Jakarta, Kartunet.com – Perkembangan teknologi informasi dan media massa masih belum dioptimalkan untuk sosialisasi pemilu kepada penyandang disabilitas. Berbagai media yang digunakan seperti selembaran, televisi, radio, atau internet, belum seluruhnya aksesibel. Hal tersebut menunjukkan bahwa pihak penyelenggara atau peserta belum terlalu peka dengan kebutuhan yang beragam dari masyarakat.
Persoalan tersebut ikut dikeluhkan oleh Irawan (38),seorang tunanetra, yang mengalami kesulitan saat akses informasi mengenai partai dan kandidat untuk dipilih.
“Pengalaman saya saat Pemilu legislative, saya kesulitan mencari tahu tentang partai dan calon kandidat anggota DPR, DPRD, dan DPD. Bahkan saya tak tahu harus mencari info tersebut dimana,” ujar Irawan yang saat ini bekerja di salah satu stasiun TV swasta.
Hal senada disampaikan oleh Chairunisa, seorang tunarungu. Dia menyayangkan kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang hak-hak politik bagi penyandang disabilitas. Banyak mereka yang akhirnya tak paham apa yang dibicarakan oleh KPU atau kampanye partai politik karena media yang tidak aksesibel.
“Hak tunarungu jadi terbatas karena mereka tidak punya ruang untuk berdialog dan menjawab yang disebabkan tak ada bantuan penerjemah bahasa isyarat untuk mereka bisa paham maksud dari penyampaian media,” imbuh Chairunisa ketika dihubungi redaksi (26-12).
Gencarnya penggunaan media dalam Pemilu dan Kampanye sesungguhnya menjadi peluang untuk Penyandang Disabilitas lebih banyak mengakses informasi. Sejauh ini mereka khususnya tunanetra dan tunarungu hanya dapat informasi sebagian. Iklan layanan masyarakat atau media yang digunakan belum dilengkapi dengan dukungan aksesibilitas bagi mereka.
Permasalahan yang kerap terjadi adalah Data Pemilih Terdaftar (DPT). Kurangnya iklan layanan masyarakat yang menunjukkan cara agar petugas dapat mendata penyandang disabilitas menyebabkan banyak diantara mereka yang tidak masuk DPT. Kadang pula ada masyarakat yang menyembunyikan anggota keluarga mereka yang mengalami disabilitas, sehingga tak didata oleh petugas.
Bagi tunarungu, iklan kampanye atau sosialisasi cara pemilihan yang ada di televisi tidak sepenuhnya aksesibel. Pembuat informasi perlu menambahkan di pojok kiri atau kanan bawah interpreter bahasa isyarat seperti yang dulu sering terlihat di siaran Dunia Dalam Berita TVRI. Lebih sederhana, dapat pula dibuatkan running text ketika iklan ditayangkan.
Sedangkan bagi tunanetra, mereka tak dapat mengakses tampilan visual. Perbanyak iklan sosialisasi dan kampanye di radio menjadi alternative terbaik. Pada media televisi, iklan dilengkapi dengan narrator atau teknik deskripsi audio yang baik, sehingga semua informasi dapat diakses. Perlu juga pada media website, diperhatikan asaz accessibility agar dapat diakses oleh tunanetra dengan screen reader, atau kontras warna dan ukuran font yang dapat diatur bagi tunanetra lowvision.
Dapat pula untuk calon pemilih tunanetra, KPU memberikan materi sosialisasi dalam bentuk naskah Braille, atau seperti di Australia yang memberikan materi audio dalam kaset. Tentu perlakuan ini dapat dilakukan dengan system data yang sudah baik. Maka, perlu kerja keras KPU untuk ikut memasukkan kolom disabilitas dalam data yang disusun agar lebih efisien.
Dari Irawan dan Chairunisa dapat dilihat bagaimana penyandang disabilitas juga peduli dengan partisipasi politik mereka. Irawan berharap agar informasi tentang parpol dan kandidat dibuka seluas-luasnya, agar ia dapat mempelajari kandidat yang akan dipilih. “Meski dapat dicurigai sebagai kampanye terselubung, tapi informasi yang berimbang membantu saya untuk mengetahui parpol lama dan baru” harap Irawan. Ditambahkan lagi oleh Chairunisa, ia berharap agar dibuat media sosialisasi yang akses untuk semua, termasuk tunarungu. DPM