Jakarta, Kartunet.com – Perlakuan diskriminatif dan tidak menyenangkan kembali terjadi pada penyandang disabilitas di maskapai penerbangan domestik. Kali ini yang menjadi keluhan oleh penyandang disabilitas adalah maskapai Garuda Indonesia. Cucu Saidah (38), seorang pengguna kursi roda, mengalami perlakuan diskriminatif ketika menggunakan jasa Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 205 dari Yogyakarta ke Jakarta (09-Maret-2013).
Melalui surat elektronik, Cucu yang juga aktivis hak-hak penyandang disabilitas, menceritakan kronologis tindakan diskriminatif dan tidak menyenangkan yang dilakukan oknum awak Garuda Indonesia. Perlakuan tersebut dimulai dengan diharuskannya Cucu untuk menandatangani surat keterangan sakit yang seharusnya tidak disodorkan kepada penyandang disabilitas. Hal tersebut sebetulnya sudah menjadi masalah klasik yang belum ditangani sempurna oleh maskapai-maskapai domestik. Anggapan bahwa penyandang disabilitas disamakan sebagai orang sakit masih kerap terjadi.
“Saat check in tidak diminta untuk menandatangani Surat Pernyataan Sakit dan membuat saya senang, setidaknya sudah berpikir positif dengan perubahan ini. Ternyata hal itu tidak benar, sebelum boarding tetap diminta untuk menandatangani Surat Pernyataan Sakit tersebut,” ujar Cucu yang mengaku sudah menjadi pelanggan Garuda Indonesia sejak tahun 2005.
Tak hanya berhenti sampai di situ saja. Ketika landing di Soekarno Hatta pukul 11:00 WIB, Cucu masih harus menunggu kursi rodanya datang selama 45 menit di kabin pesawat. Padahal, ia sudah berpesan ke awak pesawat untuk meletakkan kursi rodanya dekat dengan dirinya sebagai bagian dari perlakuan khusus yang berhak diterima oleh penyandang disabilitas.
Selepas dari pesawat, perempuan yang bekerja sebagai koordinator hak-hak disabilitas di Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ), harus menerima fakta bahwa kursi rodanya tidak dijaga dengan baik oleh oknum awak Garuda Indonesia.
“Setelah duduk tenang didalam taksi, saya baru tersadar bahwa bagian kursi roda yang saya simpan dikursi samping saya ternyata mengalami banyak kerusakan. Bagian yang kondisinya parah adalah footrest, kondisi retak, tali pengikat merah putus, plat baja keluar, baut melonggar.” Jelas Cucu dalam surat elektroniknya.
Menurut advokat dari LBH Malang, Hari Kurniawan, perlakuan Garuda Indonesia kepada Cucu Saidah tidak hanya dikategorikan sebagai tindakan diskriminatif, tapi juga melawan hukum (Onrecht matiig daad). Setidaknya, ada tiga fakta yang mengarahkan pada kesimpulan tersebut.
Pertama, adanya kesengajaan dari pihak maskapai untuk memaksa korban menandatangani surat keterangan sakit. Padahal, hak untuk mendapatkan perlakuan khusus sudah diatur oleh UU No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan yang melindungi hak penyandang disabilitas dari sejak check in, di dalam pesawat, hingga keluar dari pesawat. Kedua, adanya kesengajaan awak pesawat untuk menaruh kursi roda korban di bagasi, padahal sudah diminta untuk tidak menjauhkan kursi roda dari posisi korban duduk karena seharusnya tak perlu diberitahu sudah jelas bahwa kursi roda sangat penting peranannya bagi seorang tunadaksa. Terakhir, kelalaian pihak maskapai menyebabkan kerugian pada kerusakan kursi roda yang berakibat pula pada terganggunya mobilitas korban.
Kejadian ini mendorong para aktivis disabilitas untuk melakukan gugatan class action agar kejadian serupa tidak terjadi kembali. Sudah berulang kali tindakan diskriminatif dialami oleh penyandang disabilitas yang pada umumnya terjadi di maskapai-maskapai domestik. Diharapkan pula kasus ini dapat menjadi masukkan konstruktif bagi pihak Garuda Indonesia yang sudah berkomitmen untuk melakukan pelayanan yang lebih baik bagi penyandang disabilitas. (DPM)
Editor: Muhammad Yesa Aravena