Menjamin Bepergian yang Aman untuk Tunanetra

Jakarta, Kartunet – Perkembangan teknologi seperti perangkat GPS yang aksesibel mampu meningkatkan kemandirian seorang penyandang disabilitas, khussnya tunanetra total dan low vision, untuk bermobilitas. Akan tetapi, perkembangan teknologi dan desain tata kota yang berkembang pesat saat ini dapat menjadi tantangan dan hambatan bahkan berbahaya apabila tidak direncanakan dan dirancang secara inklusif untuk memenuhi kebutuhan berbagi ruang sesama warga.
Dewasa ini kemampuan untuk bepergian secara mandiri dan aman menjadi isu penting untuk tiap orang. Kita menginginkan dapat sampai di tempat tujuan dengan cara yang seaman dan secepat mungkin. Hal tersebut tak terkecuali menjadi kebutuhan juga untuk para tunanetra, baik yang buta total atau penglihatan terbatas (low vision). Namun, akses tunanetra pada transportasi yang terjangkau dan aksesibel masih menjadi tantangan besar. Tak ayal hal tersebut berdampak pula pada terbatasnya akses mereka pada pendidikan dan lapangan kerja yang layak, serta keterlibatan penuh dalam masyarakat.
World Blind Union (WBU) atau Persatuan Tunanetra Sedunia, dengan seksama mengikuti perkembangan akses dan desain transportasi terkini. Pada forum transportasi internasional yang baru ini mereka hadiri, WBU sangat tertarik pada diskusi mengenai inovasi teknologi yang berkembang di isu aksesibilitas. Alur diskusi mengarah pada wacana bahwa ke depan seorang tunanetra tak dapat lagi hanya menggunakan tongkat putih untuk bepergian dengan aman dan mandiri. Hal tersebut dikarekanan masyarakat lambat laun mengarah pada penggunaan ruang secara bersama antara pejalan kaki, pengendara sepeda, dan juga kendaraan bermotor. Teknologi juga mengarah ke pengaplikasian mobil-mobil otomatis tanpa supir dan peralatan berkendara yang mengintegrasikan sistem antrian elektronik ke dalam rekayasa rambu-rambu lalulintas. Akankah para ahli yang membuat peralatan-peralatan tersebut mempertimbangkan kebutuhan mereka yang tak dapat melihat rambu-rambu visual saat merancang sistem tersebut?
Sangat krusial peran WBU atau organisasi ketunanetraa di tiap negara untuk dilibatkan dalam proses tersebut untuk menjamin kebutuhan para tunanetra baik yang buta total atau low vision tidak terabaikan. Seperti saat ini, WBU sedang bekerja sama dengan beberapa negara mengenai isu mobil hibrit tanpa suara. Mobil hibrit tersebut berjalan dengan tenaga listrik dari baterai dan hanya sedikit hingga tak bersuara sama sekali saat mobil berhenti di persimpangan atau melaju dengan kecepatan rendah. Mobil jenis ini merupakan bahaya yang serius untuk tunanetra yang mengandalkan pendengaran pada suara kendaraan yang melintas saat ingin memutuskan untuk menyeberang jalan. Apabila kebutuhan para tunanetra sudah dipertimbangkan ketika merancang mobil jenis ini, maka WBU tak perlu mengadvokasi isu ini. Akan tetapi, mboil-mobil sudah diproduksid an beredar di pasaran, dan menjadi ancaman yang nyata untuk para tunanetra saat bepergian.
Pengembangan aplikasi GPS berbasis telepon pintar (smart phone) telah jadi lompatan besar untuk kemandiran seorang tunanetra dalam bepergian. Namun, komunitas tunanetra perlu untuk mengetahui terlebih dahulu, aplikasi navigasi via GPS apa saja yang handal, aksesibel, dan terjangkau. Sebelum aplikasi tersebut dilempar ke pasar, para tunanetra perlu dilibatkan untuk mengujinya agar dapat memberikan masukkan kepada perancang dan programmer aplikasi, sehingga dapat memastikan bahwa pengembangan aplikasi tidak didasari pada asumsi belaka, melainkan harus dilihat dari segi kegunaan bagi tunanetra.
Tongkat Putih, yang diakui sebagai simbol mewakili ketunanetraan dan mobilitas, masih menjadi alat bantu orientasi yang paling banyak digunakan di dunia. Saat ini tongkat putih yang sederhana coba dikembangkan oleh tunanetra pejalan kaki dengan menambahkan teknologi getar otomatis agar mereka tahu seberapa dekat mereka dengan objek. Akan tetapi, tongkat tersebut tidak akan dapat dimiliki oleh mayoritas dari mereka karena 90 persen tunanetra di dunia tinggal di negara-negara berkembang, dan akses pada teknologi tersebut masih jauh dari kata nyata. Bahkan, banyak tunanetra pada negara-negara ini tak mampu membeli tongkat putih standar untuk menelusuri lingkungan sekitarnya.
Saat desa-desa dan kota-kota di berbagai belahan dunia sedang membangun infrastrukturnya, dan daerah perkotaan makin diperluas, para tunanetra harus diberikan peran untuk memberikan masukan untuk memastikan bahwa rancangan yang digunakan telah bersifat inklusif sejak permulaan, dan aksesibilitas bukan jadi sesuatu yang dapat difikirkan kemudian. Sebagaimana segi desain universal secara jelas diharuskan dalam Konvensi PBB mengenai hak-hak penyandang disabilitas, perhatian patut diberikan pada tiap tahap pembuatan konsep dan rancangan produk dan fitur baru untuk menjamin bahwa prinsip-prinsip desain yang universal dan inklusif diterapkan.
Bertepatan dengan momentum Hari Tongkat Putih Sedunia tanggal 15 Oktober, Persatuan Tunanetra Dunia menyerukan kepada negara, regulator, perancang, dan pabrik-pabrik untuk menentukan dan menerapkan standar yang akan menjamin akses universal untuk seluruh penyandang disabilitas. Lebih jauh mereka juga mengajak para insinyur teknik agar berkonsultasi dengan organisasi ketunanetraan atau rekanannya untuk berdiskusi mengenai implikasi terhadap usulan perubahan sebuah rancangan sehingga persoalan aksesibilitas yang dapat diidentifikasi pada tahap pengujian dapat ditangani sebelum peralatan baru tersebut diproduksi secara masal. Mereka juga menyerukan kepada organisasi anggotanya serta organisasi lain yang melayani penyandang disabilitas untuk aktif menghadiri forum transportasi setempat dan pertemuan perencanaan tata ruang kota untuk memastikan bahwa kebutuhan penyandang disabilitas terkait aksesibilitas dimasukkan menjadi bagian dari layanan dan rancangan sistem transportasi di negara masing-masing. Hubungi kementrian transportasi untuk mengetahui kapan waktu pertemuan seperti itu diadakan.
Indonesia juga harus aktif melibatkan penyandang disabilitas dalam tiap kebijakan yang diambil, khususnya soal transportasi dan tata ruang kota. Sebab itu merupakan ruang publik, dan juga hak bagi penyandang disabilitas. Selamat Hari Tongkat Putih, semoga ke depan mobilitas penyandang disabilitas netra makin dipermudah dengan aksesibilitas dan teknologi terbaru.(DPM)

Baca:  Membangun sukses melalui delapan sikap profesional
Bagikan artikel ini
Dimas Prasetyo Muharam
Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

Articles: 313

Leave a Reply