Langit Senja Bagian 8

Senja mengeluarkan kunci dari dalam tasnya. Siang ini, sama seperti minggu-minggu lalu, aku mampir ke rumahnya sebelum ekskul dimulai.

“Nggak ada orang di rumah?” tanyaku.

“Nggak ada.”

Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala lalu mengikuti Senja memasuki rumah, segera menjatuhkan diri ke atas sofa. Senja meninggalkanku di ruang tamu, masuk ke dalam kamar sebentar, meletakkan tasnya, lalu kembali menemuiku.

“Makan?” tanyanya begitu menghentikan langkah di depanku.

“Kamu aja. Aku masih kenyang, Ja. Tadi pas istirahat nemenin Ei makan.”

“Assalamu’alaikuuuuum.”

“Wa’alaikumsalam.” Aku dan Senja kompak menjawab salam itu.

Wajah ceria Arik mendadak hilang sewaktu kedua mata kami beradu. Arik segera menundukkan pandangan ke arah sepatu yang sedang berusah dia lepaskan, tapi kentara sekali bahwa dia sengaja memalingkan pandangan dariku.

“Tumben udah pulang?” tanya Senja.

“Modul bimbel ketinggalan.” Arik menjawab dengan dingin. “Udah makan, Ja?” Arik menghentikan langkah di hadapanku.

“Belum,” jawab Senja enteng.

Arik langsung melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. “Jam segini belum makan?” Nada suaranya naik.

“Biasa aja, sih!” Senja sepertinya tidak menyukai cara Arik berbicara.

“Kamu nih kebiasaan, deh!” Arik mengomel sambil memasuki kamar yang ada di sebelah kamar Senja. “Kamu kan tahu kalau kamu tuh nggak boleh telat makan. Nanti…”

“Iya. Aku tahu.” Senja dengan cepat memotong kata-kata Arik dengan cepat.

Awkward. Sumpah. Aku sekarang berada dalam posisi paling canggung dalam hidupku. Aku hanya diam, membuka-buka ponsel, pura-pura tidak ada di sini dan baru berani mengangkat wajah dari layar ponsel sewaktu kedua mataku menatap sepasang kaki berdiri di hadapanku. Arik. Kedua tangannya sibuk merapikan rambut, membuat cepol dengan sembarangan. Kedua matanya menatap tak suka ke arah Senja.

“Kamu pernah ketemu Rekta kan, Rik?” tanya Senja.

“Hmm.. Ya.” Arik menjawab sambil lalu. Dia segera masuk ke bagian belakang rumah bahkan tanpa menyapaku.

Tak lama dia kembali ke ruang tamu. “Cek dulu,” katanya dengan ketus sambil melangkah ke dalam kamar Senja.

Senja menghela napas. “Bentar ya, Rekta,” pamitnya sebelum mengikuti Arik ke dalam kamar.

“Hobi kok bikin orang khawatir.”

Aku masih bisa mendengar omelan Arik dari luar kamar.

“Aku nggak pernah minta kamu buat khawatir,” sahut Senja.

Manusia itu.

“Ya kamu emang nggak minta, tapi kelakuanmu itu selalu bikin orang khawatir!”

“Ya salah sendiri.”

Sudah. Arik tak mengomel lagi. Tak juga Senja. Tak lama Arik sudah keluar dari kamar, melewatiku seolah aku tak terlihat, segera masuk ke ruang makan. Aku masih duduk di sofa. Membeku. Hanya bisa mengekorkan pandangan ke arah Arik yang baru saja menghilang dari ruang tamu.

Heran. Iya, aku memang baru sekali bertemu dengannya. Hanya sekali, sewaktu di toko buku dulu itu, setelah itu walaupun aku sering main ke rumah Senja sebelum ekskul, tidak pernah sekali pun aku bertemu dengannya. Tapi, paling tidak, setelah pertemuan pertama yang lumayan menyenangkan itu, apalagi setelah meminjamkan novel yang kujanjikan padanya, seharusnya aku boleh kan mengharapkan pertemuan yang sama menyenangkannya dengan hari itu? Bukannya tatapan mata yang seperti mau membunuhku itu.

Entah mendapat ide gila dari mana, bukannya menghindari, aku malah bergegas berdiri lalu menyusul Arik ke ruang makan. Gadis itu sedang membuka tudung saji dan menyiapkan makanan di dekat meja makan sewaktu aku masuk. Dia melirikku sesaat lalu mengabaikanku. Sumpah, aneh sekali dia ini.

Baca:  Disabilitas Tangguh

Tanpa diminta, aku berjalan cepat ke arah rak piring, mengambil dua buah piring dan gelas minum lalu meletakkannya di atas meja. Lagi-lagi, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Arik. Dia masih saja melirikku dengan tatapan seseram pembunuh berdarah dingin. Tapi dia mengambil piring yang kuambilkan, lalu menatanya di atas meja, sama dengan yang biasa dilakukan umi.

“Udah tau nggak boleh nunda makan, masiiih aja suka nunda makan.” Akhirnya ada juga kata yang meluncur dari mulutnya. Dia mulai mengomel lagi dengan suara yang cukup keras untuk bisa didengar oleh Senja yang mungkin masih ada di kamarnya.

Sama seperti yang biasa dilakukan umi, Arik menata piring di atas meja makan, mengambil dua potong kentang rebus, menempatkannya di atas piring itu bersama lauk dan sayur, lalu menyiramkan saus kacang di atasnya. Dia kemudian mengisi gelas air putih di sisi piring, tepat di mana umi meletakkannya seperti biasa.

Dan lagi, aku hanya bisa menjadi patung yang diam memandangi Arik menata meja makan sambil mengomel.

“Ja, cepet makan! Ini udah….”

“Iya.” Senja, yang ternyata sudah ada di pintu, langsung memotong omelan Arik dengan cepat. Dia segera duduk di kursinya.

Aku mendengar helaan napas kesal Arik. Gadis itu kemudian menoleh padaku. “Kamu nggak makan?” tanyanya. Masih saja ketus.

“Nggak, Rik. Makasih. Udah makan tadi.”

“Oh.” Arik kemudian mengambil makan siangnya dan menghabiskannya dalam diam.

Senja juga sama saja, tidak mengeluarkan suara apapun semenjak tadi. Dia ikut menghabiskan makan siangnya dalam diam. Bedanya, aku mendengar Arik beberapa kali menghela napas sambil melirik ke arah Senja, sedangkan Senja tidak.

Siang ini benar-benar tak nyaman rasanya. Rikuh sekali duduk di antara dua orang yang sedang galak-galakan dan saling diam seperti ini. Jadi aku juga hanya diam menunggu mereka makan sampai Arik menyelesaikan makan siangnya, mengangkat piring kotornya ke bak cuci piring.

“Jangan lupa cuci piring sebelum pergi,” katanya sambil mendorong kursi yang tadi dia duduki ke bawah meja. Dia lantas meninggalkan aku berdua dengan Senja di ruang makan.

Kali ini gantian helaan napas Senja yang kudengar. Ternyata aku salah. Ternyata sebenarnya dia juga sama kesalnya.

“Kayak anjing sama kucing, yak?” tanyanya. Senja sudah selesai makan, tapi tak segera berdiri.

“Hehehehe… ngg… nggak juga sih, Ja. Disyukurin aja masih ada yang bisa diajak berantem. Daripada di rumah sendirian?” jawabku garing.

“Kamu pengen berantem?”

“Nggak sih…”

Lalu ada jeda diam di antara kami. Untungnya, tak lama kemudian, ponsel yang aku tinggalkan di ruang tamu berbunyi.

“Aku angkat telpon dulu, Ja,” pamitku sambil buru-buru berdiri dan melangkah cepat ke ruang tamu, meraih ponselku.

“Hei, udah makan?” Pertanyaan itu langsung menyambutku begitu panggilan dari mas Awan aku terima.

“Baru aja selesai. Gimana?” Aku sedang tidak ingin ada percakapan yang panjang. Aku ingin percakapan ini cepat selesai.

“Ini, aku ntar sore rada telat jemputnya ya, Dek. Ada rapat dikit di BEM.”

“Iya, nggak papa.”

“Ya udah. I love you.”

“Iy…”

Prang! Suara logam yang beradu dengan lantai membuatku tak lagi bisa menyelesaikan kata-kataku. Aku cepat-cepat meletakkan ponsel ke atas sofa lalu bergegas mendatangi sumber suara. Arik masuk di belakangku dan langsung mendorong tubuhku begitu dia melihat Senja sedang berdiri sambil meringis menahan nyeri dan peralatan makan yang tadi dia pakai untuk makan sudah ada di lantai.

“Lain kali kalau selesai makan, balikin lagi kursinya ke bawah meja!” Arik mendorong kursi yang tadi kududuki ke bawah meja. Dia terlihat lebih kesal dari sebelumnya.

“Udah, Rik. Aku nggak papa.” Senja menarik kursi yang terdekat darinya lalu duduk di sana.

Aku tahu Senja pasti menabrak kursiku lumayan keras tadi. Ada darah yang keluar dari kelingking kaki kirinya.

“Nggak papa gimana? Kelingking kamu berdarah gitu! Duduk!” Arik bergerak cepat mengambil kotak P3K dari kotak obat lalu bersimpuh di sisi Senja. “Siniin kakinya,” katanya lagi.

“Udah, Rik. Cuma kayak gini,” kata Senja.

Arik tidak mengatakan apa-apa. Dia membersihkan luka di kaki Senja lalu memasang plester luka di sana untuk menghentikan perdarahan.

Baca:  Demi Zakarya

“Hal-hal kayak gitu mungkin buat kamu sepele!” kata Arik begitu dia berdiri dan melewatiku.

“Maaf…” Hanya kata itu yang bisa aku katakan.

“Udah, Rik.” Senja berusaha menghentikan omelan Arik.

“Dia perlu tau kalau kecerobohan dia itu bisa nyelakain orang lain, Ja.” Nada suara Arik meninggi lagi. Gadis itu mengambil piring dan sendok yang ada di lantai, membawanya ke bak cuci piring. “Kamu kan tahu kalau luka, apalagi di kaki, nanti…”

“Rekta kan udah minta maaf,” potong Senja dengan tak sabar, tak membiarkan Arik menyelesaikan kalimatnya.

“Fine!” Arik berteriak dengan kesal. Piring dan sendok yang dibawanya tadi dia banting lumayan keras ke bak cuci piring. Tak lama, Arik sudah kembali berjalan ke arahku dan Senja. “Kamu belain aja dia terus!” semprotnya sambil berlalu.

Aku baru berani mendatangi Senja begitu Arik berlalu. Dia berulang kali menarik napas dalam, mungkin berusaha mengurangi nyeri yang sedang dia rasakan. Atau mungkin juga untuk mengurangi kekesalan di hatinya. Entahlah.

“Maaf, ya. Dia biasanya nggak kayak gitu,” ucapnya kemudian.

“Ja, maaf… Aku beneran nggak tau kalau…”

Senja tersenyum. “Nggak papa, Rekta. Nyante aja.” Dia kembali menarik napas panjang.

“Sakit banget ya, Ja?” tanyaku.

“Yaah.. lumayan.”

“Ja.. Maaf banget. Aku…”

“Iya. Nggak papa, Rekta.”

Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Apalagi sewaktu ada suara pintu dibanting dari luar, disusul dengan suara langkah kaki yang semakin lama semakin menjauh hingga ke arah halaman sebelum kemudian hilang.

“Ya udah. Kamu siap-siap aja dulu. Aku mau nyuci piring bentar.” Senja berdiri, mendorong kursi yang baru saja didudukinya ke bawah meja, lalu melangkah ke bak cuci piring.

Untuk sesaat, aku hanya diam memandangi Senja, tak beranjak dari tempatku berdiri. Aku mendadak merasa kesal pada diriku sendiri. Pada aku yang begitu sombongnya mengatakan akan selalu ada buat dia, akan menjaga dia, dan tidak ingin dia disakiti. Pada kenyataannya aku belum siap untuk itu semua. Kenyataannya justru aku yang menyakiti dia, membuatnya celaka.

Aku menghela napas, lalu meninggalkan ruang makan. Ponsel yang kulemparkan ke atas sofa tadi masih ada di sana. Aku segera meraihnya, memasukkannya ke dalam tas.

“Udah siap?” Senja keluar dari ruang makan.

“Udah,” jawabku. Kedua mataku mengekor Senja yang masuk sebentar ke dalam kamarnya.

Aku berdiri, menggendong tas, lalu mendahului Senja ke teras, duduk di salah satu kursi yang ada di sana.

“Kamu nggak ganti baju, Ja?” tanyaku sambil memakai kaos kaki begitu tahu dia masih berbalut seragam sekolah ketika keluar dari dalam rumah.

“Nggak.” Senja mengunci pintu rumah lalu memakai sendalnya.

“Kamu kenapa nggak pernah ganti baju sih kalau ekskul?” tanyaku.

“Biar kamu ada temennya.”

Aku mati kutu lagi. Sama seperti biasanya. Jadi aku tidak mengatakan apa-apa lagi. Diam, menalikan sepatuku dengan rasa tak nyaman. Aku segera berdiri begitu menyelesaikan urusanku dengan sepatu lalu mendatangi Senja, menyentuh tangannya.

“Yuk, Ja.”

Tanpa diminta dua kali, Senja menggenggam lengan kananku seperti biasa. Kami lantas mulai melangkah.

“Rekta?”

“Ya?”

“Kamu mau kado apa?”

“Kado?” tanyaku, heran dengan topik yang tiba-tiba diangkatnya.

“Iya. Kamu mau kado apa?”

“Kan lagi nggak ulang tahun, Ja.”

“Emangnya kalau aku mau kasih kado, harus tunggu ulang tahun?”

“Ya nggak, sih,” jawabku. “Cuman aneh aja.”

“Ngasih kado itu kan perbuatan baik. Kata orang, perbuatan baik itu nggak boleh ditunda-tunda. Siapa tahu besok kita mati…”

Aku langsung menghentikan langkah, membuatnya ikut berhenti dan menoleh padaku, tidak melanjutkan kalimatnya. Lagi-lagi, dia membicarakan soal mati.

“Kamu kenapa sih ngomongnya gitu terus?” protesku.

Senja menghela napas dan tersenyum. “Ya kan kita nggak tau kapan kita bakalan mati, Rekta.”

“Tapi aku nggak suka kamu ngomong kayak gitu terus!”

“Rekta….”

“Aku nggak suka, Ja,” ulangku dengan suara hampir habis, tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya.

Ya, aku tak suka. Aku tahu aku tidak akan bisa menduga kapan mati itu datang, kapan umur kita habis. Tapi aku selalu tidak suka membicarakan hal ini. Rasanya jadi seperti kita ini hidup hanya untuk menunggu mati.

“Oke. Sori,” kata Senja pelan.

Aku tidak menanggapinya, hanya mengajaknya melangkah. Kami lantas sama-sama diam. Aku hanya berbicara ketika memberinya tanda bahwa kami akan menyeberang jalan di depan sekolah.

Baca:  Seumur Jagung

“Ah, dateng juga nih akhirnya couple of the year.” Tika menyambut kami di depan kelas.

Gara-gara tadi sempat kesal padanya dan harus berhenti, kami terlambat datang. Semua peserta sudah datang dan duduk di kursi yang ditata melingkar di kelas, sama seperti biasanya.

“Tika, in English, please.” Mbak Laras, kakak kelas yang menjadi pendamping kami, mengingatkan Tika.

“Couple of the year?” tanya Tika ngenyel. Gadis imut-imut itu kemudian nyengir, membuat Mbak Laras geleng-geleng kepala.

“Come and take a seat,” sambut Mbak Laras yang tahun kemarin baru pulang dari pertukaran pelajar di Australia itu.

Aku mengajak Senja duduk di dua kursi yang masih kosong di sebelah Tika.

“Pacaran teruuus,” kata Tika tanpa suara ke arahku. Aku membalasnya dengan juluran lidah.

Sama seperti minggu lalu, hari ini kami dibagi menjadi dua kelompok besar lalu diberi topik untuk dibahas. Kelompok pertama adalah kelompok pro, yang mendukung hipotesis yang diajukan oleh kakak-kakak pendamping. Sedangkan kelompok satunya adalah kelompok kontra, yang harus menentang hipotesis itu. Kali ini kami diminta membahas tentang kebebasan berpendapat.

Pertemuan sepanjang seratus menit itu berlangsung lumayan panas. Baru hari ini aku benar-benar merasakan berdebat dengan Senja. Hari ini aku dipisahkan darinya. Hari ini aku baru benar-benar sadar bagaimana susahnya berdebat dengan manusia itu. Yah, secara dia itu ensiklopedia dan kamus berjalan. Semua hal yang dia katakan itu selalu didasarkan pada bukti, lengkap dengan sumbernya. Contoh kasus yang dia berikan juga nyata, masuk akal. Hmm.. aku jadi berpikir, jangan-jangan dia itu di rumah suka ngemil koran.

“Welldone!” Suara Mas Kurni, yang juga adalah pendamping, menutup debat kami sore ini. Setelah membuat kesimpulan dan mempersilakan Ibu Yulia, guru yang menjadi pembimbing, memberikan komentar, kritik, dan sarannya, kegiatan sore ini resmi ditutup.

Aku segera menggendong tasku. Senja masih sibuk mengobrol dengan kakak-kakak kelas yang menjadi pendamping kegiatan.

“Nanti aku hubungi lagi buat detailnya ya, Dek,” kata Mbak Laras.

Senja menganggukkan kepalanya. “Iya, Mbak.”

Mbak Laras menoleh padaku. “Pacarmu udah nunggu, nih.”

“Eh….” Aku sudah siap membuat pembelaan. Tapi Senja, bukannya melakukan klarifikasi, malah tertawa.

“Ya udah, ati-ati pulangnya ya, Senja, Rekta.” Mbak Laras kemudian mendahului kami keluar dari kelas.

Senja membuka telapak tangan kirinya yang langsung kusambut.

“Apa senyum-senyum?” tanyaku waktu melihat senyuman di wajahnya. Kami mulai meninggalkan kelas.

“Nggaak,” katanya.

“Ih, aneh.”

“Oiya. Besok aku nggak masuk sekolah.”

“Kenapa?” tanyaku dengan tak rela.

“Ada urusan dikit.”

“Tapi lusa masuk, kan?”

“Diusahain.”

“Kok gitu?” protesku.

“Hapeku aktif terus kok. Kamu bisa hubungin kapan aja.”

Aku mendelik padanya. “Maksudnya apa, nih?”

“Ya kan kamu pasti kangen aku.”

“Ge er!” kataku. Senja tertawa mendengarnya.

Aku menghentikan langkah. Senja melepaskan tangannya dari lenganku lalu meluruskan tongkatnya. “Aku duluan ya?” katanya.

“Iya, ati-ati, ya?”

“Yeah, you, too.”

Aku melepasnya. Bagian paling tidak menyenangkan dalam sehari: melepas Senja pergi.

Sepertinya aku benar-benar sudah gila.

Lamunanku dibuyarkan oleh suara ponsel dari dalam tas. Aku merogoh tas, mengeluarkan ponsel dari sana.

“Iya, Mas. Aku udah di depan sekolah.”

“Yaudah. Tunggu bentar, ya? Masih di parkiran. Bentar.”

Aku mengakhiri panggilan itu lalu membuka-buka akun facebook. Sudah cukup lama aku tak mengecek akun yang hanya kuisi dengan tautan-tautan dari tulisan-tulisan tak jelasku yang kusebar di mana-mana itu.

“Loh, Rekta kok belum pulang?”

Suara Mbak Laras memaksaku meninggalkan layar ponsel. Dia menghentikan motornya di sebelahku.

“Belum, Mbak. Masih nunggu jemputan.”

“Senja mana?”

“Udah duluan.”

“Wah, cowok apaan tuh? Masak ceweknya ditinggal sendirian?”

Aku tertawa, hampir mengklarifikasi kata-kata Mbak Laras, tapi mendadak urung. Mendadak aku ingin membiarkan segalanya seperti apa yang orang pikirkan, yang Mbak Laras pikirkan. Biar sajalah.

“Senja itu anaknya hebat ya?” Mbak Laras tersenyum sewaktu mengatakan itu. “Dia itu mentalnya kuat banget. Tahan banting dia.”

“Iya, Mbak.”

“Cocok sama kamu.”

“Hahaha.. apa sih, Mbak?”

Mbak Laras ikut tertawa lalu menepuk bahuku pelan. “Ya udah, Rekta. Aku duluan, ya?” katanya. Aku mengangguk.

Tepat ketika Mbak Laras pergi, Mas Awan datang. Tanpa diminta, aku melangkah cepat ke arahnya, membiarkannya memakaikan helm di kepalaku. Lalu tiba-tiba rasa bersalah itu menyergapku lagi. Rasa bersalahku pada manusia yang baik hati ini.

Bersambung.

Bagikan artikel ini
fmahardini
fmahardini

A Pluviophile who writes fictional stories about random things.

Articles: 13

2 Comments

  1. soal ceng-cengan misal ada tunanetra yang dituntun atau sering dalam hal frekuensi dibantu oleh yang lawan jenis, kadang menjadi hal yang complicated. Akan sangat tidak jelas apa kedekatan itu hanya karena iba atau kasihan atau memang ada rasa. Meski kadang cinta itu datang karena terbiasa sih, cuma hal ini memang sangat2 tidak jelas. Kecenderungannya, karena tidak kuat diceng-cengin, yang cewek akan menjauh karena merasa sungkan akhirnya. Tapi buat yang cowok yang tunanetra itu, sebetulnya rugi juga karena kehilangan orang yang baik yang mau bantu. padahal yang lain yang suka ceng-cengin itu cuma spik-spik aja, ga bantu apa2 juga. Tapi ini di luar masalah apa ada perasaan atau tidak ya. Cuma dalam hal ini perlu berpegang pada prinsip “lebih baik ge-er daripada minder”, kan? haha

Leave a Reply