Jakarta, Kartunet.com – Anak dengan hambatan pendengaran atau yang lebih dikenal dengan sebutan anak tunarungu (ATR) adalah anak yang memiliki keadaan kehilangan pendengaran yang meliputi seluruh gradasi bagi ringan, sedang, berat, dan sangat berat, yang walaupun telah diberikan alat bantu dengar (ABD) tetap memerlukan pelayanan pendidikan kebutuhan khusus. Berdasarkan pengertian di atas, hambatan pendengaran bukanlah suatu penyakit yang dapat disembuhkan dengan menggunakan alat bantu dengar (ABD). Sehingga, meskipun sudah menggunakan ABD, anak tunarungu harus tetap menerima pendidikan khusus untuk dapat berkomunikasi dengan anak normal pada umumnya.
Siapa saja yang tergolong anak dengan hambatan pendengaran?
Menurut derajat kehilangan daya dengarnya, anak dengan hambatan pendengaran digolongkan ke dalam:
1. Kurang dengar, yakni indvidu yang menerima intensitas suara < 90 dB). Kurang dengar ini sendiri dibagi menjadi kurang dengar ringan, sedang, dan berat.
2. Tuli, yakni individu yang menerima intensitas suara > 90 dB.
Untuk mengetahui kemampuan atau daya dengar seseorag kita dapat menggunakan suatu alat yang telah distandarisasi, yang bernama audiometer. Tes kemampuan dengar dengan audiometer dapat dilakukan di dokter THT atau pusat ABD yang ada di sekitar kita.
Menurut tempat terjadinya kerusakan pendengaran, anak dengan hambatan pendengaran (anak tunarungu) digolongkan ke dalam:
1. Tunarungu konduktif atau tunarungu hantaran. Yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh kerusakan pada telinga bangian luar atau tengah.
2. Tunarungu perseptif atau tunarungu syaraf (tunarungu sensoneoral). Yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh kerusakan pada telinga bangain dalam atau kokhlea.
Beberapa penyebab terjadinya hambatan pendengaran pada anak adalah:
1. Faktor keturunan. Yakni hambatan pendengaran yang disebabkan oleh faktor genetika.
2. Kelahiran dengan risiko tinggi (kelahiran RISTI). Yang masuk dalam kategori kelahiran RISTI adalah bayi yang dilahirkan dnegan menggunakan alat bantu vacum atau tang, proses melahirkan terlalu lama, dan usia hamil ibu yang berisiko (di atas 40 tahun).
3. Karena penyakit. Ibu hamil yang mengidap penyakit TORCHS (Toxoplasma Rubela, Citogegalo Virus, Harpes, dan Sifilis) memiliki risiko melahirkan anak yang memiliki hambatan pendengaran. Untuk itu, kesehatan dalam masa kehamilan sangat memengaruhi kesehatan bayi.
Menurut umur saat kehilangan pendengaran, anak dengan hambatan pendengaran (anak tunarungu) digolongkan dalam:
Tunarungu prelingual. Yaitu ketunarunguan yang disandang sejak lahir atau sebelum anak mengenal bahasa (usia < + 2 tahun). Individu tunarungu prelingual biasanya disebut dengan penyandang tunarungu.
Tunarungu postlingual. Yaitu ketunarunguan yang disandang setelah anak mengenal bahasa (usia > + 2 tahun). Individu tunarungu postlingual biasanya disebut dengan penderita tunarungu.
Berbeda dengan hambatan penglihatan (tunanetra), seorang dengan hambatan pendengaran –menurut Hellen Keler- memiliki suatu problem yang lebih besar karena mereka terpisah dengan kehidupannya. Mengapa demikian? Karena problem utama anak dengan hambatan pendengaran adalah komunikasi dan hidup kita tidak lepas dari berbagai bentuk komunikasi melalui kode, simbol, dan bahasa. Dari hambatan komunikasi inilah muncul berbagai hambatan lainnya yang justru mempersempit kehidupan individu tunarungu.
Anak dengan gangguan pendengaran pada awalnya akan mendapat reaksi positif maupun negatif dari orang tua dan masyarakat. Pendengaran yang terbatas ini menghambat anak untuk mengenal bahasa dan berkomunikasi yang nantinya juga akan menghambat perkembangan pengetahuan dan intelegensinya. Lalu, hambatan pendengaran juga akan menghambat emosi yang juga berdampak pada keterbatasan sosialisasinya. Semua dampak dari hambatan pendengaran ini akan mempersempit kesempatan pendidikan dan kerja anak dengan hambatan pendengaran.
Bagaimana memahami karakteristik anak dengan hambatan pendengaran?
Anak dengan hambatan pendengaran memiliki beberapa dampak negatif dari hambatannya. Dampak-dampak negatif yang nantinya menjadi karakteristik anak tunarungu ini adalah:
- Miskin kosakata: karena tidak memiliki kesepakatan komunikasi seperti anak normal pada umumnya, anak tunarungu menjadi miskin kosakata.
- Terganggu berbicaranya: kemampuan pendengaran anak dengan hambatan pendengaran yang tidak seperti anak normal pada umumnya menyebabkan anak tidak dapat mengenal kata dan memiliki gangguan dalam berbicara.
- Dalam berbahasa dipengaruhi emotional atau visual order: anak lebih memaksimalkan kemampuan pengelihatannya dalam berkomunikasi, sehingga tak heran jika anak tunarungu cenderung memerhatikan ekspresi wajah dalam berkomunikasi.
- Cenderung pemata: anak lebih mengandalkan kemampuan pengelihatannya untuk memahami lawan bicaranya. Biasanya anak lebih memerhatikan gerak bibir lawan bicaranya dalam berkomunikasi.
- Bahasa merupakan hasil interaksi mereka dengan hal-hal yang konkret: dalam berbahasa dan berkomunikasi dengan anak berhambatan pendengaran diutamakan hal-hal konkret, sehingga komunikasi dapat dipraktikan dan dijelaskan dengan benda nyata. Jadi, mereka cenderung sulit diajak berkomunikasi tentang hal-hal abstrak di luar logika yang tidak ada contoh nyatanya, seperti tentang Tuhan, malaikat, surga, dan neraka.
- Egosentris anak dengan hambatan pendengaran lebih besar dibandingkan dengan anak dengan pendengaran normal pada umumnya: karena kurang menguasai kosakata dan kesepakatan bahasa, anak cenderung tidak memahami apa yang terjadi dengan sekitanya. Hal inilah yang membuat anak tunarungu miliki tingkat keegoisan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan pendengaran normal pada umumnya.
- Impulsif: karena tidak menguasai bahasa sebagaimana anak normal pada umumnya, anak tunarungu cenderung impulsif (bertindak tanpa peduli dampaknya).
- Kaku (rigidity): anak cenderung pendiam dan terkesan kaku. Padahal, hal ini dikarenakan ketidakmampuan anak dengan hambatan pendengaran dalam berkomunikasi, sekalipun anak ini sudah diajarkan berkomunikasi dengan bahasa isyarat atau gerak bibir.
- Sifat lekas marah dan mudah tersinggung: dampak atau karakteristik ini masih berhubungan dengan dampak-dampak di atas. Anak menjadi lekas marah (temperamental) dan mudah tersinggung karena mereka kurang menguasai komunikasi dan kesepakatan bahasa sebagaimana anak dengan pendengaran normal pada umumnya.
- Polos: anak kurang mampu menjaga perasaan dan rahasianya. Jadi, apa yang dirasakan oleh anak tunarungu (sekalipun itu hal yang sangat privasi) biasanya dengan polosnya diungkapkan pada lawan bicaranya.
- Sering berada dalam keadaan ekstrem tanpa banyak nuansa: karekteristik terakhir ini hampir mirip dengan “kaku (rigidity)”. Karena memiliki keterbatasan bahasa, anak dengan hambatan pendengaran lebih sering tidak mengerti keadaan sekitarnya, sehingga terkesan cuek.(Nir)
Editor: Risma