Memang Kenapa Kalo Aku Tak Bisa Mendengar ?

Badan Andri saat itu sedang tidak fit, tapi ia paksakan juga untuk bermain bola basket bersama teman-temannya. Ia memang bukan anak manja yang baru sakit sedikit langsung tidur-tiduran di rumah. Andri lebih memilih bergerak, karena guru olah raga di sekolahnya pernah mengatakan bahwa bergerak itu akan membuat tubuh menjadi lebih sehat.

 

Andri memang terkenal terampil dalam bermain basket. Kemampuan dribbling nya terkenal hebat. Itulah yang membuat Pak Naryo, Guru olah raga di SMP nya selalu memilih Andri menjadi tim inti. Posisi Guard atau Play maker yang menjadi spesialisasinya. Dan jadilah ia idola di sekolahnya itu…

 

Saat itu, Andri hanya berlatih Three on three di dekat rumahnya. Sebuah agenda rutin setiap sore yang tidak pernah ia lewatkan. Terkadang jika tidak ada teman-temannya, ia pun bermain sendirian. Biasanya melatih shooting dan lay up nya.

 

Tiba-tiba Andri terdiam dan memegang kepalanya. Teman-temannya sedikit heran.

 

“Kenapa lo ?” Tanya hendra

 

“Nggak tau nih…agak pusing. Kalian terusin deh, gue minggir dulu…” Ujar Andri

 

Dan Andri pun duduk di bangku panjang pinggir lapangan. Ia meminum air mineral yang sengaja dibawanya sebagai bekal. Namun, sampai selesai permainan dan ketika tiba di rumah, kondisi badan Andri kian melemah. Pandangannya berkunang-kunang, perutnya mual, dan ia pun muntah di kamar mandi.

 

Andri jalan perlahan menuju kamar tidurnya setelah memuntahkan seluruh isi perutnya di kamar mandi. Mama dan papanya saat itu belum pulang kerja, karena mamanya lembur, sehingga membuat sang papa harus menantinya. Kedua kakaknya juga tidak tinggal bersamanya karena mereka sedang menjalani studi di Yogyakarta.

 

Alhasil dalam kesendirian dan sakit seperti itu kian membuatnya cemas. Apalagi bagian kanan bawah perutnya terasa sangat melilit. Dan rasa mual kian menjadi-jadi, untuk kedua kalinya ia muntah, namun kali ini lantai kamar tidurnya lah yang menjadi “korban”.

Baca:  Dongeng Gemericik Suara hati (49)

 

“Astaghfirullah…Andriii…kamu kenapa, Nak…?” teriak mamanya histeris melihat keadaan Andri yang tergolek lemas di tempat tidur disertai muntahan di sisi tempat tidurnya. Mamanya terlihat sangat panik, begitupun papanya.

 

“Kita ke dokter ya…” Mamanya berkata dengan mata berkaca-kaca sambil mengelap lantai yang terkena muntahan itu

 

Andri menatap mata mama dan papanya dengan sayu, bibirnya pucat, ia tak mampu berkata-kata. Papanya sangat khawatir, kemudian ia memegang dahi Andri.

 

“Panas tinggi, Ma. Ayo lekas, kita bawa ke dokter…” Ajak Papa

 

Dan gerak cepat orang tua Andri itu rupanya sangat tepat, karena ternyata jika tidak segera di bawa akan membuat Andri tidak terselamatkan. Andri di vonis menderita Appendix acute atau dalam bahasa sehari-hari di kenal dengan radang usus buntu akut dan malam itu juga harus di operasi karena peradangannya sudah parah dan hampir pecah.

 

“Andri..kamu harus di operasi, Nak…” Mamanya agak takut menyampaikan itu kepadanya

 

“Ya udah, Ma…Andri nggak takut kok…biarin deh, daripada sakit kayak gini…” kata Andri tegar

 

Dan setelah menandatangani surat persetujuan operasi, Andri pun memasuki ruang operasi untuk melakukan operasi. Dan saat itu ia memilih untuk di bius lokal, sebuah keberanian yang membuat para dokternya kagum, mengingat usia Andri yang masih remaja.

 

“Kamu nggak takut ?” tanya dokter sambil mengoperasinya

 

“Ngapain takut sih, dok…”

 

Dokter tersenyum memandang Andri dan hanya dalam waktu kurang dari satu jam operasi itu pun terlaksana dengan baik. Tiga hari Andri di opname, ia mulai merasakan keanehan dengan telinga kanannya. Namun, ia berusaha untuk tidak memedulikannya.

 

Setelah satu pekan, Andri pun di ijinkan pulang. Dan dalam satu pekan itu pula telinga kanan Andri mengalami penurunan pendengaran. Andri tak berani bilang, ia hanya memendam itu.

 

Tapi setelah satu bulan telinganya kian parah, bukan saja pendengarannya yang menurun, kini malah bertambah dengan suara bising bagai suara mesin pabrik. Andri sangat cemas, setiap malam ia tak bisa tidur. Ia khawatir ketika bangun nanti kedua telinganya jadi tuli. Untuk mengurangi kecemasannya ia menyetel radio hingga tertidur, karena radio itu on air selama 24 jam, sehingga ketika bangun pun Andri langsung dapat mendengar siaran radio. Dan itu membuat dirinya sedikit nyaman karena dapat memastikan bahwa telinga kirinya masih berfungsi baik.

 

Namun, beberapa hari setelahnya, Andri panik. Ketika bangun dari tidur, ia tak mendengar siaran pagi di radionya. Ia melihat radio itu menyala, ia benar-benar panik ketika menyadari bahwa ternyata kedua pendengarannya sudah tidak mampu menangkap suara.

 

Baca:  Perjalanan Panjang

“Mama….Papaaa…”Teriak Andri histeris

 

Mama datang ke kamar Andri tergopoh-gopoh, “Ada apa sayang ?”

 

“Aku nggak bisa denger…” Andri berkata dengan keras, matanya berkaca-kaca ia terlihat sangat khawatir.

 

“Kenapa ? mulai kapan itu ?” Tanya Papa

 

“Tadi pas aku bangun…”

 

Andri memeluk mamanya, ia tampak sangat ketakutan. Ia semakin stress ketika hendak ke dokter spesialis THT yang ternyata baru ada esok lusa. Berarti ia harus mengalami ketidakpastian karena tidak mengetahui penyakit yang di deritanya selama dua hari ke depan.

 

Andri berubah menjadi pemurung, dan itu membuat teman-temannya heran. Andri mengalami krisis percaya diri tingkat tinggi. Apalagi setelah berobat, perubahan di telinganya hanya sedikit. Tetap saja telinga kanannya tidak mampu mendengar apapun kecuali suara mendengung yang berisik.

 

Merasa takut dan enggan merepotkan orang tuanya membuat Andri menyimpan semua deritanya itu hingga ia dewasa. Andri menyembunyikan penyakitnya itu. Dan selama itulah ia berusaha tampil sebagai orang yang “sempurna”. Ia berusaha menutupi ketidakmampuan mendengarnya itu.

 

Berbekal ilmu akting yang sempat di pelajarinya, Andri berusaha tampil wajar di hadapan siapapun. Tapi ketika malam menjelang dan semakin larut, kecemasan selalu mewarnai hidupnya. Ia mengalami trauma, Andri sangat takut jika bangun tidur ia menjadi tuli.

 

Perubahan drastis mewarnai kehidupannya. Andri yang dulunya adalah pribadi yang ekstrovert dan menyenangkan kini berubah menjadi seorang pendiam dan gampang tersinggung. Andri berusaha menerima penyakitnya itu dengan ikhlas, ia enggan berobat bahkan hanya sekedar mencari tahu mengenai penyakit yang di deritanya. Tapi di sisi lain ia tak menerima keadaan itu.

 

Andri kemudian memilih kuliah di jurusan Psikologi dengan harapan ia dapat menyembuhkan dirinya dari ketakutannya yang mengendap selama bertahun-tahun itu. Dan ia pun aktif di organisasi penyandang disabilitas. Ia merasakan ketenangan bila berada di antara anggota organisasi. Andri merasa sangat bersyukur karena ternyata ia masih beruntung hanya kehilangan pendengaran sebelah dan tidak mendapatkannya dari lahir. Berbeda dengan salah seorang sahabatnya di organisasi, Lidya. Seorang wanita cantik yang tuna rungu.

 

“Lidya…apa kamu menerima keadaanmu seperti ini dengan ikhlas ?” Tanya Andri suatu ketika, Andri mencoba bertanya sejelas mungkin dengan artikulasi dan gerak mulut yang terlihat, sedikit Lidya dapat mendengarnya.

 

“Iya…hawrus…ako..hawrus..biza..menrima ini. Tuhan, mao aku..begini..aku hawrus trimaa…” Jawab Lidya layaknya seorang tuna rungu berkomunikasi, ia menjawab disertai gerak tangan dan ekspresi yang kompleks.

 

Diam-diam Andri merasa kagum dengan semangat Lidya, bahkan ia mengakui kecerdasan Lidya dan ucapannya yang cukup lancar dibandingkan dengan beberapa temannya yang bahkan tidak jelas berbicara apa.

 

Kekaguman itu ternyata menimbulkan rasa lain di dalam hati Andri. Karena seringnya bertemu dan aktif di dalam organisasi akhirnya benih-benih cinta tumbuh di antara mereka.

 

“Lidya…aku banyak belajar dari kamu…kini, aku tidak malu lagi mengakui kalau telingaku yang sebelah tak mampu mendengar. Kamu yang membuat aku belajar menerima kekurangan diri. Kamu mengajarkan aku bahwa kekurangan ini bukanlah masalah, karena masalah yang sesungguhnya adalah ketika kita tidak mau menemukan kelebihan yang ada di dalam diri kita…” Andri mencoba sebaik mungkin menyampaikan kata-katanya baik dengan gerakan mulut, ekspresi, dan bahasa isyarat agar Lidya memahaminya.

Baca:  Lukisan Jari

 

Lidya tersenyum manis, dan ia menunduk. Andri memegang tangan Lidya sehingga membuat Lidya menatap Andri.

 

“Lidya…aku cinta kamu..apa kamu mau menerimanya…?” Andri menatap Lidya dalam, ia berharap Lidya juga merasakan hal yang sama.

 

Lidya menunduk, pipinya bersemu merah. Dan ia mengangguk

 

“Terima kasih Lidya…aku janji, aku tidak saja akan menjadikanmu pacar…tapi aku akan menikahimu…” dengan baik dan jelas Andri menyampaikan maksudnya.

 

Lidya terkejut menyimak perkataan itu,

 

“Aphaa ? kammu mao menikahi ako ? kamu zeriuz ?” Lidya tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

 

Andri mengangguk pasti

 

“Kamu tidak malu ?” Lidya bertanya dengan bahasa isyarat.

 

“Kenapa harus malu…? Aku kan juga sama seperti kamu…?”

 

“Bukhan…baghaimana…dengan owrang tuamu…teman-teman kamu…ako bizu tuli…” Tanya Lidya dengan ekspresi serius, ia benar-benar mengkhawatirkan hal ini.

 

“Emangnya kenapa ? Sudahlah, jangan pikir itu…aku siap menerima segala resiko, seperti ketika aku berusaha menerima kenyataan pahit kehilangan sebelah pendengaran.” Andri menjelaskan, sebaik-baiknya.

 

Dan akhirnya keseriusan Andri benar-benar terbukti. Ia meminta orang tuanya untuk melamar Lidya. Awalnya, mereka menolak setelah mengetahui keadaan Lidya yang tuna rungu.

 

“Mama…Papa…Lidya tidak lebih sempurna dariku…”

 

Mama dan Papanya kelihatan bingung dengan kata-kata Andri itu

 

“Aku sejak kelas satu SMA juga tidak mampu mendengar. Telinga kananku tak berfungsi…sengaja aku sembunyikan…dan sekarang baru aku sampaikan…”

 

Air mata mamanya tiba-tiba menetes, ia langsung memeluk Andri

 

“Kenapa kamu baru bicara sekarang…?” kata mama dalam derai isak tangis

 

“Emang kenapa kalo aku tak bisa mendengar, Ma…aku iklas menerimanya…untuk itu, ijinkan aku menikah dengan Lidya…” Kata Andri penuh optimis

 

Dan akhirnya orang tua mana yang tega dan membiarkan anaknya yang penuh keyakinan seperti itu. Mereka akhirnya menyerahkan pilihan kepada Andri, karena yakin bahwa ia telah siap menjalani segala resiko yang mungkin saja akan terjadi di keesokan harinya.

 

“Mama…Papa…dalam kekuranganku selama ini aku menemukan satu kelebihan, yaitu aku masih memiliki Tuhan. Karena tanpa DIA, tak mungkin aku bisa seperti sekarang…dan semangat itu kudapati dari Lidya…”

 

Air mata Mamanya kembali menetes, tapi kini menetes karena keharuan serta kebahagiaan. Begitupun Papanya yang tak mampu menyembunyikan perasaan bangga kepada anak bungsunya itu.

 

Dan kebanggaan serta kebahagiaan itu tidak akan pernah berakhir dan semuanya kini di awali dari pelaminan tempat Andri dan Lidya bersanding….

 

 

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Bagikan artikel ini
Prio Pradono Sukarto
Prio Pradono Sukarto
Articles: 1

Leave a Reply