Pada tahun 1991 ada sebuah desa yang kecil dan sangat asri, disitu tinggal banyak penduduk yang sebagian besar bekerja sebagai petani. Hidup yang rukun, tentram dan damai mewarnai kehidupan di desa yang bernama Karangbangun tersebut. Keadaan ekonomi di desa itu juga bervariasi. Ada yang kaya karena mempunyai usaha lain selain bertani, namun ada juga yang hidup sederhana, hanya mengandalkan hasil dari bercocok tanam khususnya jagung dan kacang.
Sugriwa dan Subali adalah sepasang sahabat yang terjalin sejak kecil karena rumah mereka yang berdekatan. Subali anak seorang petani sukses, ayahnya pandai berwiraswasta sehingga dia lahir sebagai anak orang kaya, cerdas, dan tampan pula. Berkebalikan dengan Sugriwa, dia besar di keluarga yang sederhana ayah ibunya bekerja sebagai buruh tani untuk membantu menggarap sawah orang lain, upahnya mereka dapat ketika panen tiba dan itupun tidak seberapa.
Mereka berdua sering bermain bersama, melewati masa kecil bersama, sekolah di tempat sama, dan punya talenta yang hampir sama. Ketika umur mereka telah beranjak 17 tahun dimana sudah masuk SMA, mereka mempunyai ideologi sendiri-sendiri, bahkan mereka sering bertengkar gara-gara berbeda pendapat, mungkin itu hal yang wajar karena pikiran mereka masih labil. Pada suatu hari mereka berdua berdebat masalah kehidupan, Sugriwa bertanya kepada subali,
“Bal, apakah tujuan hidupmu sebenarnya? “
“Tentu saja aku ingin hidup bahagia!”, sahut Subali.
“Sama dong”, kata Sugriwa dengan dingin.
Setelah itu mereka pulang kerumah masing-masing dan saling berpikir dalam hati, bagaimana caranya menemukan kebahagiaan itu? Akhirnya mereka bertanya kepada orang tua mereka masing-masing.
Hasilnya berbeda, Ayah Subali mengatakan bahwa Subali harus belajar yang rajin, jangan banyak bermain, agar bisa masuk perguruan tinggi favorit dan lulus dengan IPK yang bagus sehingga bisa bekerja di kota, punya uang banyak, dan barulah mendapat kebahagiaan. Namun Ayah Sugriwa berkata lain kepada Sugriwa,
“Carilah kebahagiaanmu sendiri Nak, aku tidak berhak ikut menentukan apa yang menjadi kebahagiaanmu.”
Sugriwa sangat bingung dengan jawaban ayahnya dan hanya bisa bertanya-tanya di dalam hati.
Tibalah waktunya mereka berdua berpisah, Subali kuliah di kota sedangkan Sugriwa tidak melanjutkan kuliah karena keterbatasan biaya. Sugriwa hanya membantu orang tuanya sambil mencoba memelihara ternak untuk menunjang ekonomi keluarga. Dia menjadi sosok yang dewasa, ramah terhadap siapapun, selalu menebar senyum, sehingga dia sangat disegani oleh warga desa. Sugriwa menjalani hari-harinya dengan senang hati, tidak pernah dia merasa kurang, malah selalu bersyukur atas yang dia punya. Ketika waktu sudah berjalan selama 10 tahun, Subali kembali ke desa untuk menemui sahabatnya yaitu Sugriwa.
“Hai bro, gimana kabarnya? Tampaknya engkau kini telah menjadi orang sukses?”, tanya Sugriwa.
“Ya tentu dong, aku sudah berusaha keras untuk menjadi seperti ini, tetapi jujur saja aku belum bisa menemukan dimana kebahagiaan itu. Apa lagi kamu, uang buat makan saja pas-pasan mana mungkin bisa bahagia.”
”Aku tidak perlu banyak uang untuk bahagia, Bal” kata Sugriwa.
Kemudian mereka berdua berpisah untuk kembali kerumah masing-masing.
Setelah kejadian itu Subali menjadi benci kepada Sugriwa, apalagi setelah mendengar bahwa Sugriwa disegani di desanya. Dengan segala cara Subali membuat cerita-cerita palsu tentang Sugriwa. Warga diberi isu atau gosip yang tidak enak yang sangat menjatuhkan nama baik Sugriwa dan pada akhirnya warga menjadi tak segan lagi terhadap Sugriwa. Seiring berjalannya waktu gosip itu sampai ke telinga Sugriwa, dia sangat kaget dengan perlakuan sahabatnya itu tetapi dengan sabar dia tetap menyimpan perkara itu di dalam hatinya.
Hidup Subali semakin tidak karuan karena terobsesi dengan pencarian kebahagiaan. Dia bangun rumah mewah, membeli mobil mewah dan punya istri yang sangat cantik. Begitu dia jalani hidupnya dengan menghambur-hamburkan uang. Makan pun menjadi berlebihan sehingga tubuhnya menjadi sangat gemuk. Berbeda cerita dengan Sugriwa, dia tetap hidup di dalam kesederhanaan dan juga rajin ke Wihara untuk berdoa.
10 tahun kemudian Subali terkena penyakit diabetes, sehingga harus dirawat di rumah sakit dengan berbagai alat canggih. Ketika mendengar kabar itu, Sugriwa bergegas menjenguk sahabatnya itu untuk sekedar tahu keadaannya.
“Bal, bagaimana keadaanmu?”, tanya Sugriwa.
“Mau apa kamu kesini? Sudah urusi saja dirimu sendiri, lihat aku! Aku memakai alat-alat yang mahal di tubuhku, tidak punya jantung saja aku masih bisa hidup, pergi sana!”.
Sugriwa pulang dengan hati yang kecewa,
“Hadapi dengan senyuman, semua yang terjadi biar terjadi” dia bernyanyi dalam hati.
Setelah dirawat selama 1 bulan, keadaan Subali membaik namun dia tidak bisa sembuh sepenuhnya, banyak sekali makanan yang tidak boleh dimakan agar dia bisa bertahan hidup. Dia menjalani hari-harinya dengan penuh kesusahan, dan sangat tersiksa.
Akhirnya dia sadar bahwa selama ini dia sudah menyakiti sahabatnya, dan dengan segera dia menghampiri Sugriwa untuk meminta maaf atas segala tuduhan yang tidak benar itu.
“ Wa, aku minta maaf ya, aku sudah membuat gosip yang tidak-tidak tentang kamu”.
Jawab Sugriwa,
“ Aku mau memberimu maaf tetapi dengan satu syarat, kamu harus pulang kemudian ambil bantal dari kamarmu kemudian bawa ke atap rumah dan tusuk dengan pisau”.
Lalu Subali melakukan hal itu dengan rela tetapi juga bingung. Setelah melakukan itu Subali kembali menemui Sugriwa. Ketika baru bertemu,
Sugriwa langsung bertanya,
“Apa yang terjadi?”
Jawab Subali,
“Kapasnya terbang kemana-kemana”
“Kumpulkan lagi kapas itu dan bawa bantalnya kemari!”, sahut Sugriwa.
Subali menurut saja dan berusaha mengumpulkan lagi kapas-kapas itu, tetapi sangat sulit dan pada akhirnya dia menyerah. Dengan muka yang kesal Subali mendatangi sahabatnya lagi.
“Aku menyerah Wa, kapasnya sudah banyak yang hilang”, kata Subali.
Lalu Sugriwa berkata,
“Seperti itulah gosip, ketika sudah kau lubangi sedikit saja, dia akan terbang kemana-mana tanpa arah dan tanpa lelah. Tidak akan mungkin bisa diperbaiki lagi namaku yang telah tercemar.”
Akhirnya Subali tersungkur di kaki Sugriwa dan menangis tersedu-sedu sambil minta maaf.
“Wa, aku sudah bersalah, sampai sekarang aku tidak bisa merasakan kebahagiaan, aku minta maaf Wa”.
Jawab Sugriwa,
“Bal, kamu sudah melakukan kesalahan, bahagia itu tidak bisa kau temukan dimanapun di dunia ini bahkan di puncak gunung Jaya Wijaya ataupun di dasar laut Bangka sekalipun. Karena kebahagiaan itu ada di dalam hati. Aku memang tidak punya apa-apa, tetapi aku bahagia dengan yang ku punyai, aku mensyukuri setiap napas yang ku hirup, setiap senyum dari ayah dan ibuku, setiap nasi dan tempe yang ku makan setiap hari.
Aku olahraga setiap pagi, lalu mandi dan berdoa, kemudian bermain dengan anjingku setiap sore, malamnya aku menulis cerita bersambung untuk nantinya ku jadikan buku. Aku tidak pernah kekurangan karena aku mensyukuri kekuranganku. Dengan kekurangan yang ada, aku semakin bisa menghargai kekurangan orang lain. Sekarang pergilah, dan basuhlah mukamu, minyakilah rambutmu, bagikan senyum setiap bertemu dengan orang lain dan katakan,
“Hai teman, apa kabarmu? Semoga harimu baik sekarang dan selalu, Amin”
Editor: Putri Istiqomah Priyatna