Langit Senja Bagian 6

Hari ini sekolah tidak menyenangkan. Aku sama sekali tidak bisa fokus dengan pelajaran, berulang kali, tanpa sadar, melihat bangku kosong di pojok depan di sebelah Eko.

Aku ingin bertemu dengannya.

“Nape?” tanya Ei. Dia seperti mendengar helaan napasku.

“Nggak apa-apa.”

“Senja ke mana, Ta? Kok nggak masuk?”

“Lah, kok nanya ke aku?” jawabku berbohong.

Ei tidak berkomentar lagi. Dia sibuk berkutat dengan LKS matematikanya.

Ponsel yang aku letakkan di laci meja bergetar. Sewaktu aku cek, ada pesan singkat dari nomor asing.

085xxxxxxxxx : Istirahat, Rekta? Miss me already?

Isi pesan singkat itu langsung membuatku menegakkan badan. Bukannya tak mengacuhkan nomor asing seperti biasanya, kali ini aku justru membaca pesan dari nomor asing itu berulang-ulang, berusaha meyakinkan diriku bahwa aku mengenal cara bertutur itu, seolah aku bisa mendengarnya.

“Misi, Ei.” Aku menepuk paha Ei, meminta jalan padanya.

“Buru-buru amat. Ada apa?” Ei menyingkir, memberiku jalan.

“Hehe,” jawabku dengan senyuman lebar.

Aku berdiri, melewati Ei yang memandangiku dengan tampang bingung, keluar dari bangku, lalu mendatangi Eko yang baru saja akan keluar kelas.

“Ko!” panggilku.

“Hmm?” tanya Eko waktu aku datangi. Dia berhenti di pintu kelas.

“Kamu ada nomornya Senja?”

Eko mengeluarkan ponsel dari saku celananya, membuka kontak, lalu menyodorkan ponselnya padaku. Dengan cepat aku memasukkan deretan angka itu ke dalam datar kontak, menyimpannya dengan nama Langit Senja.

“Makasih ya, Ko.” Aku mengembalikan ponsel Eko. Dia mengangguk lantas segera keluar kelas.

Aku membuka kotak masuk lalu tersenyum lebar begitu menemukan pesan singkat dari nomor asing tadi telah berubah nama menjadi Langit Senja.

Me : Iya, istirahat. Miss you? Nope. Haha..

Pesan kubalas dengan cepat seraya melangkah ke luar kelas lalu menyandarkan diri di dinding luar kelas.

Debaran jantungku tiba-tiba bertambah cepat begitu menekan pilihan ‘kirim’. Aku lantas membaca lagi pesan singkat yang dia kirim dan balasanku, berulang-ulang sampai sebuah balasan darinya masuk.

Langit Senja : Bisa tidur?

Aku tertawa membaca balasannya lalu dengan cepat menuliskan balasan.

Me : Udah lama nih ga bisa tidur di kelas.

Langit Senja : Maaf ya udah bikin kamu ga bisa tidur di kelas

Me : Kepedean amat jd orang. Eh, lagi ga sibuk? Gimana acara keluarganya?

Langit Senja : Harus pede, lah. Biar hidup ada gregetnya.
Langit Senja: Ga sibuk. Alhamdulillah lancar.

Me : Sip. Ja, aku kemaren ketemu Arik di Gramed.

Langit Senja : Oya? Ada PR apa hari ini?

Me : Iya. Emang Arik ga cerita?
Me: Sejauh ini belum ada PR. Semoga mapel terakhir ntar juga ga ada PR.

Langit Senja : Belum sempet cerita mungkin.
Langit Senja: Semoga ada PR

Me : Ga usah sok kerajinan gitu, deh.

Langit Senja : Hahaha. Bukan. Kalau ga ada PR, aku ga punya alasan buat pinjem buku ke kamu.

Deg! Aku tersenyum merasakan jantungku semakin cepat berdetak. Dadaku penuh sekali dengan kebahagiaan sekarang.

Me : Mohon maaf, saya bukan bagian peminjaman buku. Dapat nomorku dari mana?

Langit Senja : tadi tiba-tiba nemu nomor ini di kontak hp.

Me : Aneh. Besok masuk kan, Ja?

Bel tanda istirahat kedua berakhir mengagetkanku. Aku segera masuk ke dalam kelas. Ei menatapku heran sewaktu aku datang.

“Kenape tuh muka?” tanyanya sambil memberi aku jalan masuk. Kedua matanya terus mengekorku, menatap penuh curiga ke wajahku.

“Kenapa emang?” tanyaku bingung.

“Perasan tadi sepagian lemes gitu. Eh, tiba-tiba sekarang senyum-senyum nggak jelas.”

“Habis dapet suntikan mood booster,” kataku sambil memasang senyum lebar.

“Apaan?” tanya Ei penasaran.

“Hehe.” Aku tidak menjawab pertanyaan Ei. Tak bisa. Ei manyun.

Aku mengecek ponsel lagi. Belum ada balasan dari Senja. Aku lantas memasukkan benda yang terbungkus karet silikon oranye itu ke dalam laci dan menunggu dengan dada berdebar-debar.

“Selamat siang,” sapa Pak Ngadiyo.

“Siang, Paaaak.” Anggota kelas menjawab salam Pak Ngadiyo dengan serentak, membuat Pak Guru itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum.

“Masih ingat pokok bahasan minggu lalu tentang sistem metrik?” tanya beliau dengan spidol di tangan.

“Masih, Pak.”

“Bagus. Mari kita lanjutkan pembahasan kita kemarin.”

Pak Ngadiyo lantas sibuk menggambar, menuliskan huruf dan angka-angka di papan tulis. Aku tak terlalu paham apa yang beliau jelaskan, yah lebih tepatnya sedang tidak berusaha untuk memahaminya. Aku lebih sering menarik keluar ponselku dan mengecek apakah ada balasan pesan singkat dari Senja daripada melihat ke papan tulis.

Entah sudah berapa kali aku mengeluarkan ponsel dari dalam laci, tapi balasan dari Senja belum juga masuk. Ah, ini benar-benar membuatku frustrasi.

“Eh, Maknyonyah! Kamu kenapa, sih? Tumben-tumbenan dari tadi ngecekin hapeee mulu. Perasaan biasanya kamu cuek sama hape!” bisik Ei sambil menyikutku.

Aku hanya ber-haha-hehe, tidak menjawabnya, sambil cepat-cepat kembali memasukkan ponsel ke dalam laci dan berpura-pura memperhatikan papan tulis.

***

Bel pulang. Tanganku dengan cepat meraih ponsel dari dalam laci begitu bel tanda pelajaran berakhir berbunyi. Tapi, masih belum ada balasan dari Senja. Dengan malas aku membereskan buku-buku dan alat tulisk, memasukkannya ke dalam tas.

“Mas Awan jemput?” tanya Ei. Dia berdiri, menyandang tasnya di bahu.

“Nggak. Hari ini dia nggak bisa jemput. Ada kuliah sampe sore.”

“Ayahmu yang jemput?” tanya Ei.

“Iya. Tapi ayah baru pulang jam dua. Jadi kayaknya bakalan nongkrong di depan sampe ayah dateng entar.”

Ei manggut-manggut. Dia melirik jam yang melingkar di tangannya.

“Ke Pak Otong, yuk!” katanya.

“Nggak jemputin Abim?” tanyaku.

“Nggak. Papi yang jemput.”

Baca:  Dongeng Gemericik Suara Hati (32)

Aku menurut, lalu menjajari langkahnya keluar dari sekolah dan menyeberangi jalan depan sekolah yang seperti biasanya sedang macet di jam pulang seperti ini. Kami lantas menuju warung es teler di pojok pertigaan depan sekolah.

“Pak, es teler dua,” kata Ei pada bapak-bapak yang hanya menjawabnya dengan anggukan karena masih sibuk menyiapkan beberapa porsi pesanan es teler sebelum kami.

Lagi-lagi aku tak bisa menahan keinginanku untuk membuka ponsel. Masih tak ada balasan dari Senja. Aku membuka-buka percakapanku dengannya tadi, mengulangi membaca semuanya. Siapa tahu ada kata-kataku yang menyinggungnya jadi dia tidak menjawab pesanku.

“Nek, dari tadi sibuuuk banget sama hape!” Ei merebut ponsel dari tanganku tanpa bisa dicegah.

“Eh!” Aku gagal mempertahankan benda itu.

Ei hanya melihat layar ponselku sekilas, menghela napas, lantas mengembalikannya padaku.

“Kamu beneran suka sama Senja?” tanyanya.

“Suka lah. Kan temen. Aku juga suka kamu,” jawabku.

“Serius, Ta. Aku yakin kamu tau maksudku.”

Aku menghela napas, memainkan ponsel, lalu mengangkat bahu.

Ei menatap lurus ke kedua mataku. “Kamu jatuh cinta,” katanya.

“Halah. Ngaco!”

“Terus, apa namanya coba?”

“Nama apa?”

“Senyuman kamu tiap kali ada Senja?”

Dua mangkok es teler yang diantarkan ke meja kami sedikit bisa memberikan waktu padaku untuk menghindari menjawab pertanyaan Ei. Aku menghancurkan tumpukan serutan es batu yang ada di dalam mangkok, mencampurnya dengan kuah yang diwarnai warna susu.

“Kamu tuh sekarang lebih banyak ketawa, lebih banyak senyum. Apalagi kalau ada Senja.” Ei menyendok potongan alpukat dari dalam mangkoknya.

“Ya mungkin udah berubah aja, Ei. Bukan gara-gara Senja, kok!” Aku membela diri.

“Kamu itu mau bohongin aku atau emang bener-bener nggak peka sih sama perasaan kamu sendiri?”

Aku bukannya tidak peka dengan perasaanku. Aku hanya tak mengerti dengan perasaanku sendiri. Aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya. Aku tidak tahu ini apa. Tapi rasanya masih terlalu cepat buat menyimpulkan bahwa aku jatuh cinta. Tak mungkin aku jatuh cinta.

“Tapi aku seneng liat kamu yang sekarang.” Ei mengaduk-aduk es telernya.

“Aku yang sekarang?” tanyaku.

“Iya. Kamu yang sekarang tuh lebih nyenengin buat diliat.” Dia tersenyum. “Tapi, Ta. Senja itu cowok spesial. Tantangannya bakalan banyak.”

Aku terdiam, menurunkan pandanganku, tak berani memandangi Ei. Aku sebelumnya tidak pernah memikirkan hal itu. Selama ini perhatianku hanya terpusat padanya, pada Senja. Sewaktu bersama Senja, aku tidak pernah memikirkan apa pun. Setiap kali bersama Senja, yang aku pikirkan cuma itu, bersamanya, tak ada yang lain.

“Kamu siap sama semua itu, Ta?” tanya Ei lagi.

Rasanya, aku seperti sedang berbicara dengan mamah. Cara Ei berbicara padaku mengingatkanku pada beliau, tidak mendekteku, tapi selalu mempertanyakan komitmenku pada setiap tindakan yang kubuat.

Aku menghela napas. “Aku nggak tau, Ei.”

“Ta?” Ei menatapku.

Aku tersenyum dan mengangkat bahuku.

Ponselku bergetar. Aku dan Ei sama-sama melihat benda yang dengan cepat kuambil lalu kubuka kotak pesan masuknya. Aku tersenyum.

Langit Senja : Sori tadi rada sibuk. Iya, besok aku masuk. I’ll see you tomorrow.

Aku menghela napas lega dan tersenyum. Untuk sekarang ini, aku rasa, aku belum ingin memikirkan semua itu. Aku hanya ingin melihat senyuman Senja setiap hari dan mendengar suaranya. Aku, untuk saat ini, hanya ingin dia.

***

Langit cerah sore ini. Aku membuka jendela kamar lebar-lebar lalu seperti biasa duduk di sana, membiarkan kedua kakiku menggantung dan bermain dengan udara. Di bawah, ayah sedang mencuci motornya.

Teh hangat di dalam mug di sisiku masih mengepulkan uap, sepertinya masih terlalu panas untuk bisa dinikmati. Jadi aku hanya bersandar di kusen jendela dan menyumpal telingaku dengan earphone sambil memandangi warna langit yang mulai berubah menjadi oranye.

♫I’ve had many times I can tell you.
Times where innocence I’ll trade for company♫

Suara Shane Westlife membuka daftar laguku. Miss You Nights, lagu yang bisa membuatku melayang-layang itu mengalun pelan di telingaku.

Ponselku bergetar. Ada satu pesan singkat masuk.

Langit Senja : Gimana? Akhirnya ada PR?

Aku tersenyum, buru-buru mengetik balasannya.

Me : Maaf. Anda kurang beruntung.

Langit Senja : Yaaaah.. Harusnya tadi aku telpon gurunya biar kasih PR.

Me : Hahaha. Lagi ngapain, Ja?

Langit Senja : Lagi gangguin kamu. Kamu?

Me : Lagi nongkrong di jendela liatin sunset.

Langit Senja : Pasti cantik, ya? I wish I were there with you

Aku tersenyum, menikmati debaran jantungku yang tiba-tiba menjadi cepat sewaktu membaca pesan singkatnya yang terakhir. Ya, aku juga berharap dia ada di sini sekarang. Aku memang sedang ingin bersamanya sekarang.

Balasanku hanya berupa emoticon senyuman, terlalu bingung untuk membalas apa.

♫ But these miss you nights are the longest…♫

Suara Brian menutup lagu pertama di daftar putarku dengan lirik itu. Ah.. lagu ini membuatku tambah ingin bertemu dengannya. Sial.

♫ Some say love, it is a river that drowns the tender reed.
Some say love it is a razor that leaves your soul to bleed…
Some say love it is a hunger, an endless aching need.. ♫

Lagu The Rose-nya Westlife yang kemudian mengalun di telingaku tiba-tiba mati. Aku mengecek layar ponselku.

Langit Senja calling…

Senyuman menghiasi wajahku lagi. Aku menekan tombol terima di ponselku.

“Halo?” kataku.

“Tell me what it looks like,” kata Senja.

Aku tertawa. “Nggak pake basa-basi?” tanyaku.

Giliran Senja yang tertawa. “Harus?” tanyanya.

“Ummm… nggak, sih.”

“Now, tell me.”

“Langitnya cerah, Ja. Cuma ada sedikit awan yang membentuk gumpalan memanjang sepanjang batas langit.” Tangan kananku bergerak di udara mengikuti bentuk awan yang ada di hadapanku. “Saatnya pulang,” kataku. “Awan-awan yang mengandung hujan itu ikut berubah warna, ikut mengantar matahari pulang. Tapi mereka cuma bisa nganter sampai di sini, nggak bisa menemani matahari pulang.” Aku menarik napas. “Kayak kita, suatu saat nanti kita harus pulang sendiri.” Aku menyandarkan kepalaku di kusen jendela.

Tak ada komentar dari Senja. Aku baru sadar. Ya ampun, aku tadi bilang apa? Bego. Bicaraku kacau banget.

“Ja?” panggilku.

“Ya?”

“Sori sori. Aku ngomongnya ngaco, ya?”

Senja tertawa lumayan lama. “Nggak papa,” katanya kemudian.

“Kayaknya aku nggak bisa ngejelasinnya.”

“Nggak papa, Rekta. Aku suka cara kamu ngejelasin.”

Aku mendengarnya, senyuman di dalam suara Senja barusan. Dia benar sewaktu bilang mendengarku tersenyum. Sekarang aku tahu.

“Abendrot,” kata Senja kemudian.

“Apa?” tanyaku bingung.

“Warna langit waktu matahari terbenam. Abendrot,” katanya menjelaskan.

“Aku baru tahu ada namanya,” kataku.

Lalu ada jeda lagi. Kami tak saling bicara, tapi tak juga menutup telepon. Kami sama-sama menunggu.

“Rekta?” panggilnya lumayan lama kemudian.

Baca:  AKU DAN JATUH CINTA (8-8)

“Ya?”

“Kamu pernah denger cerita kenapa langit warnanya kemerahan waktu sore?”

“Belum. Emang ada ceritanya?” tanyaku.

Aku meraih mug bergambar matahari-ku. Masih ada sedikit kehangatan di dindingnya. Aku meminum sebagian teh hangat itu, menunggu Senja membagi ceritanya.

“Dulu, siang sama malam jatuh cinta. Tapi alam nggak merestui cinta mereka karena akan ada terlalu banyak hal yang dikorbankan kalau mereka bersatu.” Senja memberikan jeda. “Mereka sadar, mereka nggak mungkin bisa sama-sama. Mereka nggak mau ngorbanin banyak pihak cuma demi cinta mereka.” Senja diam lagi. Kali ini lumayan lama.

“Terus?” tanyaku penasaran.

Senja tertawa kecil. “Mereka manfaatin setiap momen yang bisa mereka lalui bersama yang nggak akan menyakiti pihak lain. Setiap sore, malam akan nyambut siang, memujinya, mengucapkan cinta padanya sampai Siang merasa malu dan langitnya memerah.”

“Sedih,” komentarku.

“Kok sedih?”

“Berarti mereka nggak bisa sama-sama, ya?”

“Kan cinta nggak harus memiliki.”

“Kenapa harus ada cinta kalau nggak harus memiliki?” protesku.

Aku mendengar Senja tertawa pelan.

“Cinta nggak pernah memaksa, Rekta. Cinta juga nggak pernah melukai,” jelasnya. “Kalau dipaksakan tanpa mau mempertimbangkan hal lainnya, apalagi mengorbankan pihak lain, mungkin kita perlu mempertanyakan lagi. Mungkin itu nafsu, bukan cinta.”

Aku menelan ludah, tak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari manusia yang masih seumuran denganku, yang selalu bicara sembarangan itu.

“Memang kan harus ada pengorbanan,” kataku pelan.

“Nggak,” bantahnya. “Kalau memang cinta pasti akan ada keikhlasan. Jadi, bukan lagi pengorbanan namanya.”

Sekarang giliran aku yang tertawa. “Ya ya,” kataku.

Kembali ada jeda dalam pembicaraanku dan Senja. Aku mencoba mencerna seluruh kata-kata Senja tadi dan masih memandangi langit yang sudah tidak dihiasi matahari. Masih ada sedikit warna oranye di sana.

“Ja?” panggilku lama kemudian setelah langit benar-benar gelap.

“Ya?”

“Aku pengen ketemu kamu. Besok masuk sekolah, ya?”

Aku pasti sudah gila. Aku sama sekali tidak bisa menahan kata-kata itu lagi. Aku benar-benar ingin melihatnya. Sehari ini tak melihatnya saja sudah membuatku gila. Aku baru menyadarinya sekarang. Aku merindukannya.

“Iya, Rekta. Besok aku masuk.”

Aku kembali mendengar senyuman dalam suaranya.

“Sampai ketemu besok,” katanya.

“Makasih udah nemenin aku, Ja,” ucapku.

“No. Thank you.” Dia memberikan penekanan pada dua kata terakhirnya. “Sampai besok.”

“Ya, sampai besok.”

♫ I say love, it is a flower. And you its only seed.. ♫

Lagu The Rose kembali mengalun di telingaku begitu Senja memutuskan telepon. Aku tersenyum, menghabiskan tehku, dan menikmati rasa rinduku padanya. Ya, aku merindukannya.

Getaran dari ponsel membuatku kembali ke kehidupan nyata. Aku menyalakan layar telpon.

Mas Awan : Jaringannya sibuk terus. Maaf tadi ga bisa jemput. Jangan telat makan ya? Miss you.

Dia merindukanku. Aku menghela napas. Aku tak membalas pesan singkat itu, tak tahu mau membalas apa, tak berani membalasnya karena sekarang ini bukan dia yang ada di dalam kepalaku, di dalam hatiku. Bukan dia, tapi Senja.

***

Badanku sudah dipenuhi keringat. Aku menjatuhkan diri, duduk meluruskan kaki di pinggir trek lari. Tak lama, Ei ikut duduk di sebelahku dengan napas yang juga hampir habis.

“Kakiku rasanya mau copot,” keluhku.

“Sama! Paling nggak suka deh lari kayak gini.” Ei ikut berkomentar.

Hari ini, pelajaran pertama adalah olah raga. Karena sekolah tidak memiliki lapangan olah raga sendiri, makanya mata pelajaran ini dilakukan di area olah raga Manahan, stadion terbesar di Solo. Yah, mirip dengan Senayan, versi light.

“Enak kali, Ta. Bisa ngilangin ngantuk!” Winda ikut duduk di depanku, meluruskan kakinya.

“Lebih bisa ngilangin ngantuk lagi sebenernya kalau tadi olah raganya voli. Terus mukul bolanya pake wajah, Win.” Tika, teman sebangkunya, berkomentar.

Kami tertawa mendengar komentar Tika. Winda manyun.

Jam pertama pelajaran olah raga dimulai pukul setengah enam, waktu di mana biasanya aku masih bergelut dengan selimutku. Setiap jadwal diikuti dua kelas yang biasanya akan dibagi menjadi dua jam. Jam pertama diikuti siswa perempuan. Sedangkan siswa laki-laki akan masuk di jam kedua yang akan dimulai sepuluh menit lagi.

“Yak, sudah semua, ya?” Pak Agus, guru olah raga, mengecek daftar hadirnya. “Oke. Sambil kalian istirahat, pelajaran hari ini saya tutup. Minggu depan kita belajar basket.”

“Di sekolah, Pak?” Riska, anak kelas sebelah, mengacungkan tangannya.

“Di sini. Di lapangan basket deket stadion.” Pak Agus menunjuk ke arah stadion yang berada tak jauh dari tempat kami duduk. “Oke. Saya tinggal, ya?”

“Iya, Pak!” jawab kami serempak.

Pak Agus setengah berlari mendatangi siswa laki-laki yang sudah berkumpul lalu membentuknya menjadi satu barisan. Di sana, di dalam barisan itu, aku melihatnya. Dia berdiri di sebelah Eko, sedang mendengarkan penjelasan dari Pak Agus.

“Take a picture. It lasts longer.” Ei berbisik sambil menyikutku.

Aku meliriknya. Dia menjulurkan lidahnya padaku.

“Oh itu to si Buta dari Goa Hantu?” pertanyaan itu membuatku menoleh. Seorang siswi kelas sebelah yang aku aku tahu bernama Nei sedang memandangi Senja. Beberapa siswi yang duduk di sekitarnya ikut memandangi Senja.

“Kasian,” kata salah satu dari mereka.

“Terus, dia olah raganya gimana, tuh? Kan nggak bisa ngeliat.” Yang lain ikut berkomentar.

“Iya, ya? Lagian ngapain sih dia sekolah di sekolah kita? Kenapa nggak di SLB aja?” Nei mencibir.

Aku menegakkan tubuhku. Ada amarah yang tiba-tiba merambati setiap pembuluh darahku. Aku tidak terima dia membicarakan Senja seperti itu, apalagi memberinya julukan seperti itu. Dia harus diberi pelajaran.

Genggaman tangan Ei di tanganku membuatku menoleh padanya. Dia menggeleng, memintaku untuk tidak berbuat apa-apa.

“Emang dia bisa ngikutin pelajaran? Kalau nggak kan bahaya. Ntar sekolah kita nggak bisa lulus seratus persen lagi.” Gadis itu masih melanjutkan cibirannya. “Lagian sekolah kita ini aneh juga. Mau-maunya nerima murid disabilitas.”

Genggaman tangan Ei di tanganku menjadi semakin erat. Dia tahu aku akan berusaha melepaskan diri dan melabrak Nei.

“Jangan, Ta,” bisiknya. “Sabar.”

Aku menarik napas panjang, berharap ada banyak kesabaran di dalam oksigen yang aku hirup. Aku membutuhkannya sekarang.

“Ngapain sih ngomongin dia, Nei? Nggak penting, ah!” Salah satu teman sekelas Nei yang duduk di sebelahnya berdiri. “Pulang, yuk!” katanya sambil membersihkan celananya dari tanah.

Kumpulan siswi kelas sebelah itu berdiri dan tak lama kemudian sudah menaiki motor mereka keluar dari area stadion.

“Itu baru satu, Ta.” Ei melepaskan genggaman tangannya. “Masih banyak manusia yang kayak gitu, yang suka nganggep remeh manusia lain. Apalagi manusia istimewa kayak Senja.”

Aku masih menarik napas panjang-panjang, masih berusaha menyabarkan hatiku dan mencegah air mataku meleleh keluar karena rasa kesal.

Baca:  Harga sebuah Pengabdian

“Pada nggak pulang?” Manda, teman sekelasku, berdiri di depanku dan Ei.

“Tar, Man. Masih pengen duduk dulu,” jawabku.

“Yowes. Aku duluan, ya?” Gadis itu berlalu.

Aku baru sadar, hanya tinggal aku dan Ei yang masih bertahan di sini sekarang. Siswa perempuan yang lain sudah pulang. Aku mengecek jam di ponsel, pukul setengah tujuh lebih dua belas menit. Masih ada banyak waktu sebelum jam pelajaran selanjutnya, pukul delapan tiga puluh.

“Belum mau pulang?” tanya Ei.

“Bentar lagi ya, Ei?”

“Ya udah aku temenin. Untung aku baek hati!”

“Halah!” Aku mendorongnya ke samping lalu tertawa.

Siswa laki-laki sudah memulai pemanasan. Reno yang pagi ini kebagian tugas memimpin.

“Mas Awan pernah ketemu Senja, Ta?” tanya Ei tiba-tiba. It’s so her: mendadak.

“Nggak ketemu, tapi liat. Kenapa?” tanyaku. Aku sibuk membuka-buka akun facebook di ponsel.

“Dia komen apa?”

“Nggak komen apa-apa. Cuma nanyain apa temen sekelas. Udah. Nggak pernah nanya-nanya lagi.”

“Kalau Senja? Kamu udah kasih tau dia tentang Mas Awan?”

Pertanyaan Ei membuat jariku yang semenjak tadi membuat apusan di layar ponsel langsung diam. Aku mengangkat wajah. Di depan kami, tak jauh dari tempat kami duduk sekarang, aku melihat Senja, didampingi Eko, sedang melakukan pemanasan bersama beberapa siswa lain.

“Aku nggak tau, Ei. Aku nggak pernah ngenalin mereka berdua.”

Ei mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia menatapku tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Tak lama, dia berdiri.

“Gabung sama mereka, yuk!” ajaknya, menunjuk ke arah kumpulan siswa laki-laki yang sedang duduk di rumput, di dekat mereka melakukan olah raga. Sebagian yang lain, yang namanya dipanggil oleh Pak Agus, sudah bersiap di garis start, bersiap adu cepat lari jarak pendek seperti yang harus kulakukan tadi.

Aku menurut, ikut berdiri dan melangkah bersamanya mendatangi mereka.

“Eh, belum pulang?” Damar mendongak, memandangi aku dan Ei yang berdiri di sebelahnya.

“Males mau pulang,” kata Ei. “Mau dukung kamu, Dam. Kamu kan suka nggak kuat lari, jadi bakal butuh dukungan dari kita,” katanya sambil ikut duduk di sebelah Damar.

“Heh, sori, ya?!” jawab Damar.

Aku ikut duduk di sebelah Ei, tepat di sebelah Senja.

“Hai, Ja,” sapaku.

“Rekta.” Dia tersenyum. “Masih capek?” tanyanya.

“Capek? Nggak capek, kok!” jawabku. “Kan tadi nggak masuk final, jadi cuman sekali doang larinya.”

“Loh, bukannya kamu tuh paling jago lari, Ta?” Damar ikut menimpali.

“Iya?” tanya Senja.

“Iya, Ja. Lari dari kenyataan.” Ei yang menjawab, yang langsung disambut derai tawa beberapa orang yang ada di situ.

“Damar Pratama, Eko Priyo Ahmadi, Langit Senja…..”

Aku tak terlalu memperhatikan siapa lagi nama yang dipanggil oleh Pak Agus. Aku lebih memilih memperhatikan Senja yang dengan cepat berdiri lalu berjalan bersama Eko ke trek lari. Eko yang mendampinginya. Lalu ke sana perhatianku terpusat, ke trek lari tempat di mana Senja berada. Kepada Senja.

***

Pak Agus menutup pelajaran olah raga pagi ini dengan tepuk tangan. Aku berdiri, membersihkan celanaku dari tanah yang menempel sewaktu Pak Agus mulai membubarkan pasukan. Senja ikut berdiri.

“Pulang?” tanya Ei.

“Yuk!” jawabku. Aku menoleh pada Senja. “Pulang sama siapa, Ja?” tanyaku pada Senja yang sekarang berdiri di sebelahku.

“Bapak jemput,” katanya. “Kamu?”

“Jalan. Deket soalnya.”

Eko, yang tadi ada di sebelah Senja, menunjuk Senja dan aku secara bergantian. Aku mengangguk, memahami maksudnya lalu memberikan tanganku pada Senja. Dia tersenyum, segera memegang lenganku seperti biasa.

“Ja, sori. Aku duluan, ya?” pamit Eko.

“Iya, Ko.”

“Yuk, Ta, Dew.” Eko melangkah cepat menuju motornya yang terparkir tak jauh di depan kami.

“Ta, Ja, sori. Aku juga duluan, ya?” pamit Ei.

Aku mengangguk. Aku tahu dia sebenarnya tidak terburu-buru pulang. Dia hanya cukup tahu diri untuk membiarkan aku dan Senja berdua.

Teman-teman yang lain sudah meninggalkan tempat olah raga. Hanya tinggal aku dan Senja. Kami melangkah menuju pintu gerbang bagian utara stadion.

“Kayaknya jemputanku belum dateng,” kata Senja begitu kami sampai di luar gerbang.

“Tau dari mana?” tanyaku.

“Yah, kamu akan tau kalau bapak sudah ada.” Dia tersenyum. “Kalau mau duluan nggak papa. Aku nunggu di sini aja.”

“Santeeee… Aku nggak buru-buru, kok.”

Kami lantas berdiri bersandar pada gapura masuk. Aku mendongak, memandangi langit yang pagi ini cerah.

“Langit cerah,” kataku.

“Tell me,” kata Senja. Dia ikut mendongakkan kepalanya.

“Biru, cuma ada sedikit awan. Warnanya bikin sejuk. Langitnya jadi keliatan luas banget.” Aku tersenyum, menarik napas panjang. “Ternyata kita ini kecil ya, Ja?” kataku lagi.

Aku menoleh. Senja tersenyum dengan kedua mata terpejam.

“Ja?” panggilku.

“Ya?”

“Kayaknya, jangan pernah minta aku gambarin apa pun buat kamu lagi. Hasilnya pasti kacau.”

Senja tertawa. “Nggak papa, Rekta. Aku suka, kok.”

Kami mengambil jeda, saling diam. Aku mengeluarkan ponsel, mengecek jam sebelum kemudian menoleh pada Senja, menatapnya. Dia tersenyum, sepertinya merasa sedang aku pandangi.

“Aku masuk kan hari ini?” katanya, membuatku tersenyum.

“Iya. Makasih ya udah masuk sekolah hari ini.” Aku punya alasan untuk memandanginya sekarang.

“What now?” tanyanya.

“Nothing,” jawabku. “Kayak yang kubilang kemaren, aku cuma pengen ketemu kamu.”

Senja tertawa.

“Nanti sore mau mengantar matahari pulang lagi?” tanya Senja.

“Iya.” Aku memasukkan ponsel ke dalam saku celana, sedang tak ingin melihat foto Mas Awan yang sedang meletakkan kepalanya di bahuku. Foto yang dia pasang sebagai wallpaper di ponselku beberapa hari yang lalu. Aku sedang tidak ingin merasa diawasi.

Kami kemudian kembali sama-sama diam. Aku mengamati orang-orang yang berlalu lalang di jalan, atau orang-orang yang keluar masuk melewati gerbang.

“Apa sih bagusnya sunset?” tanya Senja kemudian.

“Apa ya, Ja? Mungkin suasananya, mendorong aku buat merenung. Kalau matahari terbit itu menggambarkan harapan, matahari terbenam itu menggambarkan perenungan.” Aku menarik napas panjang. “Buat ngingetin aja, semuanya bakal ada akhirnya. Apa pun itu. Termasuk hidup.”

Senja tersenyum. “Rekta?” panggilnya.

“Ya?”

“Apa pikiranmu selalu semenarik ini?”

Aku menoleh padanya. Dia tersenyum, menundukkan wajahnya. Aku ikut tersenyum lalu entah mendapat keberanian dari mana, aku menggenggam sebelah tangannya, membuatnya menoleh padaku, menatapku.

Jantungku berdetak tak beraturan lagi. Dadaku sesak lagi. Napasku hampir habis lagi. Semua yang mulai aku sukai dan sering aku rindukan itu sekarang terjadi lagi.

Tantangan. Tiba-tiba kata itu masuk ke dalam kepalaku. Kata-kata Nei tadi juga tiba-tiba memenuhi kepalaku. Namun, lagi-lagi, sewaktu dia menatapku seperti ini, sewaktu aku bersamanya seperti ini, aku tak ingin memikirkan apa pun, hanya ingin memikirkan ini, memikirkan sekarang, dan memikirkan dia.

Bersambung

Bagikan artikel ini
fmahardini
fmahardini

A Pluviophile who writes fictional stories about random things.

Articles: 12

4 Comments

  1. tension mulai meninggi. Oh ya, sedikit koreksi saja. Untuk kata “cacat” kami ganti dengan “disabilitas” ya mbak. Meski intensi dari dialognya bermuatan negatif, tapi kata disabilitas yang bersifat netral jika dalam konteks untuk menghina juga dapat kok.

Leave a Reply