Jakarta, Kartunet.com — Secara keseluruhan, anak disabilitas intelektual memiliki tingkat kecerdasan di bawah standar anak pada umumnya. Akan tetapi, kadang disabilitas ini juga disertai ketidakseimbangan perkembangan sensori, seperti alat peraba, pendengaran, penglihatan dan penciuman. Dibandingkan dengan anak pada umumnya, perkembangan sensori anak disabilitas intelektual kurang lancar. Hal ini bisa terlihat dari gerakan anak disabilitas intelektual yang kaku dan tidak seimbang.
Untuk mengembangkan kemampuan gerak atau sensori anak disabilitas intelektual dapat dibantu dengan menggunakan olahraga adaptif, yaitu dengan menerapkan latihan gerak.
Seperti yang dikatakan oleh Sri Widati dan Murtadlo (2007), pada 500 SM Herodikus menerapkan jalan Gymnastic untuk membantu anak disabilitas intelektual melatih gerak dan keseimbangannya. Ada juga Per Hendrik Ling yang telah mempergunakan latihan-latihan yang teratur dengan nama “Modern gymnastic and modern remedial gymnastic” pada 1776-1893 untuk melatih gerak dan keseimbangan anak disabilitas intelektual. Akan tetapi setelah Perang Dunia II orang-orang, terutama orang Eropa dan Amerika, menggunakan “Exercise Therapy” untuk anak disabilitas intelektual. Bermula dari hal di atas, memasuki tahuan 2000-an beberapa ahli latihan gerak mengembangkan metode-metode terbaru untuk anak disabilitas intelektual.
Margan Philps, salah seorang ahli gerak berprinsip bahwa latihan gerak untuk anak disabilitas intelektual merupakan gerakan-gerakan yang dilakukan secara bergantian. Gerakan tersebut terdiri dari gerakan pasif dan gerakan aktif dengan mendapatkan bantuan dan gerakan aktif tanpa bantuan. Sebelum memberikan latihan-latihan otot, perlu diadakan tes terlebih dahulu untuk mengetahui sampai di mana kemampuan otot atau kelompok otot yang akan dilatih. Dalam hal ini, Philps lebih menekankan melatih otot yang berfungsi menggerakkan persendian. Latihan lainnya adalah latihan keseimbangan dan berbagai latihan kecepatan daam kehidupan sehari-hari. Untuk menghidupkan suasana latihan ini, biasanya Philps juga menggunakan alat keperluan sehari-hari khusus.
Philps menambahkan bahwa apabila gerakan anak sudah berkembang, yakni anak mampu melakukan gerakan aktif tanpa bantuan, maka gerakan-gerakan tersebut dapat dibantu dengan irama nyanyian untuk menjadikannya gerakan-gerakan yang kondisioner. Adapun latihan-latihan yang dikemukakan Philps adalah latihan pasif dan latihan aktif.
Latihan pasif adalah latihan yang terdiri dari gerakan-gerakan persendian yang dilakukan seseorang ahli atau suatu gerakan yang ditimbulkan kekuatan dari luar, seperti bantua alat, dimana otot tidak turut serta berkontraksi. Latihan semacam ini dilakukan terhadap anak yang keadaan otot-ototnya belum mampu untuk menggerakkan persendiannya sendiri. Dengan diberikannya latihan-latihan pasif secara teratur, maka syaraf-syaraf yang lemah tersebut sebenarnya berfungsi untuk menggerakkan otot agar terangsang dan menjadi ikut berfungsi lagi.
Latihan aktif adalah gerakan otot dan persendian yang dalam hal ini anak aktif menggunakan otot dan persendian dari anggota tubuhnya. Mengenai latihan-latihan aktif ini, tentu saja harus disesuaikan dengan kemampuan otot anak.
Berdasarkan hal di atas, maka latihan aktif dapat dibagi menjadi beberapa tingkat. (1) Bila keadaan nilai otot tersebut masih berada dalam keadaan rendah, maka gerakan-gerakan yang dilakukan masih memerlukan bantuan dari luar, seperti seorang pelatih, guru, maupun alat, (2) Bila otot anak sudah mampu melakukan aktivitas bebas, maka anak dapat melakukan gerakan aktif tanpa bantuan guru atau pelatih. Pada tahap ini, guru atau pelatih hanya berfungsi sebagai motivator dan menyiapkan alat yang diperlukan anak, dan (3) Untuk meningkatkan kemampuan otot yang lemah semaksimal mungkin, maka kekuatan otot perlu dilatih dengan memberikan beban berupa tekanan dari tangan guru atau pelatih pada saat latihan. Menurut Sjarifuddin (1980), latihan gerak yang dapat dilakukan terhadap anggota tubuh memiliki berbagai macam jenis. Latihan-latihan tersebut adalah (1) fleksi, yakni suatu latihan gerakan keluar dari poros tubuh (membengkokkan atau menekuk), (2) ekstensi, yakni suatu latihan gerakan kembali pada sikap semula atau searah dengan porosnya (kembali dari fleksi atau meluruskan), (3) abduksi, yakni suatu latihan gerakan yang keluar dari garis tengah tubuh, (4) adduksi, yakni suatu latihan gerakan kembali ke garis tengah tubuh, (5) rotasi, yakni suatu latihan gerakan yang memutar pada porosnya, dan (6) sirkumduksi, yakni suatu latihan gerakan campuran dari gerakan lainnya dengan ujung membentuk lingkaran.
Temple Fay, ahli latihan gerak sekaligus salah seorang kerabat Philps, mengembangkan metode arthopedi dari Philps dan metode neurofisiologis dari Bobath dalam metode latihan gerak. Pada 1980, Fay berpendapat bahwa perkembangan motoris yang bersumber pada pusat susunan syaraf tulang belakang merupakan pengembangan dari pusat berpikir, yaitu otak. Karena kelainan gerak pada tingkat rendah menunjukkan adanya kelainan pusat susunan syaraf, maka perlu adanya latihan yang mampu mengaktifkan pusat susunan syaraf. Berdasarkan hal ini, Fay membagi teknik latihan gerak menjadi empat bagian, (1) gerakan pada lengan, (2) gerakan pada tangan, (3) gerakan pada pergeseran atau amfibise, dan (4) gerakan berjalan.
Ahli latihan gerak lainnya adalah Bobath, yang menganjurkan agar usaha-usaha untuk membantu kelainan gerak dimulai sedini mungkin. Gerak motoris anak-anak selalu dibandingkan dengan teori gerak anak-anak yang normal. Dengan demikian, reaksi gerak anak-anak pada umumnya menjadi patokan atau bahan perbandingan kepada gerak anak-anak disabilitas intelektual. (nir)