Jakarta, Kartunet.com – “Kesadaran, bahwa aku punya keluarga yang disabilitas, lalu kenapa aku nggak mengabdikan hidupku untuk keluargaku?” Itulah sebuah alasan kuat yang akhirnya membuat Lisfa memutuskan untuk menerjunkan diri ke dunia disabilitas. Meski sejak dulu ia amat mencintai dunia sains dan sempat menimba ilmu di Jurusan Farmasi UIN pada tahun 2010, ternyata ia tidak merasa nyaman dengan apa yang dijalaninya saat itu. Perlahan namun pasti, hati gadis 20 tahun itu terpanggil untuk mempelajari seluk beluk kehidupan disabilitas. Tahun 2011, Lisfa mulai menjalani hidup barunya sebagai mahasiswi jurusan Pendidikan Luar Biasa UNJ, dan sepak terjangnya pun dimulai.
Keluarga memang selalu menjadi muara dari setiap kisah kehidupan manusia. Keluarga yang pertama kali memperkenalkan kita dengan lingkungan sosial di sekeliling kita. Oleh karena itu, dari keluarga juga Lisfa mulai mengenal individu-individu dengan disabilitas. Sebut saja, Sulastri, kakak kedua Lisfa yang kretin (kerdil). Meski usianya telah menginjak 28 tahun, tubuhnya hanya setinggi pinggul orang dewasa. Tidak hanya itu, cara bicaranya pun belum jelas, sikapnya masih seperti anak-anak, dan suka memainkan permainan yang dimainkan oleh anak kecil.
“Waktu umur lima tahun, kakak panas tinggi sampai semua rambutnya rontok. Lalu setelah sering berobat ke rumah sakit dan akhirnya sembuh, pertumbuhan fisik dan mentalnya terhenti hingga sekarang.” Begitulah penjelasan yang Lisfa dapatkan dari kedua orang tuanya ketika dulu ia menanyakan kondisi Sulastri. Sejak kecil, bungsu dari tiga bersaudara ini memang sudah mengerti dengan kondisi kakaknya itu. Menurut dia, tetangga dan lingkungan sekitar tidak pernah memperlakukan Sulastri secara diskriminatif. Namun tidak demikian halnya dengan Naufal, keponakan Lisfa dari kakak sulungnya yang menyandang autistic dan hiperaktif sejak usia dua tahun.
Ya, Lisfa hidup bersama dua orang individu disabilitas di dalam rumahnya. Dengan hambatan mental yang disandang oleh kedua anggota keluarganya tersebut, Lisfa harus belajar untuk menghadapi mereka dengan penuh kesabaran. Naufal yang hiperaktif sering kali tidak tidur selama berhari-hari dan membuat gaduh suasana rumah di malam hari. Hal ini kerap kali mengundang amarah seorang tetangga yang merasa terganggu. “Yah, mungkin nggak ngerti sama kondisi Naufal,” ujar Lisfa, maklum.
Satu tahun menempuh studi di jurusan Farmasi UIN, rupanya tidak membuat Lisfa nyaman. Ia merasa masih ada yang kurang dari hidup yang tengah dijalaninya saat itu, hingga suatu hari ia menemukan jawaban. Seorang kawan lama yang ternyata berkuliah di jurusan PLB tiba-tiba menghubunginya. Ia bercerita tentang adiknya yang tunagrahita serta menanyakan keponakan Lisfa yang autistik. Saat itulah Lisfa menyadari, bahwa meski telah hidup bertahun-tahun bersama individu disabilitas, ternyata dirinya tidak mengetahui apa-apa tentang disabilitas. Hatinya pun mulai terpanggil untuk mempelajari dunia disabilitas lewat internet. Semakin banyak tahu seluk beluk dunia luar biasa yang telah dikenalnya sejak kecil, Lisfa pun semakin memantapkan hati. Sebuah keputusan berat ketika ia harus meninggalkan dunia sains yang amat dicintainya. Namun, toh nyatanya ia tetap melangkahkan kaki memasuki dunia pendidikan luar biasa.
Banyak hal yang Lisfa pelajari selama menuntut ilmu di jurusan PLB. Jika sebelumnya Lisfa kerap kali menghadapi Sulastri dan Naufal dengan emosi, maka sekarang ia tak pernah lagi melakukannya. Lisfa mengakui, belajar di PLB membuatnya lebih memahami bagaimana menstimulasi keluarganya tersebut. Kondisi disabilitas yang disandang Sulastri dan Naufal pun sering kali mengundang tatapan-tatapan aneh orang-orang di tempat umum. Dulu, Lisfa selalu menghadapi situasi seperti ini dengan kekesalan. Namun kini, ia memahami mengapa masyarakat bersikap demikian. “Mereka kayak gitu hanya karena mereka nggak tahu,” tutur gadis yang juga merupakan ketua dari Komunitas Peduli Anak Jalanan (KOPAJA) ini.
“Keluarga kita, baik dia disabilitas atau tidak, mereka adalah titipan Allah,” ungkap Lisfa. Menurut dia, setiap keluarga harus terlebih dahulu dapat menerima kondisi anggota keluarganya yang disabilitas, kemudian bersikap terbuka untuk mencari jalan demi masa depan keluarganya tersebut. Mereka harus memahami bahwa kondisi disabilitas bukanlah hal memalukan yang perlu disembunyikan.
Dengan ilmu yang dipelajarinya, ia ingin mengubah pemikiran masyarakat umum terhadap penyandang disabilitas. Lisfa ingin mengajak orang-orang awam untuk melihat individu disabilitas dari sisi yang berbeda. Ia tak pernah bosan membagi pengalaman-pengalaman uniknya berinteraksi dengan penyandang disabilitas lewat catatan facebook-nya dengan akun Lisfatul Fatinah Munir. “Tulisan-tulisan itu pengen aku kumpulkan untuk dijadikan buku,” ujarnya.
Bagi Lisfa, dunia disabilitas adalah dunia yang sangat menarik untuk dipelajari. Karena itulah, ia berharap lewat tulisan-tulisannya akan semakin banyak orang yang tahu sisi lain dari dunia disabilitas.
Sebelum resmi menjadi seorang pendidik anak berkebutuhan khusus (ABK) aku harus sudah bisa menjalankan proyek pribadiku: mengajarkan keponakanku dan mendidiknya agar bisa hidup mandiri selayaknya anak normal pada umumnya.
Itulah sepenggal kalimat yang tercantum pada blog Lisfa di www.dunialuarbiasa.blogspot.com. Tampaknya gadis kelahiran 21 Februari itu sudah menetapkan targetnya. Bagi Lisfa, tidak ada yang sulit jika segalanya dimulai dengan tekad yang kuat dan niat yang lurus. Oleh karena itu, Lisfa mulai merenovasi cita-citanya. Jika dulu ia ingin membangun apotek dan klinik pribadi, maka kini ia ingin mendirikan yayasan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang tidak mampu, serta membangun badan training dan penyuluhan di daerah-daerah terpencil yang di dalamnya terdapat ABK yang diperlakukan tidak manusiawi. Lebih dari itu, sebagai orang yang tidak memiliki disabilitas, Lisfa menyimpan sebuah mimpi yang sangat luar biasa terhadap dunia disabilitas sebagaimana yang ia ungkapkan pula dalam blog-nya, “Aku juga ingin menjadi duta Indonesia untuk internasional sebagai duta Pendidikan Khusus.”(RR)