Tangerang – Rakyat di 101 daerah di Indonesia sedang menghitung hari sebelum perhelatan demokrasi terbesar tahun ini yaitu Pilkada serentak 2017. Berbagai isu muncul, dan puluhan cara ditempuh untuk menarik hati rakyat agar memilih para kandidat sebagai kepala-kepala daerah selanjutnya. Namun, kemana isu penyandang disabilitas pada Pilkada kali ini? Apakah penyandang disabilitas sudah dianggap sebagai warga negara yang patut diperhatikan hak-hak serta kewajibannya oleh para pemimpin daerah?
Jumlah penyandang disabilitas sebagai warga negara yang juga memiliki hak pilih dan dipilih tidak dapat dikatakan kecil. Menurut survey WHO, diperkirakan ada 10 persen jumlah penyandang disabilitas dari total penduduk di sebuah negara berkembang seperti Indonesia. Sudah seyogyanya satu kelompok di masyarakat yang karena hambatan lingkungan sehingga mengalami disabilitas ini mendapatkan perhatian yang serius dari para pembuat kebijakan.
Sejauh ini, para pemilih disabilitas umumnya hanya dijadikan objek mendulang suara oleh para kandidat yang berkompetisi dalam pemilihan. Mereka baru disambangi ketika para kandidat membutuhkan dukungan. Perhatian tersebut juga cenderung masih bersifat sosial atau charity. Semisal para penyandang disabilitas dimobilisasi untuk datang ke suatu event, lalu diberi sumbangan, diminta mendukung setelah ada orasi politik, lalu pulang dengan ongkos ala kadarnya. Setelah masa pemilihan, maka mereka kembali terlupakan dan berjuang sendiri untuk bertahan hidup.
Momentum Pilkada atau pemilihan kepala daerah seharusnya menjadi titik balik untuk mengangkat derajat hidup dan kesejahteraan penyandang disabilitas. Sebagai pemimpin daerah, sudah barang tentu lebih mengenal lapangan dan situasi warganya, termasuk yang memiliki disabilitas. Bahwa masalah penyandang disabilitas itu sangat kompleks, lintas sektor, dan berbeda sesuai dengan demografis dan situasi daerahnya.
Siapapun kepala daerah yang terpilih, baik petahana atau yang baru memimpin, harus membenahi pembangunan fisik dan SDM untuk para penyandang disabilitas. Hal ini bukan lagi hanya jadi harapan dari masyarakat penyandang disabilitas, tapi sudah diamanahkan oleh undang-undang no 8 tahun 20016 mengenai penyandang disabilitas. Pembangunan yang dilandasi atas hak, bukan lagi kedermawanan atau charity.
Pertama, pendidikan menjadi kebutuhan yang harus diperhatikan oleh semua kepala daerah. Apalagi sistem otonomi daerah saat ini, membuat kepala daerah punya kewenangan untuk mewujudkan pendidikan yang inklusif tanpa terkecuali. Bahwa tiap penyandang disabilitas harus dipastikan dapat diterima di sekolah-sekolah umum yang terdekat dengan tempat tinggalnya, tak harus dipaksa belajar di sekolah khusus yang mungkin letaknya jauh. Selain itu, perlu juga reasonable accomodation berupa beasiswa untuk memenuhi kebutuhan ekstra dari pelajar atau mahasiswa dengan disabilitas. Misal untuk tunanetra, membutuhkan media belajar ekstra yang tidak murah harganya seperti buku braille, pembaca buku, atau software untuk komputer bicara. Semua hal itu perlu dipenuhi agar hak mereka setara dengan warga lainnya.
Kedua, adalah mengenai pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik yang ramah disabilitas. Sudah seyogyanya fasilitas umum, yang sesuai namanya yaitu diperuntukkan untuk umum tanpa terkecuali, menerapkan konsep universal design. Artinya, berbagai fasilitas yang dibangun semestinya dapat digunakan dengan optimal oleh seluruh warga masyarakat, termasuk penyandang disabilitas.
Keberadaan moda transportasi yang akses, jalur pejalan kaki yang nyaman, atau gedung-gedung publik yang aksesibel, mutlak dibutuhkan. Kuncinya bahwa tiap pembangunan yang dilakukan, harus mematuhi standarisasi mengenai universal design yang ada. Tak boleh aspek pada bangunan yang mengakomodasi penyandang disabilitas lantas dikesampingkan dengan alasan tak ada dana atau menanti dukungan CSR. Kebijakan tersebut sesungguhnya sangat diskriminatif karena pemenuhan unsur aksesibilitas pada fasilitas publik adalah bagian dari hak penyandang disabilitas sebagai warga masyarakat, karena mereka juga bayar pajak dan kewajiban lainnya, bukan sebagai bentuk belas kasihan pemerintah.
Selanjutnya yang juga sangat penting adalah lapangan pekerjaan. Output dari pendidikan adalah lapangan kerja. Pendidikan yang makin baik dienyam oleh para penyandang disabilitas saat ini, masih belum diimbangi dengan terbukanya lapangan pekerjaan yang layak. Pendidikan inklusif telah menghasilkan para pemuda dengan disabilitas yang memiliki banyak latar belakang pendidikan sesuai dengan minatnya. Namun lapangan kerja yang tersedia masih belum memadai, dan masih mamandang mereka dari apa kekurangan mereka, bukan dari kemampuan atau latar belakang pendidikan. Kepala daerah kelak harus bekerja keras untuk menjamin tersedianya lapangan kerja untuk mereka. Sebab pekerjaan yang layak dapat membuat mereka lebih sejahtera, sekaligus ikut berkontribusi untuk pembangunan, bukan hanya jadi beban anggaran negara.
Masih banyak hal lain terkait penyandang disabilitas yang perlu jadi perhatian kepala daerah, namun satu hal terakhir yang ingin kami tekankan adalah pada pemberdayaan pemuda dengan disabilitas. Selayaknya generasi muda pada umumnya, mereka adalah masa depan bangsa. Pemuda dengan disabilitas saat ini adalah mereka yang lebih terbuka fikirannya, berwawasan luas,lebih percaya diri dalam pergaulan di masyarakat, akrab dengan internet dan teknologi informasi, berkomunikasi dengan gadget, dan punya mobilitas lebih tinggi.
Kebijakan yang perlu dibuat akan berbeda. Mereka perlu dilibatkan secara aktif dalam proses pembuatan kebijakan dan politik. Mereka pun juga harus diberi kesempatan untuk dapat berkontribusi dalam birokrasi. Sebab hal itu akan mengubah jalannya pelayanan publik menjadi lebih inklusif. Penanganan pada penyandang disabilitas usia muda ini pun harus difokuskan pada pengembangan kapasitas dan keterampilan. Agar mereka dapat mandiri untuk jadi wirausaha di era digital teknologi informasi ini, dan bekerja pada sektor-sektor formal.
Tentu semuanya kita berharap, siapapun kepala daerah yang terpilih di Pilkada 2017 ini, tidak sekedar memiliki kepedulian pada warga yang disabilitas, tapi juga punya visi untuk memberdayakan mereka untuk jadi lebih mandiri dan aktif dalam pembangunan. Sangat ditunggu karya para kepala daerah yang sungguh-sungguh ingin meningkatkan martabat para penyandang disabilitas, bukan yang hanya menjadikan mereka objek kampanye belaka.