Berdasarkan data dinas pendidikan, Yogjakarta memiliki 1.733 difabel usia sekolah. Tantangan ini memerlukan suatu pemikiran yang serius dari para pendidik difabel dan para stake holders mengingat Yogyakarta merupakan daerah yang rawan gempa. Hal ini dikarenakan pengetahuan dan informasi yang relevan di sekolah khusus mengenai cara praktis pengurangan risiko bencana bagi difabel sangatlah minim. Padahal pendidikan memegang peranan penting dalam pengurangan risiko bencana.
Kebanyakan dari sekolah belum mengetahui bagaimana yang harus dilakukan ketika gempa berlangsung dalam upayanya mengurangi risiko bencana bagi difabel. Sedikit merefleksi gempa 2006 lalu, tak sedikit korban yang merupakan difabel usia sekolah. Maka untuk menjawab tantangan tersebut diperlukan adanya paradigma baru dalam proses pendidikannya. Paradigma ini antara lain diberikannya pelayanan yang mengarah pada pengembangan aksi tanggap darurat yang menitikberatkan pada kemandirian difabel saat gempa terjadi.
Untuk menumbuhkan difabel yang tanggap gempa, sekolah diharapkan menyusun strategi dan materi yang sesuai dengan kekhususan difabel. Materi yang diajarkan dapat sama, namun menggunakan media yang berbeda. Media pembelajaran bagi tunanetra dapat berupa CD materi gempa maupun penjelasan oral guru. Sedangkan untuk tunarungu, media yang digunakan lebih ditekankan pada stimulus visual. Untuk tunagrahita, lebih efektif apabila diberikan dengan melibatkan seluruh indra secara komprehensif (multisensory) dengan pendampingan yang lebih intensif. Bagi difabel tanpa kerusakan sensori (tunadaksa), media pembelajaran dapat bervariasi sesuai kekreativitasan guru.
Selain media yang sesuai dengan kekhususan anak, metode simulasi akan sangat membantu dalam menciptakan difabel yang tanggap gempa. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa proses penyelamatan diri secara praktis dan kontekstual. Dalam kegiatan simulasi ini guru diharuskan merencanakan aksi penyelamatan (evacuation action plan) dengan menjelaskan tentang apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan difabel saat gempa terjadi, dan juga membuat peta bahaya sekolah (school hazard mapping) agar difabel dapat menghindari tempat-tempat berbahaya tersebut.
Dengan adanya pembekalan tanggap gempa, diharapkan difabel dapat memperoleh informasi dan prosedur evakuasi praktis saat gempa. Apabila difabel dapat secara mandiri menyelamatkan diri, maka risiko bencana gempa bagi difabel dapat diminimalisasi.
yang pro kontra itu kurikulum 2013. ganti mentri gantri peraturan
itulah kalo anak didik selalu dijadikan korban politisi
beberapa sekolah sudah mulai mengajarkan peserta didik difabel terkait penyelamatan diri saat bencana. dengan kurikulum yang bafru ini, pendidik diberikan keluasaan untuk mengeksplorasi berbagai macam sumber belajar
yang dimaksud kurikulum 2013 yang konon dapat banyak pro dan kontra, atau kurikulum KTSP?
dan sebetulnya dengan sistem saat ini yaitu dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan, membuka peluang sekolah agar kreatif membuat kurikulum sesuai dengan kebutuhannya. Yap, skeolah memang harus kembali pada fungsi dasarnya sebagai institusi yang mencerdaskan anak didiknya, bukan sekedar membuat ijazah kelulusan.