Jakarta, Kartunet.com – Sejak 1943, istilah autis diperkenalkan oleh Leo Kaanner. Hingga kini, istilah dan segala aspek yang bersangkutan dengan autis telah menarik banyak perhatian dari banyak kalangan profesional, seperti psikolog, psikiater, neurolog dan tentu saja ortopedagog.
Sementara itu, seiring dengan banyaknya perhatian yang tertunpah pada permasalahan anak autis, angka kejadian terlahirnya anak autis di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dalam pendahuluannya pada buku Autism is Treatable, Dr. Kresno Mulyadi, Sp.Kj., motivator keluarga berkebutuhan khusus, menyatakan bahwa kini angka kelahiran anak autis di Indonesia mencapai 1 kasus dari 165 kelahiran.
Di balik meningkatnya angka kelahiran anak autis, masih banyak masyarakat khususnya bahkan keluarga dengan anak autis yang belum memahami siapa sebenarnya anak autis dan bagaimana cara berinteraksi dengan anak autis. Selain itu, tidak sedikit keluarga merasa kesulitan berinteraksi dengan anak autis.
Dengan Dunianya Sendiri
Secara harfiah kata autis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu ‘aut’ yang berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung menyatakan orientasi, arah, atau suatu keadaan. Berdasarkan pengertian ini Reber (1985) dalam Trevarthen (1998) menyatakan bahwa autis dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asyik dengan dirinya sendiri. Pengertian ini merujuk pada bagaimana anak-anak autis gagal menyesuaikan minat dengan orang lain, selain juga kehilangan beberapa penonjolan perilaku seperti pada anak kebanyakan.
DSM-IV
Berbeda dengan pengertian di atas, APA (American Psychiatric Association) menetapkan beberapa kriteria untuk menetapkan apakah seorang anak dapat dikatakan sebagai anak autis. Kriteria tersebut dikenal dengan nama Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi IV (DSM-IV). Berdasarkan criteria DSM-IV, seorang anak dapat dikatakan mengidap autis apabila:
- Memiliki minimal dua kriteria gangguan dalam interaksi sosial:
- Rendahnya kemampuan berinteraksi sosial melalui komunikasi nonverbal seperti kontak mata, ekspresi muka, dan gerak tubuh.
- Tidak mampu berinteraksi sosial dengan kelompok sebayanya.
- Tidak memiliki keinginan untuk berbagi kesenangan, prestasi, perasaannya atau keingintahuannya dengan anak lain.
- Kurang mampu melakukan hubungan timbal balik dalam hubungan sosial dan emosional.
- Memiliki minimal dua kriteria gangguan komunikasi:
- Terlambat atau tidakadanya perkembangan kemampuan berbicara dan tidak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain, seperti isyarat atau gerak tubuh.
- Jika bisa berbicara, kemampuan berbicaranya tidak digunakan untuk berkomunikasi.
- Sering menggunakan bahasa yang “aneh” dan berulang-ulang.
- Kurang mampu bermain dengan permainan variatif, meniru, imajinatif, atau spontan.
- Memiliki minimal satu kriteria tingkah laku dan pola yang sering diulang-ulang dalam kegiatannya.
- Rasa tertarik yang abnormal dari segi fokus dan intensitas terhadap suatu kegiatan yang khas atau terbatas. Misalnya, mengulang-ulang sebuah adegan dari video secara terus menerus, berjalan tanpa henti membentuk lingkaran, dan lain-lain.
- Memiliki kebiasaan rutinitas yang sering kali tidak bermakna apa-apa bagi orang lain.
- Memiliki rasa ketertarikan pada suatu bagian saja dari benda.
- Sering melakukan gerakan-gerakan tertentu yang khas dan berulang-ulang.
Dari tiga kategori kriteria di atas, seorang anak dapat dikatakan autis apabila memiliki jumlah akumulatif minimal enam kriteria. Gejala di atas akan tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan apabila anak mengalami autis infantile (autis sejak kandungan), gejala di atas sudah ada sejak bayi.
Autis juga merupakan suatu konsekuensi dari perbedaan perkembangan otak yang kompleks yang mempengaruhi banyak fungsi otak, seperti persepsi, intending, imajinasi, dan perasaan. Dengan kata lain, autis dapat dinyatakan sebagai suatu kegagalan dalam penalaran sistematis.
Dalam suatu analisis mikrososiologikal tentang logika pemikiran anak autis dan interaksinya dengan orang lain, Durig (1996) dalam Trevarthen (1998) menyatakan bahwa anak autis memiliki kekurangan dalam membuat penalaran, misalnya penalaran yang bergerak dari premis-premis khusus menuju kesimpulan umum atau sebaliknya.
Autism Spectrum Disorder
Anak yang dideteksi memiliki gangguan autis tidak semuanya memiliki gejala yang sama. Jika anak autis diibaratkan warna biru, maka warna biru itu bisa beragam spektrumnya mulai dari biru muda hingga bitu tua. Dengan kata lain, setiap anak autis memiliki kekhasannya masing-masing, dengan masing-masing gelaja yang unik dan tidak pernah sama persis antar satu anak autis dengan anak autis lainnya.
Perbedaan yang ada antar anak autis ini biasanya menandakan perbedaan tingkat gangguan yang ada pada anak. Untuk mendeskripsikan perbedaan tingkat ganguan anak autis, maka muncullah istilah Autism Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autis.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak autis adalah anak yang mengalami hambatan perkembangan otak yang kompleks dan signifikan (akan tetap seperti itu jika tidak ditangani) yang mempengaruhi perkembangan komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. Semua gelaja autis ini terjadi sebelum usia tiga tahun berdasarkan gejala yang ada berdasarkan DSM-IV. (nir)
Yah blog aku eror, hiks, ada tuh tulisan mengenai autis, sering banget dah “502 Bad Gateway”…
alhamdulillah bisa, nambahin dikit ya
tyaset4.blog.com/2010/02/autis/ sama http://tyaset4.blog.com/2010/03/beda-autis-dan-adhd/
http://tyaset4.blog.com/2013/02/alergi-makanan-berbuntut-autisma/
Mbak,ngga ada dapusnya yak?