ketidak-beresan mataku.
Bahkan aku sempat terjebak ketika di antara mereka masih ada yang sudi memanggilku dengan panggilan yang layak: Mas Leo. Tapi belakangan kemudian baru kutahu bahwa Mas Leo itu cuma kependekan dari matanya kesleo. Betapa keparat mereka semena-mena terhadapku. Sampai kapanpun aku tak terima diperlakukan serendah ini.
Dilanjutkan masa remaja yang semakin menyakitkan tersebab oleh persoalan anak muda yang tak pernah tuntas pada titik kemenangan. Ketika yang lain sibuk melanjutkan sekolah aku tak ke mana-mana. Ketika mereka dengan gembira menikmati masa remaja, kumpul-kumpul, berolah raga, berpacar-pacaran, dan plesir ke tempat-tempat wisata, aku justru semakin terasing dan tak berharga.
Rumah dan ibu adalah perllindungan terakhir bagi kesia-siaan hidupku. Betapapun keduanya semakin rapuh dimakan usia. Sebagai anak laki-laki aku juga merasa tak nyaman menjalani hidup yang lebih perempuan dari perempuan ini. Terlebih setelah bapakku meninggal aku semakin terperangkap ke dalam kesibukan membantu ibu mencari nafkah walau tugasku cuma menangani pekerjaan-pekerjaan di rumah.
Ibuku penjual makanan khas kampung yang setiap hari berjalan ke sana ke mari menawarkan dagangannya. Penghasilannya sekedar cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan menyekolahkan kedua adikku.
Aku senang sekaligus gamang ketika memikirkan masa depanku sendiri. Aku tak dapat membayangkan bagaimana nasibku jika ibu sudah tak ada dan adik-adikku sudah berkeluarga. Di titik inilah gelora pemberontakanku sebagai lelaki muda menjadi kian tak terbendung. Menggelandang di Jakarta sebagai pengamen jalanan adalah episode kepahitan hidupku berikutnya. Berpakaian seadanya, makan apa saja, tidur di mana saja, dicaci, dihina, diusir, digaruk, adalah nyanyian keseharian. Masih kurangkah?
***
”Syukurlah kau sudah mulai siuman, anak muda.” ucapan itu menggetarkan gendang telingaku. Kukerjap-kerjapkan mata untuk mengetahui pemilik suara itu. Samar-samar mataku menangkap sosok putih di dekatku.
“Kau sekarang sedang dirawat di RSCM.” Sosok putih itu lagi. Suaranya pelan tapi penuh wibawa. Aku masih belum mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Yang kutahu cuma tubuhku yang menggeletak lunglai di dipan rumah sakit dengan balutan perban di sana sini.
“Kami sekeluarga mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya. Kau telah mempertaruhkan nyawamu untuk menyelamatkan cucuku. Kalau tidak, pasti sudah hangus terbakar.
Kucoba membuka mata lebih lebar lagi. Di tempat tidur sebelah kiriku nampak terbaring seorang bocah perempuan –juga dengan balutan hamper merata di sekujur tubuhnya- yang ditunggui wanita muda berkerudung putih, mungkin ibunya.
Sedikit demi sedikit ingatanku mulai terkuak. Ya, peristiwa kebakaran yang dahsyat itu, dini hari, ketika itu perutku sedang melilit minta diisi. Aku ngeloyor ke tempat para tukang nasi goreng berkumpul sambil menghitung untung setelah sedari sore berputar-putar ke sana ke mari mencari pembeli. Aku ke situ bukan mau membeli. Sebab ketika sepiring nasi goreng bahkan terlalu mahal untuk kujangkau maka aku cukup meminta nasi putihnya yang tersisa buat sekedar mengganjal perut.
Namun ketika menikung di gang becek aku melihat di ujung sana sedang ada kebakaran hebat. Aku buru-buru lari ke sana. Orang-orang panik berhamburan tak tentu arah. Seorang ibu meraung menyesali diri karena keliru menggendong bantal sementara anaknya masih tertinggal di dalam. Seperti digerakkan sesuatu entah, aku langsung menghambur memasuki rumah yang telah dipenuhi kobaran api. Entah berapa menit aku mencari bocah itu. Yang jelas, begitu berhasil aku segera membawanya melompat ke luar dan selanjutnya aku tak tahu lagi apa yang terjadi.
”O ya, kenalkan, namaku Yamani. Orang-orang memanggilku Ustadz Yamani. Setelah sembuh nanti, maukah kau tinggal di rumahku? Kebetulan aku sedang bikin peternakan burung puyuh. Mungkin kau bisa membantu.”
Oh Tuhan, sebuah tawaran yang terlalu manis untuk kutolak. Inikah akhir dari segala kepahitan itu?
***
Editor: Putri Istiqomah Priyatna
Penulis: Kardono